Menurut Mohammad, ada jarak antara narasi perubahan iklim dengan pengetahuan khalayak yang menyebabkan responnya tidak pernah sampai ke akar rumput. “Sehingga perlu strategi komunikasi perubahan iklim agar dapat memantik kesadaran dan aksi publik. Hal ini memerlukan komunikasi yang strategis,” ujarnya.
Merespon Hasil G20 atas Narasi Perubahan Iklim
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Tanjungpura Pontianak menghelat seminar nasional berjudul Indonesia’s Response to the G20 Challenge in Dealing with Climate Change due to Global Warming. Dibuka oleh Wakil Dekan III Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Tanjungpura, Drs. M. Sabran Achyar, M. Si., kegiatan ini dilaksanakan pada Sabtu (26/11/2022).
Negara-negara maju dan berkembang membentuk platform multilateral strategis yang dinamai G20. Forum ini hendak menghubungkan negara-negara arus utama ekonomi dunia. Untuk pertama kalinya Indonesia menjadi tuan rumah forum yang terdiri dari 19 negara utama dan Uni Eropa (UE). “Kegiatan ini merupakan respon atas Presidensi G20 Indonesiayang digelar di Bali kemarin,” ujarnya di aula Magister Ilmu Hukum Universitas Tanjungpura.
Selama 2 hari sejak 15 November 2022, forum ini berhasil melahirkan G20 Bali Leaders Declaration bagi pemulihan dunia. Salah satu poin penting dalam deklarasi tersebut adalah agenda global menjawab tantangan perubahan iklim.
Seminar ini, menurut Sabran, adalah hasil inisiasi mahasiswa Hubungan Internasional Fisip Untan Angkatan 2020. “Kegiatan ini juga dalam rangka praktikum seminar mahasiswa HI Angkatan 2020,” katanya.
Seminar yang diikuti mahasiswa dan undangan dari berbagai kalangan ini dimoderatori oleh Akhmad Rifky Setya Anugrah, S.IP., M.Sc., staf pengajar di Fisip Untan. Dengan mengusung konsep talkshow, Rifky memandu para narasumber yang hadir, yakni Dr. Farah Diba, S.Hut., M.Si., Dekan Fakultas Kehutanan Untan; Nouval Omar Batistuta, President of Society Renewable Energy Untan; serta Mohammad Reza, Knowledge Management and Communication Manager Gemawan.
Mitigasi Dampak Perubahan Iklim
Narasumber pertama, Nouval Omar Batistuta, mengatakan bahwa perubahan iklim merupakan kondisi perubahan signifikan pada iklim yang menyebabkan munculnya fenomena pemanasan global. Menurutnya, pemanasan global terjadi karena meningkatnya emisi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer sehingga memantulkan kembali panas ke permukaan Bumi. “Hal ini terjadi disebabkan faktor manusia, seperti penggunaan AC dan kendaraan bermotor yang menggunakan bahan bakar fosil,” katanya.
“Dampak terbesar akibat perubahan iklim ini bisa menimbulkan masalah ekonomi dunia,” tegasnya saat ditanya mengenai dampak perubahan iklim.
Senada dengan itu, Dr. Farah Diba, S.Hut., M.Si., menyebut perubahan iklim sudah menjadi permasalahan global yang meresahkan dunia. Menurutnya, kita dapat memitigasi dampak perubahan iklim melalui aksi-aksi kecil. “Di Fakultas Kehutanan, kami mewajibkan setiap mahasiswa baru untuk menanam pohon setiap orangnya. Bayangkan bila hal itu juga dilakukan semua orang,” jelasnya.
Pohon berperan besar menyerap gas penyebab emisi GRK. Sayangnya deforestasi, terutama yang disebabkan sektor industri, telah membabat pohon dengan jumlah yang sangat masif. Mongabay merilis laporan Global Forest Watch menyebutkan dalam dua dekade terakhir, di Kalimantan Barat saja telah kehilangan 1,25 juta hektar.
“Di kelas atau di setiap kegiatan Fakultas Kehutanan juga kami meminta untuk tidak menyisakan sampah,” tambah Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura.
Perlu Komunikasi Strategis untuk Perubahan Iklim
Mohammad Reza, Knowledge Management and Communication Manager Gemawan, menyoroti komitmen negara-negara peserta G20 untuk mencegah dampak perubahan iklim semakin parah. “Jika kita melihat hasilnya, maka yang kita lihat justru komitmen setengah hati untuk memitigasi perubahan iklim. Buktinya adalah penggunaan batu bara untuk pembangkit listrik yang masih dibiarkan, penyediaan tenaga solar yang tak didukung penuh, serta prioritas rehabilitasi lingkungan yang tidak fokus ke sektor kehutanan,” jelasnya.
“Ada beberapa istilah yang berhubungan dengan perubahan iklim: climate change, climate crisis, climate action, dan climate justice. Tapi memang sulit membumikan istilah-istilah itu ke tingkat tapak,” ujar Mohammad.
Menurut Mohammad, ada jarak antara narasi perubahan iklim dengan pengetahuan khalayak yang menyebabkan responnya tidak pernah sampai ke akar rumput. “Sehingga perlu strategi komunikasi perubahan iklim agar dapat memantik kesadaran dan aksi publik. Hal ini memerlukan komunikasi yang strategis,” ujarnya.
Ia memaparkan hasil riset Gemawan tentang kesadaran iklim generasi muda. Menurut hasil riset tersebut, anak muda sudah memiliki kesadaran iklim, hanya saja masih parsial. “Tentu saja sebagai penggerak perubahan, anak muda harus memahami isu secara komprehensif agar mampu memotori aksi iklim yang kolaboratif,” paparnya di hadapan para peserta yang didominasi mahasiswa program studi Hubungan Internasional FISIP Universitas Tanjungpura.
Gemawan bersama jaringan CSO, jelas Mohammad di sela kegiatan, selama ini telah melakukan aktivitas advokasi dan peningkatan kapasitas komunitas masyarakat di tingkat tapak dalam melakukan aksi-aksi iklim. “Komunitas masyarakat yang notabene adalah kelompok rentan terdampak perubahan iklim justru menjadi kelompok paling berperan dalam mitigasi perubahan iklim,” jelasnya kepada AkuBumi.
Mereka, tambah Mohammad, melakukan aksi iklim karena memiliki ikatan dengan alam. “Ini berbeda dengan orang-orang di kota yang cenderung eksploitatif dengan alam karena terlanjur berperspektif antroposentris,” katanya lagi.
“Anak muda bisa melakukan aksi iklim dengan cara yang paling mudah, yakni menggunakan media sosial untuk mengampanyekan aksi iklim dengan bahasa mereka,” himbaunya.
Sumber:
Foto: Kumparan