Menyusuri Sungai Kapuas

Sungai Kapuas berada di Kalimantan Barat. Membelah Kalimantan Barat dari Kapuas Hulu hingga Pontianak merentang sepanjang 1.143 km. Hulunya berada di Danau Sentarum, Kabupaten Kapuas Hulu, habitat bagi keanekaragaman hayati, termasuk bekantan, orangutan, macan dahan, serangga, ikan toman, patin, arwana, serta 20% dari total 1.519 jenis burung yang ada di Indonesia (CNN Indonesia, 2021). Hilirnya berada di Kota Pontianak, ibukota Kalimantan Barat.

The Tragedy of The Commons

Garrett Hardin pada tahun 1968 memublikasikan tesisnya yang dikenal sebagai The Tragedy of The Commons. The Tragedy of The Commons mendasarkan pandangan pada sebuah skenario ketika lahan yang dimiliki bersama, terdegradasi tanpa terelakan dikarenakan setiap individu dalam suatu komunitas diizinkan untuk menggembalakan ternak di sana (Anukwonke, 2015). Metafora penggembalaan ini dibuat Hardin sebagai bentuk penekanan divergensi rasionalitas individu dengan rasionalitas kolektif (Yulianto, n.d.).

Anukwonke (2015) memaparkan The Tragedy of The Commons terjadi ketika individu-individu yang bertindak secara independen dan rasional mengacu pada kepentingan masing-masing berperilaku berlawanan dengan kepentingan terbaik seluruh kelompok dengan menghabiskan sumberdaya bersama (common resources). Melalui terminologi ini, Hardin berupaya menggambarkan kebebasan dalam hal yang sama dapat membawa kehancuran bagi semua, sebagai sebuah akibat tak terelakkan dari penggunaannya secara bersama-sama.

Meskipun mendapatkan sejumlah kritik, Anukwonke (2015) menjelaskan The Tragedy of The Commons masih sering dikutip dalam konteks pembangunan berkelanjutan (sustainable development) hingga isu pemanasan global. Pembangunan berkelanjutan berupaya memberikan jalan tengah antara peningkatan ekonomi dengan tetap menjaga keberlanjutan lingkungan. 

Selama beberapa dekade terakhir, alam semakin terpuruk karena perilaku manusia yang menganggap dirinya sebagai poros (antroposentris), sementara alam hanya menjadi alat pemuas hasratnya. Berbagai upaya dilakukan untuk mengambil manfaat dari sumberdaya bersama (common pool resources) tanpa mempertimbangkan dampak besar yang kelak dihadapi. 

Baca juga: Perempuan Penjaga Keberlanjutan Pangan di Singkawang Utara, Menjaga Asa Kehidupan di Tengah Himpitan

Baca juga: Respon Karhutla Kalbar 2023, Perspektif Pro-Environmental Behaviour

Tragedi di Sungai Kapuas

Sungai Kapuas berada di Kalimantan Barat. Membelah Kalimantan Barat dari Kapuas Hulu hingga Pontianak merentang sepanjang 1.143 km. Hulunya berada di Danau Sentarum, Kabupaten Kapuas Hulu, habitat bagi keanekaragaman hayati, termasuk bekantan, orangutan, macan dahan, serangga, ikan toman, patin, arwana, serta 20% dari total 1.519 jenis burung yang ada di Indonesia (CNN Indonesia, 2021). Hilirnya berada di Kota Pontianak, ibukota Kalimantan Barat.

9 kabupaten/kota di Kalimantan Barat terkoneksi oleh Sungai Kapuas, ibarat nadi kehidupan sejak peradaban manusia didirikan di Borneo Barat. Mulai dari Kabupaten Kapuas Hulu, Sintang, Melawi, Sekadau, Sanggau, Landak, Kubu Raya, Mempawah, dan Kota Pontianak teraliri kehidupan karena Sungai Kapuas. 

Menyusuri Sungai Kapuas. Gambar: Istimewa.

Sebagai bagian dari sebuah sistem, aliran di sungai terpanjang di Indonesia ini sangat bergantung pada danau, rawa, dan hutan rawa. Sungai Kapuas berperan sebagai penghubung sistem danau, rawa, dan hutan rawa di Kalimantan Barat yang mendukung kehidupan keanekaragaman hayati di dalamnya. Aida dan Samuel (2010) dalam Pye et al. (2017) menyebutkan Kapuas menjadi habitat bagi ikan, udang, kepiting, serangga, burung, dan spesies lainnya. 

Masyarakat yang hidup di sepanjang Kapuas menggunakan airnya sebagai sumber air baku. Kapuas juga menyediakan keberlimpahan sumber protein, seperti ikan, udang, dan kepiting. Selain memanfaatkan hasil dari dalam sungai kapuas, sejak lampau Kapuas mendistribusikan berbagai kekayaan sumberdaya alam Kalimantan Barat, seperti karet, kelapa, emas, sawit, hingga bauksit. 

Seiring waktu, konversi hutan dan lahan di sekitar Sungai Kapuas berdampak terhadap kualitas airnya. Pye et al. (2017) mencontohkan penebangan hutan meningkatkan beban sedimen dan kekeruhan di Sungai Kapuas, demikian pula bahan kimia yang digunakan untuk mengolah kayu gelondongan mencemari air Kapuas. Tak ketinggalan kontribusi perkebunan sawit yang meningkatkan suhu air Kapuas. Carlson et al. (2014) dalam Pye et al. (2017) menyebutkan residu dari pengolahan sawit memberikan dampak yang signifikan dan seringkali merusak organisme air, termasuk menyebabkan ikan dan kehidupan air lainnya mati karena oksigen yang habis.

Baca juga: Perempuan Penggerak Perubahan dari Bumi Bertuah

Baca juga: Strategi Percepatan Pencapaian SDGs 2030: Act Now for SDGs!

Berkurangnya ikan tentu memengaruhi konsumsi protein warga Kalimantan Barat. Pada riset Pye et al. (2017), kombinasi perkebunan sawit dan pertambangan bauksit memberi dampak besar terhadap ekosistem sungai dan danau. Salah satu anak Sungai Kapuas tercemari racun tikus ekstensif yang digunakan korporasi (Pye et al., 2017). Sementara Danau Semenduk, lanjut Pye et al (2017), salah satu sub-sistem Kapuas, rata dengan tanah karena industri ekstraktif. 

Pye et al (2017) menjelaskan polutan yang tercampur dalam kandungan air Kapuas berasal dari buangan POME (palm oil mill effluent) dan limbah tambang dari hulu, diakumulasi limbah dan sampah kota. Melalui metode STORET, Anggraini et al. (2023) menemukan status mutu air Sungai Kapuas di Kota Pontianak masuk pada kategori tercemar berat. Dari limbah rumah tangga, prakiraan timbulan limbah cair pada 20 tahun mencapai 79.515 meter kubik per hari (Anggraini et al., 2023).

Ketersediaan air dengan kualitas air dipersulit lagi dengan penurunan permukaan air dan peningkatan salinitas akibat industri raksasa memerlukan pasokan air yang tidak sedikit. Masyarakat pun, yang bergantung pada air Kapuas, semakin rentan terhadap serangan berbagai penyakit yang berasal dari air.  Dampak lebih lanjut mengarah secara langsung pada manusia. 

Intervensi Ekologi-Politik: Penataan Ruang yang Inklusif

Masyarakat Kalimantan Barat, sebagaimana telah disebutkan, sangat bergantung pada Sungai Kapuas. Baik dari dimensi sosial, ekonomi, ekologis, hingga budaya, Kapuas memberikan pengaruh besar pada kehidupan masyarakat. Sebagai sumberdaya bersama (CPRs/ common pool resources), menjaga Sungai Kapuas memerlukan kolaborasi multipihak, mulai dari kelembagaan lokal hingga pemerintah. Keterlibatan para pihak pada forum-forum penataan ruang diharapkan memberikan solusi agar Kapuas tetap dapat memberikan kehidupan.

Penataan ruang pada dasarnya tidak berperspektif teknis semata. Lebih jauh, penataan ruang memiliki dimensi politik dan kearifan lokal. Demikian pula ketika membincang upaya menjaga Sungai Kapuas, maka pendekatan yang digunakan haruslah bersumber pada political will pemilik otoritas dan kearifan lokal masyarakat yang tumbuh sekian lama bersama Kapuas.

Baca juga: 18 Poin SDGs Desa dan Rekonstruksi Paradigma Pembangunan Berkelanjutan

Baca juga: Antisipasi Kebakaran Hutan, Perkuat MPA untuk Kontribusi NDC 2030

Pye et al. (2017) merekomendasikan perlu dilakukan intervensi ekologi politik Kapuas untuk mencegah dampak lebih besar. Menurut Pye et al. (2017), transformasi di Sungai Kapuas memperlihatkan kebijakan membuka ruang bagi industri ekstraktif di masa lalu berakibat besar bagi dampak perubahan iklim di Kalimantan Barat. Secara sosial, dalam Pye et al. (2017), hal ini turut merubah fungsi reproduksi sosial. 

Intervensi ekologi politik tergambar pada penataan kembali tata ruang dan wilayah di Kalimantan Barat. Rencana Tata Ruang dan Wilayah seharusnya mampu menjawab persoalan pokok mengenai pengelolaan sumberdaya alam Kalimantan Barat serta merekognisi pengakuan dan perlindungan hak kelola oleh komunitas masyarakat adat dan lokal (Yuntho et al., 2013). Agar dapat terwujudnya tata ruang yang inklusif, keterlibatan komunitas-komunitas masyarakat menjadi faktor krusial.

Pengakuan dan perlindungan hak komunitas lokal dan adat atas sumberdaya alam Kalimantan Barat memberikan peluang keberlanjutan alam, setelah sebelumnya berorientasi ekonomi an sich yang sangat eksploitatif. Jika sebelumnya orientasi kebijakan tata ruang cenderung ke arah korporasi, maka saat ini orientasi kebijakan tata ruang harus diarahkan kembali kepada masyarakat.

 

Referensi

Anggraini, I. M., Parabi, A., & Widodo, M. L. (2023, Juni). Status Pencemaran Sungai Kapuas Kalimantan Barat. Jurnal Teknologi Infrastruktur, 2(1), 44-52. Retrieved Oktober 31, 2023, from https://jurnal.upb.ac.id/index.php/ft/article/view/361/319 

Anukwonke, C. (2015). The Concept of Tragedy of the Commons: Issues and Applications. Researchgate. http://dx.doi.org/10.13140/RG.2.1.4977.9362 

CNN Indonesia. (2021, Juli 6). 7 Fakta Menarik Taman Nasional Danau Sentarum. CNN Indonesia. Retrieved Oktober 31, 2023, from https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20210706123442-269-663804/7-fakta-menarik-taman-nasional-danau-sentarum/2 

Pye, O., Radjawali, I., & Julia. (2017, Mei 3). Land Grabs and The River: Eco-Social Transformations Along The Kapuas, Indonesia. Canadian Journal of Development Studies / Revue canadienne d'études du développement, 38(3), 378-394. https://doi.org/10.1080/02255189.2017.1298518 

Yulianto, E. (n.d.). The Tragedy of The Commons: Analisis dari Perspektif Teori Permainan dan Contoh Kasus di Indonesia. Yogyakarta: FEB Universitas Gadjah Mada. https://www.academia.edu/8623374/Tragedy_of_the_Commons_Game_Theory_Perspective 

Yuntho, E., Munandar, A., & Isa, M. (2013). Public Review Rancangan Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Kalimantan Barat. Lembaga Gemawan - Indonesia Corruption Watch. https://www.neliti.com/id/publications/45365/rancangan-peraturan-daerah-rencana-tata-ruang-wilayah-provinsi-kalimantan-barat

 

Penulis: Mohammad R., Knowledge Management & Communications Gemawan.

Menjaga Sungai Kapuas, Mengabadikan Warisan Peradaban
Tag pada: