oleh Aseanty Pahlevi [Pontianak] di 31 January 2021
- Dalam dua dekade terakhir, sebanyak 69 konflik terjadi antara masyarakat lokal dengan perusahaan terkait pembangunan dan pengelolaan perkebunan sawit di Kalimantan Barat.
- Dari 69 kasus tersebut, sebanyak 32 kasus telah diteliti oleh tim riset Palm Oil Conflict and Access to Justice in Indonesia [POCAJI]. Penelitian ini mempelajari bagaimana efektifitas mekanisme resolusi konflik sawit di Kalimantan Barat.
- Hasil riset ini dipublikasi dalam laporan riset dan diskusi publik bertema “Menyelesaikan Konflik Kelapa Sawit di Kalimantan Barat: Evaluasi Terhadap Efektivitas Berbagai Mekanisme Resolusi Konflik” pada Selasa [19/1/2021].
- Di Kalimantan Barat, dalam 66% dari 32 konflik yang diteliti, masyarakat tidak [atau hampir tidak] berhasil sama sekali mendapatkan penyelesaian atas keluhan mereka. Ketika konflik berhasil diselesaikan pun, prosesnya sangat lama, yaitu rata-rata 5 tahun.
Dalam dua dekade terakhir, di Kalimantan Barat [Kalbar], diidentifikasi 69 konflik antara masyarakat lokal dengan perusahaan terkait pembangunan dan pengelolaan perkebunan sawit. Sebuah riset yang dilakukan tim ‘Palm Oil Conflict and Access to Justice in Indonesia’ [POCAJI], mempelajari bagaimana efektifitas mekanisme resolusi konflik sawit di Kalimantan Barat.
Penelitian ini merupakan kolaborasi skala besar antara Universitas Andalas, KITLV Leiden, Universitas Wageningen serta enam LSM Indonesia [Epistema Institute, HuMa, Lembaga Gemawan, Scale Up, Walhi Sumatra Barat, dan Walhi Kalimantan Tengah], dikoordinasi oleh Profesor Afrizal dari Universitas Andalas, Profesor Ward Berenschot, Dr Ahmad Dhiaulhaq, keduanya dari KITLV Leiden, dan Profesor Otto Hospes dari Universitas Wageningen.
Tim yang terdiri 19 peneliti mempelajari 150 kasus konflik di empat provinsi di Indonesia: Riau, Sumatra Barat, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah. Laporan kebijakan hasil riset tersebut berfokus pada 32 kasus konflik yang diteliti di Kalimantan Barat.
“Masyarakat umumnya menyuarakan keluhan secara damai, melalui demonstrasi dan audiensi dengan pihak berwenang di tingkat lokal. Namun, kami menemukan sebuah kecenderungan mengkhawatirkan yaitu para pemimpin yang protes seringkali dikriminalisasi oleh polisi dan manajemen perusahaan,” ungkap Ward Berenschot, dari Koninklijk Instituut voor Taal –, Land – en Volkenkunde [KITLV].
Hasil riset ini dipublikasi dalam laporan riset dan diskusi publik bertema “Menyelesaikan Konflik Kelapa Sawit di Kalimantan Barat: Evaluasi Terhadap Efektivitas Berbagai Mekanisme Resolusi Konflik” pada Selasa [19/1/2021].
Data menyebutkan, terjadi penangkapan anggota masyarakat di 31% konflik yang diteliti di Kalimantan Barat, mencakup 94 kali penangkapan. Konflik menyebabkan 12 orang terluka dan banyak yang jarang terselesaikan.
Di Kalimantan Barat, dalam 66% dari 32 konflik yang diteliti, masyarakat tidak [atau hampir tidak] berhasil sama sekali mendapatkan penyelesaian atas keluhan mereka. “Ketika konflik berhasil diselesaikan, prosesnya sangat lama: rata-rata 5 tahun,” ujarnya.
Untuk menyuarakan keluhan, masyarakat di Kalimantan Barat menggunakan strategi yang sangat bervariasi, mulai akomodatif hingga konfrontatif. Demonstrasi adalah strategi yang paling umum digunakan.
“Dari 69% kasus yang diteliti, komunitas setidaknya melakukan satu kali aksi demonstrasi untuk menyuarakan keluhan mereka,” ungkapnya.
Tim menemukan, konflik menimbulkan 58 aksi demonstrasi, 48 audiensi -yang sebagian besar dilakukan dengan politisi dan birokrat lokal di Kalimantan Barat-, ada 18 kasus pendudukan lahan dan blokade, serta 14 penyerangan terhadap aset perusahaan dan panen paksa.
Temuan menarik adalah, masyarakat lebih sering mengarahkan aksi mereka kepada pemerintah daerah, alih-alih ke perusahaan.
Awalnya, masyarakat mencoba bernegosiasi langsung dengan perusahaan. Namun, perusahaan seringkali tidak merespon. Masyarakat kemudian lebih sering melakukan aksi unjuk rasa di depan kantor pemerintah kabupaten atau DPRD.
Unjuk rasa ditanggapi pemerintah daerah dengan menggelar rapat dengar pendapat guna membahas permasalahan tersebut. “Pada 21 kasus yang kami teliti, 66 persen dari seluruh kasus menempuh jalur audiensi dengan anggota DPRD, bupati, atau gubernur.”
Strategi masyarakat yang paling umum adalah mencoba mempertanyakan keputusan pemerintah daerah dalam mengeluarkan izin perkebunan, meminta dukungan pemerintah untuk menyelesaikan konflik, dan agar memberi tekanan kepada perusahaan. Sebanyak 21 kasus merupakan skema plasma, sementara 15 kasus terkait penyerobotan lahan.
Ward menjelaskan, keluhan pelaksanaan skema bagi hasil [plasma] seringkali berujung konflik. Hal ini dipicu, ada perusahaan tidak merealisasikan lahan seperti yang sudah dijanjikan; keuntungan yang dibagikan terlalu kecil; koperasi yang dibentuk tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
Sementara penyerobotan lahan, keluhan terbanyak berkaitan dengan cara perusahaan mendapatkan [atau tidak mendapatkan] persetujuan di awal dari masyarakat lokal pada proses pembebasan lahan.
Di beberapa kasus, perusahaan cenderung mengandalkan tokoh masyarakat yang seringkali tidak mewakili anggotanya, menggunakan intimidasi preman, atau kurangnya transparansi pembayaran kompensasi ke masyarakat.
“Masyarakat menginginkan pembagian keuntungan yang lebih, atau implementasi skema plasma yang lebih baik,” ujar Ward.
Konflik Sawit jarang terselesaikan
Ahmad Dhiaulhaq, peneliti KITLV Leiden menjelaskan, satu alasan penting dari banyaknya konflik yang belum terselesaikan adalah pihak berwenang di tingkat lokal seringkali kurang berhasil memfasilitasi proses penyelesaian konflik.
“Dari 26 upaya fasilitasi oleh pemerintah daerah, DPRD, dan polisi untuk menengahi konflik, hanya 3 kasus kesepakatan antara perusahaan dan masyarakat tercapai, lalu diimplementasikan,” ujar Ahmad.
Penelitian ini menemukan, secara umum mekanisme resolusi konflik sawit -pengadilan, fasilitas pengaduan RSPO, dan mediasi informal oleh pemerintah lokal- masih belum efektif. Alasan lain, sulitnya masyarakat mengakses mekanisme resolusi konflik formal seperti pengadilan dan fasilitas penyelesaian sengketa RSPO.
Di Kalbar, hanya 5 kasus yang dibawa ke pengadilan dan 5 kasus ke RSPO. Kombinasi beberapa faktor seperti kendala hukum, biaya, kekurangpercayaan, dan kerumitan prosedur membuat masyarakat enggan menggunakan mekanisme ini.
“Selain itu, ketika masyarakat menang di pengadilan [hanya 3 kasus], putusan pengadilan seringkali tidak diimplementasikan,” lanjut Ahmad.
Sebaliknya, mediator profesional dengan kapasitas terlatih untuk memediasi konflik, jauh lebih efektif memfasilitasi penyelesaian.
Tim peneliti POCAJI memberikan beberapa rekomendasi pencegahan konflik. Diharapkan, pemerintah daerah dapat memastikan bahwa perusahaan benar-benar mendapatkan ‘persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan’ atau FPIC dari masyarakat setempat sebelum memulai operasi; dan memantau implementasi skema kerja sama inti-plasma.
Untuk meningkatkan penyelesaian konflik, perlu dibentuk lembaga mediasi atau desk resolusi konflik di tingkat provinsi atau kabupaten; meningkatkan kapasitas pihak berwenang; serta pemerintah lokal agar bisa menjatuhkan sanksi kepada perusahaan yang tidak kooperatif dalam penyelesaian konflik.
“Perlu penegakan hukum lebih profesional dan terhindar tekanan informal dari aktor bisnis,” tegas Ahmad.
Peran pemerintah
Kepala Dinas Perkebunan Kalbar Heronimus Hero mengatakan, harusnya pemerintah kabupaten yang lebih memiliki peran strategis dalam mencegah dan menyelesaikan konflik. Sebab, hampir semua wewenang evaluasi berada di pemerintah kabupaten.
“Wewenang lebih memang sudah ada di kabupaten. Kunci utama penyelesaian konflik itu di kabupaten,” katanya.
Hero menyebut, pemerintah kabupaten bisa mengevaluasi, apakah perusahaan tersebut telah memberikan manfaat kepada semua pihak, artinya perusahaan untung, masyarakat sejahtera dan ekonomi maju.
“Karena yang beri izin itu di kabupaten, sebab punya areal. Kabupaten diberikan instrumen yang luar biasa. Evaluasi pemda ini yang paling strategis dan itu sah secara hukum.”
Menurut dia, semua aturan dalam perkebunan sudah ada, tinggal dijalankan. Perangkatnya juga sudah ada, tinggal dikerjakan.
“Kabupaten bisa memberi teguran kepada perusahaan. Tapi perusahaan juga harus dilindingi, sebab telah ada izin. Jika tidak ada izin, kabupaten bisa beri sanksi tegas,” harap Hero.
Bupati Kubu Raya Muda Mahendrawan menyebut, dalam upaya penyelesaian konflik perkebunan sawit, pemerintah kabupaten lebih banyak melibatkan perangkat desa dalam melakukan mediasi dan pendekatan terhadap kedua belah pihak yang berselisih.
“Di Kubu Raya lebih banyak melibatkan perangkat desa dalam menyelesaikan konflik,” ujarnya.
Muda mengaku, sebagian besar konflik di daerah memang lebih disebabkan penyerobotan lahan dan tumpang tindih lahan transmigrasi. Dan sekarang lebih banyak pada konflik bagi hasil plasma. Selain itu, konflik juga terjadi antar-perusahaan yang berdampingan.
“Dari 28 perusahaan yang ada di Kubu Raya, satu per satu kita tata dan selesaikan. Kita tata ulang perizinan.”
Selain itu, terang Muda, belakangan muncul konflik baru, yakni akibat peralihan manajemen perusahaan. “Ini tantangan yang harus kita selesaikan. Kita terus lakukan mediasi, agar masalah terselesaikan,” ucapnya.
Kepastian hukum dan lahan
Perwakilan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia [Gapki], Sadino mengungkapkan, tidak semua perusahaan perkebunan sawit anggota Gapki. Di Kalbar misalnya, dari 378 perusahaan hanya 70 yang merupakan anggota Gapki.
“Komitmen Gapki adalah perkebunan berkelanjutan secara sosal dan ekonomi. Konflik tentu menjadi catatan dan kami memahami. DIharapkan, penelitian ini adak kelanjutannya, termasuk substansi di regulasi perkebunan.”
Sadino menyoroti persoalan kepastian lahan dan hukum di Indonesia. Jika itu terwujud, penyelesaian konflik akan lebih mudah.
“Kenapa ada konflik, karena mayoritas hutan tidak mungkin ada bukti sertifikat. Tapi itu kemudian diklaim lahan masyarakat. Ini yang jadi sengketa. Apalagi jika dibawa ke pengadilan yang menganut hukum positif.”
Kemudian masyarakat mencari jalan alternatif, seperti mediasi atau lain sebagainya. “Hukum agraria tidak menjangkau ke seluruh wilayah. Perusahaan menjadi sulit, harus berhubungan dengan siapa jika bukti hak hanya sertifikat,” ungkapnya.
Sumber:
Pertama kali rilis di laman mongabay.co.id dengan judul Penelitian: Penyelesaian Konflik Perusahaan Sawit dengan Masyarakat di Kalbar Belum Efektif pada 31 Januari 2021.