Hermawansyah Mempawah Dinamisator BRGM Gambut Mangrove Desa Moderasi Kebudayaan pemenuhan keadilan, menulis artikel Akuntabilitas Partai Politik. Aktif dalam gerakan sosial di Kalbar. Memperjuangkan hak kelola rakyat melalui aktivitas sosialnya. Aktif advokasi regulasi penataan daerah Menulis Tanggung jawab-generasi

“Jembatan komunikasi partai politik dengan konstituen harus dibangun hingga ke level struktur organisasi yang paling rendah, di tingkat ranting. Hal ini agar konstituen dapat menyalurkan aspirasinya kepada partai politik, baik menyangkut keputusan internal organisasi, maupun soal-soal publik yang harus disikapi oleh partai. Dengan begitu, perlahan-lahan konstituen dapat kembali diposisikan sebagai subjek dalam mekanisme pengambilan keputusan organisasi. Bukan objek yang semata-mata diperlukan saat ada kebutuhan mobilisasi dukungan yang dilakukan partai politik.” Hermawansyah – Dewan Pengurus Gemawan.

Akuntabilitas Partai Politik:

Kepentingan Konstituen versus Oligarki[1]

Oleh : Hermawansyah

Pendahuluan

Polemik dipecatnya Fahri Hamzah dari seluruh jenjang kepartaian oleh DPP PKS telah mengundang perdebatan publik dalam kacamata ketatanegaraan. Hal itu menyangkut pertanyaan mengenai pola relasi antara pemilih (konstituen) dengan wakil rakyat yang telah mereka pilih melalui pemilihan umum (pemilu) untuk mengagregasi kepentingannya di parlemen.

Pertanyaan selanjutnya, apakah keputusan DPP PKS selaras dengan aspirasi konstituen Fahri Hamzah di daerah pemilihannya? Jika pemberhentian Fahri Hamzah hanya pada posisi kepengurusan partai dan jabatan wakil ketua DPR, dalam konteks kewenangan partai politik tentu dapat dibenarkan. Namun yang menjadi persoalan adalah posisinya sebagai anggota DPR yang dipilih oleh rakyat pemilihnya dalam Pemilu, bukan ditunjuk atau ditetapkan oleh partai.

Oleh karenanya, terlepas kontroversi pernyataan dan sikap Fahri Hamzah, kasus pemecatannya ini menarik untuk didiskusikan. Setidaknya untuk menjawab dua pertanyaan utama: Pertama, bagaimana akuntabilitas keputusan partai politik terhadap konstituennya? Dan kedua, seperti apa format ideal hubungan antara partai politik dengan konstituennya? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penulis coba menguraikan pokok-pokok pikiran praktis melihat fenomena empiris konstaelasi politik nasional yang sedang berlangsung.

Baca juga: Hubungan Internasional Universitas Tanjungpura Gelar Seminar Nasional Perubahan Iklim: Respon Hasil G20

Baca juga: Pengujung 2022, Panen Perdana Ikan di Kawasan Perhutanan Sosial Sekabuk: Siapkan Pondasi untuk Geliat Baru Ekonomi di Mempawah

Pembahasan: Partai Politik dan Konstituen

Dari berbagai definisi para ahli, sekurang-kurangnya terdapat kesamaan pengertian bahwa partai politik adalah sekumpulan orang-orang dalam satu kesatuan yang terorganisir, memiliki cita-cita, nilai, ideologi, kehendak dan tujuan bersama. Dalam praktiknya, kehendak dan tujuan bersama tersebut dijalankan melalui strategi organisasi untuk memperjuangkan kepentingan konstituen dan masyarakat. Partai politik menjalankan fungsi agregasi kepentingan politik, artikulasi kepentingan, pengelolaan konflik, integrasi kepentingan, representasi konstituen, penyusunan program dan strategi, rekrutmen kader, pendidikan politik, membentuk opini publik, membentuk pemerintahan, serta oposisi yang sah terhadap pemerintah yang berkuasa.

Fungsi tersebut di atas dijalankan oleh infrastruktur organisasinya di semua level dengan mandat, agenda dan isu yang telah disepahami dan/ atau disepakati bersama. Sehingga penting bagi partai politik untuk terampil melakukan komunikasi politik guna membangun citra agar dipercaya konstituen dan masyarakat. Yang tak kalah penting pula adalah membangun kultur demokratis dalam mekanisme pengambilan keputusan. Jangan sampai keputusan-keputusan penting yang menyangkut arah dan strategi organisasi hanya diketahui dan dijalankan oleh segelintir elit fungsionaris partai. Sebab tentu berbeda antara menjalankan keputusan bersama yang memberikan penugasan kepada fungsionaris, dengan klaim meng-atas-namakan keputusan organisasi.

Partai politik di Indonesia saat ini memiliki kecenderungan umum menjadi kekuatan oligarki yang hanya bertumpu pada kekuasaan figur keluarga atau sekelompok elit tertentu. Dalam praktiknya, pemusatan kekuasaan oligarki tersebut  secara alamiah melahirkan pola patron-klien dan faksionasi di internal yang memperebutkan akses terhadap pengambil keputusan tertinggi. Biasanya, dalam kasus penempatan nomor urut calon legislatif, penentuan daerah pemilihan (dapil) dalam pemilu, serta penetapan kandidat kepala daerah, terjadi tarik-menarik kepentingan antar faksi.

Semua itu selalu bermuara pada topik ‘siapa yang lebih dekat’ dan dapat memengaruhi pemegang kendali keputusan tertinggi dalam partai. Walaupun secara normatif setiap partai memiliki mekanisme pengambilan keputusan internal sesuai anggaran dasar, anggaran rumah tangga, maupun keputusan organisasi. Namun  selalu saja muncul ke permukaan mengenai cerita ‘mahar politik’ untuk mendapatkan dukungan partai pengusung dalam pemilihan kepala daerah (pilkada).

Secara faktual, memang harus diakui bahwa institusi satu ini kekurangan stok kader yang memiliki kapasitas, elektabilitas tinggi, dan dipercayai masyarakat. Akan tetapi hal itu bukan menjadi alasan pembenar untuk membuka ruang transaksional dengan pihak ekternal yang berdampak pada rusaknya mekanisme pengambilan keputusan internal. Di samping itu, cara-cara by pass dalam mekanisme pengambilan keputusan juga akan berpengaruh pada hilangnya kepercayaan konstituen. Jika tidak ada terobosan kebijakan untuk memperjelas mekanisme pengambilan keputusan secara demokratis, maka lambat laun – bukan tidak mungkin – akan ditinggalkan konstituennya.

Baca juga: Mangrove Action: Uji Coba Petakan Kawasan Mangrove dengan Drone

Baca juga: Refleksi Gerakan Masyarakat Sipil di Kubu Raya: Hermawansyah: “Open-Door Policy” Menciptakan Ekosistem Kerja Kolaboratif

Konstituen: Subjek atau Objek?

Premis yang menyatakan bahwa tali hubungan antara konstituen dengan partai putus ketika pemilu dan pilkada usai masih menjadi tantangan bagi partai politik hingga kini. Tantangan itu mulai dijawab dengan inisiatif beberapa anggota DPR terpilih yang membangun ‘Rumah Aspirasi’ di daerah pemilihannya. Rumah aspirasi itu menjadi jembatan komunikasi anggota DPR dalam  rangka mengagregasikan kepentingan konstituennya di parlemen. Jadi komunikasi anggota DPR tidak hanya menunggu saat masa reses secara reguler, tapi aspirasi yang disampaikan oleh konstituen dapat diteruskan oleh petugas rumah aspirasi kepada anggota DPR.

Inisiatif anggota DPR itu sepertinya belum terorganisasi dengan baik menjadi agenda dan mandat partai politik. Semestinya petugas yang mengelola rumah aspirasi tersebut merupakan representasi pekerja politik partai, bukan staf yang digaji oleh anggota DPR. Jika agenda itu dilaksanakan secara terstruktur oleh partai politk, maka dapat dibenarkan ungkapan Ketua Umum PDIP, Megawati, bahwa Presiden Joko Widodo itu adalah ‘Petugas Partai’ (Mega Tegaskan Status Presiden Jokowi Tetap Petugas Partai, CNN Indonesia). Artinya, termasuk anggota DPR, DPRD, Gubernur, Walikota dan Bupati yang diusung oleh partai politik merupakan petugas partai yang menjalankan mandat organisasi.

Jembatan komunikasi partai politik dengan konstituen juga harus dibangun hingga ke level struktur organisasi yang paling rendah, di tingkat ranting. Hal ini agar konstituen dapat menyalurkan aspirasinya kepada partai politik, baik menyangkut keputusan internal organisasi, maupun soal-soal publik yang harus disikapi oleh partai. Dengan begitu, perlahan-lahan konstituen dapat kembali diposisikan sebagai subjek dalam mekanisme pengambilan keputusan organisasi. Bukan objek yang semata-mata diperlukan saat ada kebutuhan mobilisasi dukungan yang dilakukan partai politik.

Baca juga: Sinergitas dan Kolaborasi NGO-Pemerintah Harus Menjunjung Independensi dan Tetap Kritis

Baca juga: Moderasi Kebudayaan: Menyambung Rantai Sejarah, Membangun Peradaban Emas 2045 dari Kalimantan Barat

Oleh karena itu, penting dipastikan sejauh mana hak-hak konstituen diakomodir dalam mekanisme pengambilan keputusan partai politik. Seperti halnya keputusan penentuan calon legislatif, kandidat kepala daerah, hingga calon presiden yang akan diusung partai politik. Termasuk keputusan untuk melakukan pemecatan atau recall terhadap kader atau fungsionaris partai yang sedang menjabat karena dianggap melanggar disiplin organisasi.

Jika terdapat kader atau fungsionaris yang sedang menduduki jabatan publik yang kemudian terbukti melakukan pelanggaran hukum, hal itu juga termasuk dalam kategori pelanggaran disiplin organisasi. Sehingga secara otomatis partai politik memiliki mekanisme organisasi untuk melakukan pemecatan atau recall. Konstituen yang rasional juga pasti akan mendukung keputusan partai karena hal itu akan mempengaruhi citra partai politik yang bersangkutan.

Akan tetapi, bagaimana dengan pemecatan atau recall yang dilakukan terhadap kader atau fungsionaris bukan karena kasus pelanggaran hukum? Misalnya, dalam kasus Fahri Hamzah yang dipecat DPP PKS karena persoalan konflik internal partai politik. Bagaimana DPP PKS menjelaskan secara rasional kepada konstituen Fahri Hamzah di daerah pemilihannya bahwa yang bersangkutan telah melanggar disiplin organisasi?

Sepanjang tidak ada kejelasan pelanggaran disiplin organisasi seperti apa yang dimaksudkan oleh DPP PKS, bisa jadi itu akan memicu adanya ‘gerakan sobek kartu anggota’ oleh konstituen Fahri Hamzah. Oleh karenanya, menjadi tantangan bagi seluruh partai politik untuk memastikan sejauh mana hak-hak konstituen dalam mekanisme pengambilan keputusan recall. Misalnya, apakah memungkinkan dilakukan semacam ‘referendum’ di internal partai untuk mendapatkan dukungan konstituen terhadap keputusan yang akan diambil?

Baca juga: Mengawal Implementasi Reforma Agraria: Resolusi Konflik Berbasis Komunitas, Studi di Mempawah

Baca juga: Piring Alami dari Pelepah Pinang: Solusi untuk Keberlanjutan Alam

Penutup: Hak Recall di Tangan Konstituen, Mungkinkah?

Hak recall, secara etimologi disebut sebagai ‘penarikan kembali’. Dalam konteks partai politik, hak recall dimaksudkan sebagai kewenangan untuk menarik kembali atau memberhentikan anggota DPR/ DPRD dari jabatannya. Dalam sistem politik modern, hak recall memang semestinya ada agar anggota DPR/ DPRD dapat terkontrol. Hanya saja, penggunaan hak recall oleh partai politik tersebut juga mensyaratkan adanya alasan yang kuat.

Perdebatan yang muncul selama ini adalah hak recall dianggap menghalangi kebebasan berekspresi anggota DPR/DPRD yang memperjuangkan rakyat yang diwakilinya. Hak recall dapat dipakai oleh partai politik untuk memberhentikan anggota DPR/DPRD yang dianggap tidak tunduk atau melawan kebijakan partai. Disini titik kritisnya apakah kebijakan partai politik itu berdasarkan pada cita-cita, tujuan dan kepentingan konstituen yang akan diperjuangkan? Atau kebijakan partai tersebut hanya menyangkut kepentingan segelintir elit oligarki yang berkuasa?

Jika yang kedua, maka hak recall itu potensial menjadi alat pemukul ampuh untuk menyingkirkan anggota DPR/DPRD yang tidak sejalan dengan kepentingan elit partai. Akan tetapi, jika yang pertama, maka penting untuk menjaga ‘roh’ dan nilai perjuangan partai politik agar tidak sembarang orang dapat menggunakan panji partai untuk kepentingan pribadi. Pada tataran ini, kata kuncinya adalah bagaimana keputusan partai politik dalam merecall kadernya sesuai dengan konstitusi organisasi, legitimate dan akuntabel.

Oleh karenanya, ke depan penting untuk dipertimbangkan mekanisme internal partai politik yang memberikan ruang bagi konstituen untuk: satu, mengajukan  ‘komplain’ atas keputusan partai politik yang diangap bertentangan dengan kepentingan konstituen, dan dua,  mengusulkan recall kepada partai politik terhadap anggota DPR/DPRD yang dianggap ‘gagal’ dalam memperjuangkan kepentingan konstituennya. Semoga..!!!

Hermawansyah Mempawah Dinamisator BRGM Gambut Mangrove Desa Moderasi Kebudayaan pemenuhan keadilan, menulis artikel Akuntabilitas Partai PolitikHermawansyah, pria kelahiran Desa Sungai Bakau Kecil, Kabupaten Mempawah. Anak ke-dua dari tiga bersaudara ini sejak menjadi mahasiswa di Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura telah aktif dalam gerakan sosial politik. Saat itu ia bergabung dalam Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI). Di tahun 1999, ia bersama kolega mendirikan Lembaga Gemawan, sebuah lembaga non pemerintah (CSO/ civil society organization) di Kalimantan Barat yang bergerak pada bidang advokasi dan peningkatan kapasitas komunitas masyarakat tingkat tapak.


[1] Disampaikan dalam kegiatan Focus Group Discussion (FGD) “Pembaharuan Partai Politik” yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Universitas Andalas dan Lembaga Gemawan di Hotel Santika Pontianak tanggal 3 Mei 2016

Akuntabilitas Partai Politik: Kepentingan Konstituen versus Oligarki
Tag pada: