Diperlukan konsistensi dalam tata ruang kota. Burhani (2023) menyatakan inkonsistensi tata ruang menjadi tantangan utama untuk memecahkan permasalahan penurunan permukaan tanah di Jakarta. Lebih lanjut, tidak selarasnya rencana tata ruang dan implementasinya ini membuat pemerintah dan para pemangku kepentingan tidak konsisten dalam penegakan kebijakan dan standar yang sebelumnya telah ditetapkan (Burhani, 2023).
⅓ air tawar di Bumi tersimpan sebagai air tanah, 60 kali lebih banyak dari air tawar yang ditemukan di danau dan aliran sungai (Resmana, 2022). Gleeson dan Richter (2018) dalam Penny et al. (2021) menjelaskan bahwa air tanah berperan penting dalam mendukung sistem ekologis dan sosial di seluruh dunia. Zektser dan Everett (2004) menyebutkan 50% pasokan air kota berasal dari air tanah dan 40% persedian air tanah, menurut Siebert et al. (2010), digunakan untuk kepentingan irigasi (Penny et al., 2021).
Desakan untuk melindungi sumber air tanah menjadi semakin besar karena persediaannya yang semakin berkurang. Hal lain, ancaman air tanah terkontaminasi berbagai polutan meningkatkan risiko bagi kehidupan karena berkurangnya kualitas air tanah.
Meskipun UUD 1945 menjamin hak warga negara atas air yang bersih dan layak diminum, masih banyak wilayah di Indonesia yang belum mendapatkan akses terhadap fasilitas air tersebut. Solusi yang dilakukan masyarakat adalah mengonsumsi air permukaan, seperti bersumber dari danau dan sungai, serta menadah hujan. Sementara sebagian lain akan menggali sumur dangkal untuk memeroleh air tanah (Resmana, 2022).
Baca juga: Cegah Karhutla Kalbar di Masa Datang, Gemawan Rapid Assessment di 2 Kabupaten
Baca juga: Cegah Karhutla di Sambas, Sepakati Permakades di 2 Kecamatan
Badan Pusat Statistik, dalam Resmana (2022), menyampaikan konsumsi air terbesar masyarakat Indonesia berasal dari air minum dalam kemasan dan sumur. Data menyebutkan 27,04% penduduk Indonesia memanfaatkan air tanah yang bersumber dari sumur.
Hal ini tentu berkonsekuensi terhadap alam. Di Jakarta, contohnya, Jurnal Nature Communications (2019) memublikasikan hasil riset yang memprediksi Ibu kota akan tenggelam pada 2050 (VOI, 2021). Terjadi penurunan permukaan tanah yang begitu cepat di Jakarta. Salah satu sebabnya adalah perilaku masyarakat menggunakan sumur bor untuk mengekstraksi air tanah. Eksploitasi air tanah ini telah terjadi tanpa terkendali sejak developmentalisme mendeklarasikan diri di Indonesia dan Jakarta didaulat sebagai sentra ekonomi. Developmentalisme, menurut Umam (2022), merupakan orientasi pembangunan pada percepatan ekonomi dan pembangunan infrastruktur yang dipopulerkan selama Orde Baru berkuasa.
Sustainable City dan Tata Ruang Kota
UU PPLH mendefinisikan lingkungan hidup sebagai kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang memengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan kehidupan, dan kesejahteraan manusia (Heripoerwanto et al., 2021). Lingkungan hidup, berdasarkan definisi tersebut, terdiri atas 3 unsur, yakni biotik, sosial, dan fisik. Ketidakseimbangan hubungan 3 unsur itu menyebabkan permasalahan lingkungan.
Heripoerwanto et al. (2021) menyatakan pola pemanfaatan ruang kota yang tidak mempertimbangkan keseimbangan ekosistem akan menyebabkan timbulnya permasalahan-permasalahan lingkungan. Karena itu diperlukan pengembangan kota yang berkelanjutan (sustainable city) sebagai agenda utama kota-kota di Indonesia.
Sustainable city dipandang sebagai kota yang berada dalam kondisi keseimbangan dinamis yang terus-menerus mencari keseimbangan di antara atribut-atribut lingkungan, sosial, dan ekonominya (Al-Zoabi & Jarrar, 2016). Dengan demikian, sustainable city menurut pandangan Al-Zoabi & Jarrar (2016) memberikan jaminan kesinambungan dengan masa lalu, namun juga beradaptasi untuk mengakomodasi perubahan.
Kota menjadi pusat perhatian karena pelbagai masalah lingkungan, terutama diakibatkan dinamika populasi yang mendiaminya. Penataan ruang memiliki andil dalam mendorong keberlanjutan karena rencana, kebijakan, dan program yang menentukan penggunaan lahan dan dampak lingkungan merupakan produk dari proses perencanaan (Alshuwaikhat & Aina, 2004).
Baca juga: Aksi Tanam Pohon 300 Bibit di Kayong Utara, Gemawan Kampanye “Kompensasi Untuk Bumi”
Baca juga: Leading Social Entrepreneurs 2023: Laili Khairnur
Jika tidak dikelola dengan baik melalui penataan ruang, sumberdaya bersama rentan mengalami kerusakan yang berdampak panjang. Hardin (1968) mengemukakan tesisnya mengenai The Tragedy of The Commons, yang mengacu pada skenario ketika lahan yang dimiliki bersama (common pool resources/CPRs), secara tidak terelakkan, terdegradasi karena setiap orang dalam suatu komunitas diizinkan untuk menggembalakan ternak di sana (Anukwonke, 2015). Menggembalakan domba merupakan perumpamaan yang digunakan untuk mencontohkan eksploitasi lahan – sebagai sumberdaya bersama.
Dilema di Jakarta
Jakarta berkembang dengan sangat tajam. Berbagai sektor, seperti industri, perdagangan, transportasi, real-estate, tumbuh subur menemani perkembangan Jakarta sejak era Kemerdekaan. Sejak itu, Jakarta lama menjadi tujuan perpindahan orang-orang untuk mencari peluang hidup yang lebih baik. Tantangan baru muncul di Jakarta, baik sosial maupun ekologi.
Jumlah penduduk Jakarta pada tahun 2023 diperkirakan sebesar 11,2 juta jiwa (World Population Review, 2023). Di tahun 2021, populasi setara dengan 3,87% total populasi Indonesia. Tren peningkatan jumlah populasi di Jakarta terus meningkat setiap tahunnya, dengan rata-rata pertumbuhan penduduk 1,57%. Kepadatan populasi Jakarta diperkirakan 14.464 jiwa per kilometer persegi (Annur, 2023).
Seiringan, kebutuhan akan pasokan air semakin bertambah. PAM Jaya menyebutkan kebutuhan air Ibukota tahun 2023 mencapai 24 ribu liter/detik (Air Kami, 2023). Warga Jakarta mengandalkan air tanah sebagai sumber air baku. Diperkirakan 75% warga Jakarta menggantungkan kebutuhan hidup mereka dari air tanah, meskipun beberapa kajian menunjukkan 90% air tersebut terkontaminasi berbagai bakteri (Edelman & Gunawan, 2020). Warga tidak memiliki pilihan alternatif, sementara infrastruktur air bersih masih terbatas.
Pilihan ini justru menciptakan musibah baru bagi Jakarta. Sebuah The Tragedy of The Commons penurunan muka tanah. Penurunan muka tanah di Jakarta terjadi karena ekstraksi air tanah yang tak berkelanjutan, beban bangunan dan konstruksi, urbanisasi, dan perilaku masyarakat yang tak terkendali (Burhani, 2023). Takagi et al., (2017) menyatakan penurunan permukaan tanah di Jakarta terutama disebabkan oleh praktik penyedotan air tanah yang secara resmi dilarang untuk keperluan industri.
Setiawan et al. (2021) menyatakan sekitar 40% wilayah Jakarta lebih rendah dari permukaan laut. Laju penurunan permukaan tanah di sepanjang pesisir Jakarta berkisar antara 9,5 hingga 21,5 cm/tahun selama periode 2007 hingga 2009, tercepat bila dibandingkan Tokyo, Bangkok, Hanoi, dan Can Tho (Takagi et al., 2017). Rata-rata penurunan permukaan tanah di Jakarta maksimal sebesar 17,9 cm/tahun (Setiadi et al., 2020).
Pemerintah DKI Jakarta melakukan upaya untuk menjawab dilema penggunaan air tanah. Beberapa upaya itu adalah membangun instalasi pengolahan air (IPAL), menetapkan kawasan bebas air tanah, serta pemantauan ketat atas pengambilan air tanah (Utami, 2023).
Baca juga: Tata Ruang Desa Menuju Masyarakat Swadaya dan Mandiri
Baca juga: Sintang Laksanakan Sekolah Tata Ruang Desa Bersama Gemawan
Diperlukan solusi strategis dalam pengelolaan air tanah di Jakarta. Berbagai riset telah dilakukan. Ardhianie et al. (2022) memberikan beberapa rekomendasi dalam pengelolaan air di Jakarta, yakni:
- Memprioritaskan pengelolaan cekungan air tanah dengan meningkatkan kualitasnya, terutama karena banyak penduduk yang menggunakan air tanah yang terkontaminasi dan berpotensi terpapar kontaminan, seperti bahan kimia berbahaya dan mikroorganisme setiap hari (Luo dkk. 2019). Selain itu, diharapkan adanya program-program untuk meningkatkan akses terhadap layanan air limbah yang dikembangkan dan dilaksanakan secara serius (PALJAYA, 2017). Masyarakat juga perlu memahami manfaat pengolahan air limbah dan tidak membuangnya langsung ke badan air;
- Meningkatkan pasokan air permukaan dengan mendesentralisasikan sistem pasokan dan memanfaatkan air dari sungai yang memenuhi standar kesehatan dan lingkungan. Instalasi mini dapat dibangun di dekat sungai yang dipilih untuk memproses dan memasok air ke area tertentu (Mungkasa, 2017). Mengembangkan struktur yang lebih kecil di bawah pengelolaan sistem yang ada saat ini tidak membutuhkan investasi yang besar, sehingga menjadi prioritas yang mendesak untuk membantu penduduk yang memang membutuhkan air bersih. Manfaatnya lebih signifikan dibandingkan dengan biayanya (Tsegaye et al., 2020);
- Langkah-langkah untuk mengendalikan penggunaan air tanah oleh industri besar, terutama yang berlokasi di kawasan industri menjadi penting karena pengambilan air tanah dalam jumlah besar dapat menyebabkan penurunan muka air tanah. Situasi ini berimplikasi pada pemerataan akses karena air tanah dangkal digunakan untuk konsumsi sehari-hari masyarakat. Insentif dalam bentuk pengurangan pajak dapat diberikan kepada perusahaan yang bersedia melaporkan sumur-sumur ilegal mereka dan beralih ke peralatan atau teknologi hemat air (Amundsen dkk., 2014; Montginoul dkk., 2016). Pada saat yang sama, disinsentif berupa biaya tambahan dapat diterapkan kepada perusahaan yang menggunakan air tanah di daerah yang memiliki sambungan air ledeng.
Tiga solusi tersebut di atas membutuhkan konsistensi dalam tata ruang. Burhani (2023) menyatakan inkonsistensi menjadi tantangan utama untuk memecahkan permasalahan penurunan permukaan tanah di Jakarta. Lebih lanjut, tidak selarasnya rencana tata ruang dan implementasinya ini membuat pemerintah dan para pemangku kepentingan tidak konsisten dalam penegakan kebijakan dan standar yang sebelumnya telah ditetapkan (Burhani, 2023).
Inkonsistensi tata ruang tersebut di atas akan menghambat mewujudkan Jakarta sebagai sustainable city. Sustainable city berdiri di atas pilar-pilar pembangunan berkelanjutan, yakni ekonomi, sosial, lingkungan, serta hukum dan tata kelola. Sustainable city harus mampu memberikan jaminan masa depan bagi warganya, melalui berbagai adaptasi terhadap dinamika perubahan. Bila dibiarkan berlanjut, maka yang terjadi justru Jakarta akan menghilang karena tak mampu lagi menahan beban populasi.
Pemerintah Provinsi harus kembali memperhatikan penatagunaan tanah di DKI. Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2004 tentang Penggunaan Tanah menyebutkan asas dan tujuan penatagunaan tanah, terdiri atas asas keterpaduan, asas berdayaguna dan berhasil guna, asas serasi, asas selaras, asas seimbang, asas berkelanjutan, asas keterbukaan, asas persamaan, asas keadilan dan perlindungan hukum.
Baca juga: Pemetaan Partisipatif Tata Ruang Desa Sungai Kelambu
Baca juga: Drone Gemawan Petakan Tata Ruang 4 Desa di Sambas
Burhani (2023) menyebutkan solusi dalam menghadapi permasalahan konsumsi air tanah di Jakarta. Pertama, penegakan peraturan pemerintah yang ketat dan rencana tata ruang yang telah ditetapkan; kedua, percepatan jaringan pipa air dan secara aktif memantau penggunaan ekstraksi air tanah ilegal; ketiga, mencoba menerapkan solusi berbasis alam dengan pelibatan masyarakat.
Konsistensi Tata Ruang
Penggunaan air tanah yang tak terkendali di Jakarta melahirkan The Tragedy of The Commons berupa penurunan muka tanah. Laju penurunan permukaan tanah di sepanjang pesisir Jakarta berkisar antara 9,5 hingga 21,5 cm/tahun selama periode 2007 hingga 2009. Bila Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berkeinginan mewujudkan Jakarta sebagai sustainable city, maka diperlukan konsistensi dalam penataan ruang.
Terdapat tiga solusi yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, seperti telah disampaikan sebelumnya, yakni penegakan peraturan pemerintah secara ketat dan rencana tata ruang yang telah ditetapkan; percepatan jaringan pipa air dan secara aktif memantau penggunaan ekstraksi air tanah ilegal; dan penerapan solusi berbasis alam dengan melibatkan masyarakat.
Referensi
Air Kami. (2023, Juni 7). Jakarta Masih Darurat Air Bersih? – Airkami.id. Air Kami. Retrieved Februari 14, 2024, from https://airkami.id/jakarta-masih-darurat-air-bersih/
Alshuwaikhat, H. M., & Aina, Y. A. (2004). Spatial planning guidance for achieving sustainable urban development [Whose business is it? 24th Annual Conference International Association for Impact Assessment]. International Association for Impact Assessment. https://www.iaia.org/pdf/IAIAMemberDocuments/Publications/Conference_Materials/IAIA04/PapersPDF/SN26.1-Alshuwaikhat-Spatial%20planning%20guidance%20for%20achieving%20sustainable%20urban%20development.pdf
Al-Zoabi, A. Y., & Jarrar, O. M. (2016). A sustainable city paradigm: criteria and indicators of efficiency [Proceedings of the 11th International Conference on Urban Regeneration and Sustainability (SC 2016)]. WIT Press. 10.2495/SC160131
Annur, C. M. (2023, Mei 16). Jumlah Penduduk DKI Jakarta Capai 10,67 Juta Jiwa pada 2022, Wilayah Mana Terbanyak? Databoks. Retrieved Februari 13, 2024, from https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2023/05/16/jumlah-penduduk-dki-jakarta-capai-1067-juta-jiwa-pada-2022-wilayah-mana-terbanyak
Annur, C. M. (2023, Mei 16). Jumlah Penduduk DKI Jakarta Capai 10,67 Juta Jiwa pada 2022, Wilayah Mana Terbanyak? Databoks. Retrieved Februari 14, 2024, from https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2023/05/16/jumlah-penduduk-dki-jakarta-capai-1067-juta-jiwa-pada-2022-wilayah-mana-terbanyak
Anukwonke, C. (2015). The Concept of The Tragedy of The Commons: Issues and Applications. Department of Environmental Management Chukwuemeka Odumegwu Ojukwu University. http://dx.doi.org/10.13140/RG.2.1.4977.9362
Ardhianie, N., Daniel, Purwanto, & Kismartini. (2022). Jakarta water supply provision strategy based on supply and demand analysis. H2Open Journal, 5(2), 221-233. https://doi.org/10.2166/h2oj.2022.076
Burhani, N. A. (2023). Jakarta’s Sinking: A Look At Current Initiatives. Resilience Development Initiative. https://rdi.or.id/wp-content/uploads/2023/08/Jakartas-Sinking-A-Look-At-Current-Initiatives.pdf
Developmentalisme Gaya Baru Dan Kesejahteraan Masyarakat Yang Terpasung. (2022, Juli). Populika, 10(2), 11-21. https://doi.org/10.37631/populika.v10i2.511
Djuwita, R., Ariyanto, A., & Herdiansyah, H. (2021). Psikologi Lingkungan. Tangeran Selatan: Universitas Terbuka.
Edelman, D. J., & Gunawan, D. S. (2020). Managing the Urban Environment of Jakarta, Indonesia. Current Urban Studies, 8(1), 57-106. https://doi.org/10.4236/cus.2020.81003
Gupta, S., & Ogden, D. T. (2009). To buy or not to buy? A social dilemma perspective on green buying. Journal of Consumer Marketing, 26(6), 376-391. https://psycnet.apa.org/doi/10.1108/07363760910988201
Heripoerwanto, E. D., Deliyanto, B., & Wihadanto, A. (2021). Tata Ruang dan Lingkungan. Tangerang Selatan: Universitas Terbuka.
Penny, G., Bolster, D., & Müller, M. F. (2021, Juni 15). Social dilemmas and poor water quality in private water systems. Hydrology and Earth System Sciences, 26(4), 1-21. https://doi.org/10.5194/hess-2021-312
Resmana, A. A. (2022, Maret 27). The unseen: merits, threats, and tales of groundwater. Indonesia Water Portal. Retrieved Februari 13, 2024, from https://www.indonesiawaterportal.com/news/the-unseen-merits-threats-and-tales-of-groundwater.html
Setiadi, R., Baumeister, J., Burton, P., Nalau, J., Ware, D., & Torabi, E. (2020). Extending Urban Development on Water: Jakarta Case Study. Environment and Urbanization ASIA, 1-21. https://doi.org/10.1177/0975425320938539
Setiawan, C., Muzani, & Warnadi. (2021). The Relationship Between Socioeconomic Status and Household Water Requirement in Muara Angke Inundation Area, Jakarta. IOP Conference Series. https://doi.org/10.1088/1755-1315/884/1/012014
Takagi, H., Fujii, D., Esteban, M., & Yi, X. (2017, April 16). Effectiveness and Limitation of Coastal Dykes in Jakarta: The Need for Prioritizing Actions against Land Subsidence. Journal Sustainability, 9(4), 619. https://doi.org/10.3390/su9040619
Umam, S. (2022). Developmentalisme Gaya Baru Dan Kesejahteraan Masyarakat Yang Terpasung. Jurnal Populika, 10(2), 11-21. https://doi.org/10.37631/populika.v10i2.511
Utami, F. (2023, September 16). Pengaruh Pengambilan Air Tanah Secara Berlebihan terhadap Penurunan Permukaan Tanah di Jakarta. Retrieved November 19, 2023, from https://www.researchgate.net/publication/373977443_Pengaruh_Pengambilan_Air_Tanah_Secara_Berlebihan_Terhadap_Penurunan_Permukaan_Tanah_Di_Jakarta
van Lange, P. A., Joireman, J., Parks, C. D., & van Dijk, E. (2013, Maret). The Psychology of Social Dilemmas: A Review. Organizational Behavior and Human Decision Processes, 120(2), 125-141. https://doi.org/10.1016/j.obhdp.2012.11.003
VOI. (2021, Oktober 6). Prohibition Of Use Of Groundwater, Solution To Prevent Jakarta Sinking? VOI. Retrieved November 19, 2023, from https://voi.id/en/bernas/91612
World Population Review. (2023). Jakarta Population 2023. World Population Review. Retrieved November 22, 2023, from https://worldpopulationreview.com/world-cities/jakarta-population
Penulis: Mohammad R., Knowledge Management Gemawan.