Strategi Percepatan Pencapaian SDGs dari Desa | Perempuan dan Alam

Perempuan dan Alam | Dari perspektif ekofeminisme, perempuan dan alam dinilai mengalami ketidakadilan yang sama: opresi, eksploitasi, subordinasi, dan alienasi, hingga terdegradasi dan hanya menjadi objek. Fenomena ini terjadi karena kapitalisasi dan neoimperialisme (imperialisme baru) yang tidak pernah melihat perempuan setara dengan laki-laki. Demikian pula dalam melihat alam: hanya semata-mata objek pemuas hasrat.

Perempuan dan Alam: Kosmologi Timur, Rezim Kapitalisme, dan Hegemoni Tanda

“Perempuan adalah alam dan lingkungan itu sendiri,” ketika menjelaskan tentang hubungan perempuan dan alam. Pernyataan itu semacam adagium, tidak hanya bagi para penggerak ekofeminisme, termasuk juga masyarakat di Timur. Ada paradigma kosmologi Timur yang melihat perempuan dan alam memiliki irisan, bahkan identik.

Bila perempuan memiliki – rumah janin tumbuh, berkembang, dan kelak lahir yang dinamai – rahim, maka alam ini pula adalah rahim, tempat lahir, tumbuh, dan berkembangnya kehidupan. Pengistilahan ibu pertiwi atau mother earth, juga mengindikasikan penyatuan alam dan perempuan – khususnya dalam kosmologi Timur.

Ada istilah “ladies, first,” yang acapkali kita dengar. Sebuah frase yang mengangkat perempuan. Oleh rezim kapitalis, sayangnya,  istilah itu dimanfaatkan untuk memperdaya. Pemaknaan frase itu mereka manipulasi tidak untuk mengangkat perempuan dalam kesetaraan. Alih-alih meninggikan derajat perempuan, rezim kapitalis justru membuka pintu jebakan menuju dominasi baru yang merongrong perempuan.

Lihat saja cara rezim kapitalis memperlakukan perempuan secara eksploitatif. Prototyping kecantikan, keanggunan, keindahan, mereka produksi dan sebar di berbagai media massa. Dari sini mereka membangun imperium tanda.

Upaya dominasi serupa juga mereka perbuat terhadap terma liberalisme dan kebebasan berekspresi. Dua terminologi ini digunakan pula untuk menjerat para perempuan. Eksploitasi seksisme lantas terjadi seolah tanpa paksaan. Ya, rezim kapitalis melakukan hegemoni tanda di dalam imperium yang telah didirikan untuk menguasai penafsiran tanda.

Menurut analisis semiotika, tanda adalah wadah bagi makna untuk terus-menerus direproduksi, tempat sebuah ideologi bekerja. Liberalisasi dan kebebasan berekspresi, dalam konteks ini, mewujud sebagai locus reproduksi makna kelompok borjuis dan kapitalis dalam menghegemoni pandangan publik. Yang kelompok ini inginkan sesungguhnya adalah nilai lebih, tanpa peduli dengan aspek humanitas.

Perempuan dan Alam
Perempuan dan alam memiliki relasi yang tidak hanya saling hubung, bahkan penyatuan. Dua keberadaan yang seakan terpisah ini pada dasarnya adalah sebuah kesatuan. Gambar: Gemawan.

Baca juga: Hari Perempuan Internasional 2023: Embrace Equity, Menegakkan Keadilan untuk Semua

Baca jugaIni 5 Masalah Utama Perlindungan Hutan di Indonesia

Upaya Memahami Relasi Perempuan dan Alam

Dari perspektif ekofeminisme, perempuan dan alam dinilai mengalami ketidakadilan yang sama: opresi, eksploitasi, subordinasi, dan alienasi, hingga terdegradasi dan hanya menjadi objek. Perempuan dan alam tersudut oleh rongrongan kapitalisasi dan neoimperialisme yang tidak pernah melihat perempuan setara dengan laki-laki. Watak dominasi juga ditunjukkan ketika mereka melihat alam: hanya semata-mata objek pemuas hasrat.

Pepohonan dibabat, diganti dengan wajah baru. Petak persawahan diratakan, berganti kotak-kotak pondasi bangunan. Tanah digali hingga kedalaman ratusan meter. Sungai dicemari zat-zat polutan. Sementara udara disesaki kabut asap industri dari moncong-moncong menara korporasi. Eksplorasi dan eksploitasi berdalih modernisasi dan pembangunan, yang berakibat degradasi alam.

Ketika alam terdegradasi hingga menyebabkan ancaman krisis iklim – seperti saat ini, maka perempuan menjadi kelompok yang paling rentan terdampak. Di banyak tempat, perempuanlah yang mengakses sumber-sumber penghidupan (livelihood) yang berasal dari alam. Kondisi penurunan kualitas daya dukung dan daya tampung alam akibat perubahan iklim jelas memukul para perempuan pengakses sumber penghidupan.

Penurunan jumlah panen, misalnya, pasti berdampak besar bagi para perempuan yang menjaga pasokan pangan bagi keluarganya. Air yang tercemar, contoh lain, juga berpengaruh terhadap kesehatan mereka dan keluarganya.

Para perempuan di Kalimantan Barat mengelola sumber penghidupan yang diistilahkan dengan umme atau huma atau umma, yakni sawah atau ladang. Mereka juga mengakses hutan untuk memperoleh alternatif sumber penghidupan. Perempuan dan alam, dalam banyak dimensinya, saling rajut dan menjaga, membentuk identitas diri yang baru, tidak hanya identitas sosial, termasuk identitas budaya dan ideologi. Direktur Gemawan, Laili Khairnur menyebutnya sebagai identitas livelihood.

Identitas livelihood ini, menurut Laili, bukanlah berperspektif materialistis. Para perempuan beraktivitas di sumber penghidupan mereka tanpa orientasi materialistis untuk mendapatkan uang semata, melainkan untuk keberlangsungan dan keberlanjutan hidupnya dan keluarga. Para perempuan di tapak ini memiliki perspektif keberlanjutan yang ecocentric, karena mengakarnya kesadaran primordial bahwa alam yang rusak adalah ancaman bagi kehidupan.

Baca juga: Mengawal Implementasi Reforma Agraria, Mengurai Masalah Kehutanan dan Lahan berbasis Komunitas: Studi di Mempawah

Baca jugaMenanti Langkah Kolektif Hadapi Krisis Iklim: Demi Masa Depan Manusia

Relasi yang Terancam Korporasi

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan 2 September 2014, luas hutan Kalbar sekitar 8,4 juta hektar. Dengan rincian, 1,62 juta hektar suaka alam dan pelestarian alam, 2,31 juta hektar hutan lindung, 2,13 juta hektar hutan produksi terbatas. Kemudian, 2,13 juta hektar kawasan hutan produksi, dan 197.920 hektar hutan produksi konversi. Kawasan hutan lindung dan hutan produksi 6,77 juta hektar terbagi dalam 17 KPH (Pahlevi, 2021).

Realitas penguasaan sumberdaya hutan itu tidak dimiliki oleh masyarakat. Ambisi ekonomi tunduk pasrah di hadapan kuasa korporasi, sehingga prioritas penguasaan sumberdaya diserahkan hanya kepada para pemilik modal. Dalihnya sederhana, sejak era Orde Baru, yakni menambah devisa negara.

Aktivitas eksploitasi itu meninggalkan bekas luka, seluas 1,25 juta hektar hutan Kalimantan Barat hilang selama dua dekade terakhir (Pahlevi, 2021). Kondisi itu diperparah kebakaran hutan dan lahan yang secara berkala terjadi, khusus ketika kemarau.

Baca jugaDua Langkah Strategis Menjaga Mangrove: Collaborative Efforts and Collective Action!

Baca jugaMengisi Ruang di Media Sosial

Upaya Menjaga yang Tersisa

Strategi mitigasi cepat agar eskalasi kerusakan ini tidak semakin besar mendesak dilakukan. Secara umum, setidaknya 3 strategi yang bisa dilakukan, yakni memanfaatkan program perhutanan sosial, pemetaan, dan CCLA.  

Perempuan dan Alam | Memanfaatkan mangrove.
Perempuan di Kabupaten Kayong Utara memanfaatkan tumbuhan penyusun hutan mangrove sebagai penganan baru. Penyatuan perempuan dan alam membentuk identitas baru dan melahirkan pembaharu. Gambar: Istimewa.

Pertama, Program Perhutanan Sosial (PS) merupakan bagian program Reforma Agraria yang dijalankan Pemerintah Indonesia. Perhutanan Sosial membuka akses bagi masyarakat yang tinggal di dalam atau sekitar kawasan hutan untuk dapat mengelola dan memanfaatkan sumberdaya alam. 

Masyarakat marjinal, termasuk komunitas adat dan perempuan memiliki hak yang sama atas akses terhadap sumberdaya alam. Melalui beberapa skema Perhutanan Sosial, jalan pengelolaan sumberdaya hutan yang inklusi lebih terbuka. 

Terdapat 5 skema yang ditawarkan dalam program perhutanan sosial, yakni hutan desa (HD), hutan kemasyarakatan (HKm), hutan adat (HA), hutan tanaman rakyat (HTR), dan kemitraan kehutanan (KK).

Melalui 5 pilihan ini, masyarakat dapat mengeklaim ruang kelola mereka. Semakin banyak komunitas masyarakat yang memanfaatkan program ini, luasan penguasaan mereka atas hutan pun bertambah.

Kedua, Pemetaan ruang hidup masyarakat. Tujuannya adalah merancang tata ruang yang inklusif dan berkeadilan. Upaya ini dilakukan secara partisipatif dengan melibatkan masyarakat dan para pemangku kepentingan. Bersamaan, tentu saja ini membuka terciptanya iklim keterbukaan tata ruang, yang selama hanya dikuasai segelintir pihak.

Ketiga, menggunakan CCLA (Community Conservation and Livelihood Agreement (CCLA). Sebagaimana namanya, CCLA merupakan kesepakatan masyarakat untuk pelestarian sumberdaya alam dan sumber penghidupan (livelihood).

CCLA adalah kesepakatan atau perjanjian tertulis masyarakat untuk melestarikan sumberdaya hutan (alam) disertai pengembangan mata pencaharian (livelihood) yang ramah lingkungan (berkelanjutan) (USAID IFACS, 2014). Kesepakatan ini bersifat sepihak (masyarakat) atau bersama dengan pihak lain.

Melalui CCLA, dapat diimplementasikan berbagai skema perlindungan yang melibatkan kelompok perempuan dan marjinal lainnya membuat kesepakatan internal. Kesepakatan ini yang menjadi dasar perlindungan sumberdaya hutan dan lahan masyarakat. 

Terlepas berbagai kelemahannya, CCLA memiliki aspek legal sehingga mampu mendukung mengurangi ancaman free riders yang ingin menguasai ruang hidup masyarakat. 

Perempuan dan alam | Umme
Para perempuan petani di Sambas beraktivitas di umme. Sekilas bukti tentang cara perempuan dan alam saling terhubung. Laili Khairnur menyebut ini sebagai identitas livelihood. Gambar: Istimewa.

Baca juga: 1 Hari Eksplorasi Komunikasi Organisasi Gemawan bersama Roemah Inspirit

Baca jugaBerkah Sedekah Sampah, Serumpun Sejati Bagikan 20 Paket Sembako

Menjaga Alam dengan Keperempuanan

Mempertahankan identitas livelihood perempuan dan alam memang perlu waktu dan kerja keras. Kembali mengarusutamakan pembahasan ini dalam narasi pengelolaan hutan dan lahan berkelanjutan tidak mungkin berhenti hanya karena keberadaan regulasi-regulasi afirmatif terhadap perempuan dan kelompok marjinal lain. Regulasi afirmatif, notabene, hanya memberikan peluang, bukan kepastian akses yang berkeadilan.

Jika terus berjalan, aksi ini pasti memicu kelahiran sosok para perempuan inovator yang memelihara alam dengan cinta dan keperempuanan mereka. 

 

Referensi Menjaga Perempuan dan Alam

Gemawan. (2022, February 18). Perhutanan Sosial Pintu Dorong Pelibatan Perempuan Untuk Pengelolaan Hutan Di 11 Desa Melawi | Lembaga Gemawan. Gemawan. Retrieved March 17, 2023, from https://gemawan.org/dorong-pelibatan-perempuan-dalam-perhutanan-sosial/ 

Pahlevi, A. (2021, October 31). Dua Dekade Terakhir, Kalimantan Barat Kehilangan 1,25 Juta Hektar Hutan. Mongabay. Retrieved March 15, 2023, from https://www.mongabay.co.id/2021/10/31/dua-dekade-terakhir-kalimantan-barat-kehilangan-125-juta-hektar-hutan/ 

USAID IFACS. (2014). Community Conservation and Livelihood Agreement (CCLA) – PDF Download Gratis. DocPlayer.info. Retrieved March 17, 2023, from https://docplayer.info/83324437-Community-conservation-and-livelihood-agreement-ccla.html

 

Penulis: Mohammad R., Knowledge Management and Communications Manager Gemawan.

Rilis di rubrik Opini Harian Pontianak Post pada tanggal 25 Maret 2023 dengan judul Menegakkan Keadilan bagi Perempuan dan Kelompok Marjinal.

Perempuan dan Alam, 1 Identitas Baru yang Menjaga Kehidupan
Tag pada: