Panopticon digital bernama media sosial

Media sosial dan panopticon digital | Komunitas masyarakat sipil memiliki peluang untuk mendekonstruksi panopticon digital ini dari dominasi narasi mainstream. Memang perlu kerja keras ekstra, karena ruang ini sudah jadi dominasi kelompok yang telah lebih dulu eksis.

Panopticon digital
Panopticon digital | Ilustrasi panopticon digital. Sumber: Needpix.
Memahami “Realitas” Digital

Revolusi Industri 4.0 dan perkembangan pesat dunia digital tak bisa dihindari lagi. Arus deras teknologi informasi menggeser realitas saat ini menuju dunia yang digital, sebuah dunia yang sarat akan simbol dan penanda, dengan definisi baru yang beragam, bahkan kemutlakan pun tak ada. Sebagian menyebut simbol dan penanda itu melahirkan post-truth – kondisi ketika kebenaran dan fakta diabaikan, berganti dengan kebohongan yang menyerupai kebenaran.

Bagi kebanyakan orang, simbol dan penanda itu diyakini sebagai realitas sejati. Publik dirayu untuk mengikuti narasi yang dibangun di dalam “realitas” digital yang bernama media sosial. Narasi-narasi yang menyerbu itu sebenarnya merayu untuk mengikuti sebuah pola yang menjauhkan khalayak dari realitas hakiki. Melalui algoritma tertentu, akan terbentuk bubble filter yang menentukan asupan informasi publik, disadari atau tidak, sehingga mereka hanya akan menerima informasi dari jejaring di dalam lingkaran bubble itu saja.

Bubble filter akan menentukan asupan informasi di dalam circle komunitas maya. Ketika publik hendak mengonfirmasi informasi yang diterima, mereka akan kesulitan menemukan pembanding karena sudah kadung berada di circle yang sudah mapan. Fenomena ini disebut dengan echo chamber (ruang gema), yakni sebuah lingkungan yang mengondisikan publik hanya akan menemukan informasi atau pendapat yang mencerminkan dan memperkuat pendapat mereka sendiri. Akibatnya adalah bias konfirmasi.

Baca jugaDua Langkah Strategis Menjaga Mangrove: Collaborative Efforts and Collective Action!

Baca jugaKolaborasi Multi Pihak Aksi Jaga Bumi Tanam Mangrove di Hari Lingkungan Hidup Internasional 2022

Panopticon Digital bernama Media Sosial
Ilustrasi buku Penjara Virtual Bernama Media Sosial. Buku ini mengibaratkan media sosial sebagai panopticon digital, yakni penjara yang didesain agar para pengawas dapat mengetahui gerak-gerik orang-orang yang berada di dalam panopticon. Sumber: Gambar

Ada referensi menarik jika berminat membaca, sebuah buku berjudul mirip: Penjara Virtual Bernama Media Sosial. Sedikit mengulasnya, buku karya Asditya Alif ini, menyebut media sosial sebagai penjara panopticon. Penjara panopticon adalah sebuah penjara berbentuk silinder yang dibangun dengan menara melingkar yang dikelilingi ruang-ruang sel narapidana. Sel-sel tersebut dibuat mengelilingi menara tempat para penjaga penjara. Dengan posisi seperti ini, para penjaga penjara akan sangat leluasa mengawasi gerak-gerik narapidana.

Penjara ini dirancang oleh Jeremy Bentham, filosof dan teoritisi sosial berkebangsaan Inggris pada abad ke-18. Panopticon, secara etimologis, berarti melihat segalanya. Bentham mendesain bangunan penjara seperti ini agar kedisiplinan narapidana dapat terbentuk melalui pengawasan yang ketat dan terus-menerus. Bahkan, tanpa diawasi pun, narapidana akan selalu merasa terawasi selama berada di dalam penjara panopticon.

Panopticon saat ini tak lagi berbentuk bangunan – sebagaimana penjara fisik, melainkan berwujud digital dengan ruang-ruang virtual yang dikondisikan laiknya sel penjara. Media sosial – yang seolah-olah kita genggam dan kendalikan – itulah ruang sel baru. Seolah kita leluasa, tetapi kita berada di dalam sekat dan terus diawasi. Kita yang dikendalikan!

Baca juga: Ini 5 Masalah Utama Perlindungan Hutan di Indonesia

Baca jugaPenelitian: Penyelesaian Konflik Perusahaan Sawit dengan Masyarakat di Kalbar Masih Belum Efektif

Laiknya penjara pada umumnya, para penikmat media sosial sebenarnya dikonstruksi untuk tunduk pada aturan-aturan tertentu, alih-alih media sosial dianggap sebagai tempat paling bebas bagi manusia milenial. Padahal melalui media sosial, manusia didikte untuk mengikuti sebuah tren, entah itu film, fashion (pakaian), food (makanan), tempat liburan, atau – bahkan – sebuah nilai tertentu. Ujung-ujungnya, pasti pergerakan kapital akibat pengawasan tanpa henti.

Bayangkan mata yang mengawasi pergerakan kita saat membuat status, update foto dan video, serta merespon sebuah kiriman di media sosial. Bukti pengawasan itu adalah analisa insight yang dibuat penyedia media sosial, tidak hanya demografi, bahkan psikografi para penikmat media sosial. Artinya, bahkan emosi pengguna pun ditangkap oleh para “pengawas” panopticon digital di media sosial.

Data itu dipergunakan untuk menentukan penetrasi yang presisi sehingga dapat mengarahkan para pengguna media sosial pada sebuah tren yang diinginkan, baik bisnis maupun politik. Tentu kita pernah dengar kasus skandal Facebook dan Cambridge Analytica pada tahun 2014. Dalam skandal ini, Cambridge Analytica mengumpulkan informasi pribadi 87 juta pengguna Facebook yang dimanfaatkan untuk memengaruhi pandangan politik warga Amerika Serikat dalam pemilihan umum, sesuai pesanan politikus yang menghubungi lembaga konsultan politik asal Inggris ini.

Baca jugaStrategi Percepatan Pencapaian SDGs 2030

Baca juga: 18 Poin SDGs Desa dan Rekonstruksi Paradigma Pembangunan Berkelanjutan

Merebut Narasi di Media Sosial, Upaya Menembus Dinding Panopticon Digital 

Tak ada yang luput dari pengawasan panopticon digital ini. Kompleksitas menjaga data dan informasi pribadi menjadi concern banyak pihak yang khawatir dengan ancaman bagi kebebasan sipil untuk berekspresi secara digital. Memang data para pengguna nilainya kini tak kalah berharga dengan minyak. Rebutan para pebisnis – dan tentunya para politisi seperti kisah skandal Facebook-Cambridge Analytica – mengonversi data pribadi pengguna media sosial jadi bukti nyata.

Tapi itu satu hal. Yang juga tak kalah penting adalah peluang komunitas masyarakat sipil untuk mendekonstruksi panopticon digital ini dari dominasi narasi mainstream. Tentu tanpa perlu berulah menggunakan informasi pribadi para pengguna. Memang perlu kerja keras ekstra, karena ruang ini sudah jadi dominasi kelompok yang telah lebih dulu eksis. 

Dalam konteks perubahan sosial, organisasi masyarakat sipil di Indonesia merupakan salah satu aktor yang memanfaatkan media digital dan media sosial untuk memperkaya narasi perubahan sosial. Menurut Guo & Saxton (2014), organisasi nonprofit menggunakan media sosial untuk tujuan membantu upaya advokasi dengan cara menjangkau tokoh-tokoh komunitas melalui jejaring yang ada dan dengan memobilisasi jaringan yang ada untuk suatu rencana aksi bersama (Unika Atmajaya, 2016). Mengutip Yanuarto Nugroho (2008), bagi CSO (civil society organization) hal ini bersifat apropriasi: penggunaan secara, dan untuk, tujuan-tujuan strategis dan politis.

Baca juga: Gemawan Gelar Workshop Perlindungan Sumber Penghidupan di Sambas

Baca juga: Silvofisher, Tebar 1100 Bibit Ikan di Kawasan Perhutanan Sosial Desa Sekabuk

Pemanfaatan media sosial dan media digital bagi CSO tidak lagi semata berperan sebagai galeri aktivitas atau publikasi, melainkan harus mampu memberikan daya dorong yang melahirkan dampak sosial melalui komunikasi yang strategis. Komunikasi digital yang dilakukan CSO diharapkan dapat meraih empat level dampak: pertama, organisational profile raising via social media; kedua, campaign to sell products or raise funds for organization; ketiga, specific campaign to influence public advocacy; dan keempat, digital social movement (collaborative)

Kekuatan media sosial memang unik dalam mengatasi setiap kendala komunikasi sosial berskala luas dan cepat. Tak hanya itu, ia juga menyediakan alat taktis kreatif untuk mengorganisasi suara-suara kepentingan publik melalui “alam virtual” demi menyita perhatian media tradisional hingga respon politik internasional (Hamid, 2014).

Melalui media sosial inilah CSO bisa melahirkan narasi tanding dan membongkar sekat dinding panopticon digital. Filter-filter yang ada itu harus diruntuhkan sehingga khalayak melirik kembali disrupsi besar di dunia, seperti pandemi, perubahan iklim, bencana ekologis, krisis kemanusiaan, dan kegamangan masa depan.

Di era hiperealitas yang sedemikian pelik dan saling tindih ini, CSO dituntut untuk juga mampu meraih perhatian publik di media sosial. Memasuki arena di media sosial memang sudah bukan pilihan, melainkan kemestian masyarakat sipil. CSO harus ikut bertarung memperebutkan narasi utama publik di media sosial agar simulacra ini tidak diisi dengan penanda-penanda semu. Jalannya melalui kampanye digital agar panopticon digital itu terbuka.

Baca jugaHubungan Internasional Untan Gelar Seminar Nasional Perubahan Iklim: Respon Hasil G20

Baca jugaMengawal Impelementasi Reforma Agraria: Resolusi Konflik Berbasis Komunitas, Studi di Mempawah

Merancang Komunikasi Strategis 
Merancang komunikasi strategis. Sumber: Gambar.

Jaomiasa menjelaskan komunikasi strategis sebagai proses sistematis dari kegiatan yang berkelanjutan dan bermakna yang dilakukan di berbagai tingkatan untuk memfasilitasi pemahaman khalayak dan mengidentifikasi saluran yang menguntungkan untuk memunculkan perilaku (Mirville, 2021). Komunikasi strategis adalah menggunakan tujuan komunikasi organisasi untuk meraih misi organisasi (Thorson, 2018), sehingga komunikasi strategis tidak bermakna sekadar menyebarkan informasi, apatah lagi hanya memproduksi poster, brosur, atau film. Komunikasi strategis merupakan ajakan aktif dari perspektif khalayak untuk membangun dialog, kesepahaman, kemitraan, dan kolaborasi dengan tujuan mendukung pencapaian tujuan organisasi.

Komunikasi strategis dilakukan melalui serangkaian proses, 1) situational analysis, 2) stakeholder analysis, 3) communication objectives, 4) drafting the communication strategy, 5) participation of strategic groups, 6) selecting of communication channels, 7) message design, 8) producing media and preparing dialogues, 9) managing the multi-channel communication strategy, dan 10) monitoring and evaluation (Heidbrink & Oepen, 2012). Secara garis besar, komunikasi strategis dibagi dalam empat tahapan utama: assessment, planning, production, dan action.

Dalam perencanaan komunikasi strategisnya, kini masyarakat sipil tak mungkin luput melirik media digital dan media sosial sebagai bagian dari strategi komunikasi. Keberlimpahan pengetahuan tersituasi (situated knowledge) yang dikompilasi CSO dapat dikembalikan kepada khalayak, tentu dengan bahasa yang lebih komunikatif sehingga pesan-pesan strategis itu diterima dengan mudah. 

Mohammad R., Knowledge Management & Communications Gemawan

Media Sosial, Masyarakat Sipil, dan Panopticon Digital
Tag pada: