Bagi CSO, impact yang lebih besar di media sosial bisa diraih melalui konten video untuk menyampaikan nilai dan pesan-pesan perubahan, dalam hal ini adalah “menarik” kembali nalar khalayak dari hiperealitas menuju realitas.
Melalui video, CSO dapat membangun interelasi antara visi transformasi sosial masyarakat sipil dengan narasi publik melalui komunikasi yang strategis.
Revolusi Industri 4.0 dan perkembangan pesat dunia digital tak bisa dihindari. Realitas saat ini bergeser menuju digitalisasi, di dalam sebuah simulacra baru bernama media digital. Ruang-ruang interaksi manusia juga berada dalam dunia simulasi yang dikerumuni penanda, simbol, dan iklan yang menghantam visual manusia kontemporer.
Bagi kebanyakan orang, simbol dan penanda itu diyakini sebagai realitas sejati. Publik dirayu untuk mengikuti narasi yang dibangun di dalam simulacra bernama media sosial. Narasi-narasi yang menyerbu itu sebenarnya merayu untuk mengikuti sebuah pola yang menjauhkan khalayak dari realitas hakiki.
Disadari atau tidak, para pengguna media sosial didesain menjauh dari fakta-fakta disrupsi besar yang terjadi di dunia, seperti perubahan iklim, bencana ekologis, krisis kemanusiaan, dan kegamangan masa depan.
Kegamangan itu ada di media sosial, meski tak sepenuh celoteh popular.
Baca juga: Media Sosial, Masyarakat Sipil, dan Panopticon Digital
Baca juga: Dua Langkah Strategis Menjaga Mangrove: Collaborative Efforts and Collective Action!
Di era hiperealitas yang sedemikian pelik dan saling tindih, lantas kelompok masyarakat sipil (CSO) dituntut untuk juga mampu meraih perhatian publik di media sosial.
Memasuki arena di media sosial sudah bukan lagi pilihan, melainkan kemestian bagi masyarakat sipil. CSO harus ikut bertarung memperebutkan narasi utama publik di media sosial agar simulacra ini tidak diisi dengan penanda-penanda semu.
Mengisi Ruang-Ruang di Media Sosial
Menurut data Tren Digital 2022 dari We Are Social, sebanyak 91,9% pengguna internet di dunia mengakses konten jenis video setiap pekannya. Target audience yang sangat menggiurkan bagi para pegiat digital marketing.
Senada, data sementara Gemawan dalam riset Kecenderungan Generasi Muda Kalimantan Barat untuk tahun 2022 memperlihatkan lebih dari 80% generasi muda Kalimantan Barat menyukai konten video singkat di media sosial.
Tingginya angka penikmat konten video tersebut di atas memberikan kesempatan CSO untuk menyampaikan pesan di media sosial melalui konten serupa. Bagi CSO, pengguna internet yang berlimpah itu juga sasaran pesan komunikasi. CSO tentu menginginkan pengetahuan yang dimilikinya menjadi konsumsi publik.
Baca juga: Kolaborasi Multi Pihak Aksi Jaga Bumi Tanam Mangrove di Hari Lingkungan Hidup Internasional 2022
Baca juga: Ini 5 Masalah Utama Perlindungan Hutan di Indonesia
Pesan melalui video juga berpeluang mendekonstruksi konten-konten yang sudah seliweran di jagat maya. Syaratnya, menyesuaikan dengan kecenderungan minat audiens. Jika tidak, maka hanya akan menambah tumpukan visual garbage.
Toh, CSO tak harus ruwet memikirkan konten karena segudang pengetahuan dari tingkat tapak yang telah dikompilasi. Selebihnya, yang tak kalah berat, adalah melakukan audience listening. Audiens yang semakin terfragmentasi memerlukan cara pendekatan yang berbeda.
Konten video memang mudah menarik atensi. Ia juga memanjakan visual khalayak, serta membangun kepercayaan terhadap brand organisasi dan meningkatkan konversi.
Bagi CSO, impact yang lebih besar di media sosial bisa diraih melalui konten video untuk menyampaikan nilai dan pesan-pesan perubahan, dalam hal ini adalah “menarik” kembali nalar khalayak dari hiperealitas menuju realitas.
Melalui video, CSO dapat membangun interelasi antara visi transformasi sosial masyarakat sipil dengan narasi publik melalui komunikasi yang strategis.
Baca juga: Menjaga Pesisir Borneo dengan Borneo Mangrove Action: Menebar Pesan Love Mangrove
Simak video kampanye #LoveMangrove berikut ini:
Sumber Gambar: MaxPixel.net
Mohammad R., Knowledge Management & Communications Gemawan.