30 Hektar Hutan Gunung Sekadau Dirambah PT RWK
Terkait dengan perambahan hutan lindung di kawasan Gunung Sekadau itu, tim dari Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Kalbar dan Dishutbun Sambas memulai meninjau lokasi sejak Rabu (18/11), hingga kini hasilnya masih dikembangkan dan dalam proses pembuatan berita acara, lalu akan diserahkan pada Polres Sambas.
Hal itu dikatakan Hary Purwanto, Kepala Perlindungan Dishutbun Sambas, Jumat (20/11) di ruang kerjanya.
“Hingga kini kita masih belum mengetahui hasil dari observasi di lokasi. Berapa luas hutan lindung yang telah dirambah oleh PT RWK, karena berkas masih berada di tim BPKH Kalbar, “ kata Hary.
Menurutnya, diketahui adanya perambahan hutan lindung di gunung Sekadau sudah dua bulan terakhir. Ini berdasarkan laporan dari masyarakat. Kemudian diterjunkan tim dari Dishutun Sambas untuk mengecek kebenarannya. Hasilnya memang ada perambah oleh PT RWK. Saat itu diperkirakan kurang lebih ada 30 hektare lahan hutan lindung yang dibabat oleh perusahaan tersebut.
“Kemudian dari hasil itu, kita langsung laporkan pada BPKH untuk menindaklanjuti. Kemudian, dalam tiga hari terakhir, tim dari BPKH turun bersama Dishutbun Sambas.
“Mengenai hasilnya, kita tunggu saja dalam beberapa hari ini, “ kata Hary.
Untuk dugaan sementara modus operandi perambahn hutan lindung di kawasan hutan lindung di gunung Sekadau, kata Hary, pihak perusahaan berpura-pura bercocok tanam sawit padahal tujuan akhir pelaku adalah setelah pohon di kawasan hutan lindung ditebang dan dibuka jadi lahan kebun kemudian lahan tersebut akan dia miliki.
Lihat saja, saat tim pertama melakukan peninjauan lokasi, patok batas hutan lindung yang ada di sekitar kawasan ditemukan sudah tidak ada lagi. Bahkan, sisa- sisa hasil tebangan kayu sengaja ditimbus dengan tanah agar tidak ketahuan adanya aktifitas penebangan.
Untuk itu, dalam waktu dekat, jika berkas berita acara sudah rampung, secepatnya kita serahkan pada pihak Polres Sambas untuk melakukan penyelidikan. Saat ini untuk luas keseluruhan hutan lindug di gunug Sekadau adalah 2.152 hertare.
“ kita harapkan pihak kepolisian harus bertindak tegas jika nantinya hasil penelidikan terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh pihak perusahaan. “ kata Hary.
Menanggapi hal itu, M Lutaharip, dari staf Lembaga Gemawan, mengatakan, selama ini hampir seluruh perusahaan yang memiliki izin pemanfatan kawasan lahan tidak mengantongi Izin Pemanfaatan Kayu (IPK). Padahal ini sudah sesuai dengan Peraturan Menteri No 26 tahun 2004 tentang izin usaha perkebunan, dimana harus mengantongi izin IPK. “ Namun, lagi-lagi pihak perusahaan mengindahkan hal itu. Padahal jika itu dikelola dengan baik akan menjadikan sumber Pendapatan Asli Daeah (PAD), “ kata Lutaharif.
Dan anehnya tidak ada upaya hukum yang ditujukan pada perusahaan yang melanggar berdasarkan Undang- Undang Kehutanan.
“Kita ambil contoh, ada warga yang menebang kayu di kawasan hutan, apakah hutan lindung atau produksi, hanya beberapa batang dikenakan tindakan hukum berdasarkan pelanggaran yang dibat masyarakat tersebut. Sementara di perusahaan, dengan jelas- jelas menebang da merambah hutn dalam skala besar tidak tersentuh oleh hukum.
Sehingga jelas, peran kinerja aparat penegak hukum, dalam hal kehutanan masih lemah,” kata Lutuharif.
Dari data Dishutbun Sambas, dalam pengantongi IPK, pihak perusahaan dikenakan biaya pemanfataan kayu, baik dari Dishutbun maupun BPKH, tergantung jenis kayu yang ada di kawasan tersebut. Dan dana itu terlebih dahulu harus disetor melalui rekening, sebelum perusahaan tersebut beroperasi. Dan untuk besaran dananya, untuk kayu kelompok lempung dikenakan biaya Rp 30.000/meter kubik . Dan 13 US $ untuk Sumber Daya Hutan dan Rebosisasi (PSDHR) untuk per meter kubiknya. Dan untuk kayu kelompok meranti, Rp 60.000 per meter kubik, dan untuk PSDHR 16 US $. (Ditulis oleh Agus Wahyuni)
Sumber: Harian Borneo Tribune, Sabtu, 21 November 2009