Hutan Desa-HKM:
‘Komitmen Negara, Ekspektasi Masyarakat dan Realitas Prosedural’[1]
Oleh ;
Hermawansyah[2]
Pengantar
Paradigma eco-developmentalism yang ditopang kebijakan pintu terbuka rezim Orde Baru telah berakibat pada kerusakan lingkungan, serta hilangnya hak dan akses masyarakat atas sumberdaya alam. UU nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing yang diikuti UU sektoral Nomor 5 Tahun 1967 tentang Kehutanan dan UU pertambangan, merupakan instrumen kebijakan yang melegalkan praktek penguasaan modal asing terhadap sumberdaya alam di Indonesia. Hak Menguasai Negara atas sumber daya alam, dalam prakteknya telah menegasikan eksistensi masyarakat yang secara turun-temurun hidup dan mengelola sumberdaya alam dengan kearifan lokalnya. Sehingga wajar ketika kran reformasi terbuka, muncul gugatan masyarakat adat atas Hak Menguasai Negara dalam deklarasinya pada tahun 1999 dengan slogan ‘Jika Negara Tidak Mengakui Kami, Maka Kami Juga Tidak Akan Mengakui Negara’.
Kebijakan pengelolaan sumberdaya alam atau tata kelola hutan dan lahan, sebagai bentuk pengakuan negara atas hak dan akses masyarakat terus digulirkan walaupun masih belum sempurna. Sejak perubahan UU Kehutanan menjadi UU 41 tahun 1999, Tema Comunity Based Forest Management (CBFM) dan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) atau Perhutanan Sosial (social forestry) kemudian menjadi mainstream dalam kebijakan pengelolaan hutan. Hal itu kemudian dipertegas dengan keluarnya PP 34 Tahun 2002 sebagaimana yang dirubah dengan PP 6 Tahun 2007 dan PP 3 tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan. Beberapa Skema hak kelola masyarakat seperti Hutan Adat, Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan dan Hutan Tanaman Rakyat telah diatur walaupun secara teknis masih menyisakan persoalan prosedural. Disamping itu, regulasi terkait tata kelola hutan dan lahan juga diatur dalam berbagai kebijakan sektoral lainnya dibidang pertanahan, perkebunan dan pertanian. Misalnya skema Prona, Wilayah Geografis Penghasil Produk Perkebunan Spesifik Lokasi (WGPPPSL), dan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLPPB) adalah diantara skema hak kelola yang dapat diakses masyarakat.
Tulisan informatif singkat ini setidaknya ingin memetakan beberapa persoalan mendasar dalam kebijakan hutan desa dan hutan kemasyarakatan, diantaranya :
- Konsistensi kebijakan PHBM (dalam hal ini hutan desa-HKM) sebagai wujud komitmen atas pemberdayaan masyarakat ?
- Bagaimana mengoptimalkan peluang kebijakan hutan desa-hutan kemasyarakatan sebagai sarana untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat ?
Hutan Desa-HKM: kebijakan dan implementasi
Sejak kebijakan Hutan Desa dan Hutan kemasyarakatan digulirkan pemerintah, sebagai wujud komitmen pemberdayaan masyarakat sekitar hutan tentu memberi harapan besar bagi masyarakat yang menggantungkan kehidupannya dari sumber daya hutan. Disamping itu, mengembalikan akses kelola atas sumber daya hutan kepada masyarakat, selain merupakan bentuk ‘penebusan dosa’ pemerintah dimasa lalu, juga diyakini dapat mengurangi laju deforestasi. Sebab pendekatan masyarakat dalam mengelola hutan tentu berbeda dengan perusahaan swasta yang hanya semata ingin mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Masyarakat terbukti memiliki kearifan lokal dalam mengelola hutan yang tidak semata-mata mengambil manfaatnya, akan tetapi juga dijaga keberlangsungannya untuk generasi yang akan datang. Apalagi bagi komunitas yang masih memiliki keterikatan kultural dengan hutan, hutan dipandang sebagai identitas budaya yang harus dilestarikan keberlangsungannya. Oleh karenanya, tantangan bagi kebijakan hutan desa-HKM harus dapat menjawab 2 (dua) persoalan mendasar dalam penegelolaan hutan selama ini, yakni kerusakan sumberdaya hutan dan kemiskinan masyarakat yang hidup disekitar hutan.
Berangkat dari semangat yang didiskripsikan diatas, mestinya target yang dipatok oleh pemerintah untuk merealisasikan pencadangan hutan desa-HKM sebesar 500 ribu ha/tahun bukanlah persoalan yang sulit. Akan tetapi faktanya, hingga akhir tahun 2012 hanya sekitar 10% dari target tersebut yang dapat direalisasikan. Pertanyaannya kemudian dimana letak masalahnya ?
Studi yang dilakukan oleh Kemitraan untuk Pembaruan Tata Pemerintahan, menyimpulkan bahwa prosedur pengurusan izin hutan desa-HKM hingga keluarnya SK Penetapan Areal Kerja (PAK) dari Menteri Kehutanan terlalu rumit. Hal itu terjadi akibat panjangnya birokrasi diinternal Kementrian Kehutanan. Pada tahap pra-verifikasi, dokumen usulan dari masyarakat lewat Pemerintah Kabupaten harus melewati setidaknya 11 meja yang ada di dua Ditjen yaitu BPDAS-PS dan Planologi. Sedangkan pada tahap pasca verifikasi, proses yang harus dilewati lebih banyak lagi yakni harus melalui 18 meja yang tersebar di Ditjen RLPS, Planologi, Biro Hukum, Sekjen hingga Menteri. Artinya, proses pengurusan izin hutan desa-HKM harus melewati 29 meja yang tersebar di 4 kelembagaan setingkat eselon 1 dan menteri. Dengan demikian, dapat dibayangkan betapa panjang dan rumitnya birokrasi pengurusan izin hutan desa-HKM di Kementrian Kehutanan. Padahal Permenhut P.37/Menhut-II/2007 tentang HKM dan P.49/Menhut-II/2008 tentang Hutan Desa, telah disederhanakan birokrasi pengurusan izinnya lewat Perdirjen 10/2010 dan Perdirjen 11/2010. Proses pengurusan izin hutan desa dan hutan kemasyarakatan dari usulan hingga keluar SK PAK HD-HKM hanya membutuhkan waktu selama 60 hari. Untuk lebih jelasnya lihat skema dibawah ini :
Sumber : Presentasi Direktur BPS Kemenhut RI
Kendala teknis dan atau politis ?
Ketidakjelasan standart operasional dalam prosedur pelayanan pengurusan izin hutan desa-HKM (baca; SOP) berdampak pada kasus-kasus faktual yang berbeda dibeberapa daerah. Ada yang hanya 6 bulan sudah keluar SK PAK hutan desanya seperti di Lubuk Beringin Jambi, ada juga hingga 1.080 hari baru keluar SK PAK HD di Merangin Jambi. Di kalimantan Barat lain lagi ceritanya. Dari 23 usulan hutan desa yang tersebar di 4 Kabupaten, baru 6 desa di Kabupaten Ketapang yang telah mendapatkan SK PAK HD. Sementara untuk kabupaten Ketapang sendiri, ada 9 usulan hutan desa dan 7 yang sudah diverifikasi. Selanjutnya di Kapuas Hulu, 6 usulan hutan desanya sudah diverikasi, begitu juga halnya di Kayong Utara 5 usulan hutan desa sudah diverifikasi. Sedangkan di Sintang, dari 3 usulan baru 1 yang sudah diverikasi. Secara faktual, mungkin menarik dipaparkan pengalaman dinamika pengurusan izin hutan desa Kabupaten Kayong Utara yang didampingi Lembaga Gemawan. (lihat deskripsi dibawah ini):
Kasus Kayong Utara:
Lembaga Gemawan mendampingi masyarakat di 5 desa Kecamatan Pulau Maya Kabupaten Kayong Utara yang mengusulkan areal kerja hutan desa kepada kementrian kehutanan seluas 52.794, 16 ha. Bupati mengirimkan dokumen usulan 5 areal kerja hutan desa pada tanggal 22 Oktober 2010. Saat Gemawan menggelar ekspose bersama kepala Bappeda dan Kadishut KKU di Ditjen RLPS yang juga dihadiri Staf Khusus Menhut (Prof Sanafri Awang), baru diketahui bahwa kawasan hutan produksi yang diusulkan masyarakat untuk hutan desa juga dimohonkan menjadi wilayah program Restorasi Ekosistem oleh PT. Gapura Persada Khatulistiwa. Muncul 3 opsi menyikapi situasi tersebut: 1. Wilayah HD yang akan diverifikasi terletak di HL, 2. HD yang akan diverikasi terletak pada wilayah HL ditambah hutan mangrove yang ada di Pulau maya, & 3. HD yang akan diverifikasi terletak pada HL, mangrove serta sebagian HP yang telah diakses dan menjadi pemukiman masyarakat. Atas dasar perkembangan faktual tersebut, tanggal 10 November 2010 Bupati KKU kemudian menyurati Menhut guna menegaskan sikap Pemkab yang menolak RE dan mendukung sepenuhnya usulan HD masyarakat. Pada bulan Maret 2011, dilaksanakanlah verifikasi oleh tim Kemenhut beserta UPT dan Dishut Provinsi. Setelah proses verifikasi, tanggal 25 Maret Bupati KKU kembali menyurati Menhut dengan tegas minta dikeluarkannya sebagian areal HP dari IUPHHK-RE. Faktanya, dua surat resmi Bupati KKU tersebut tidak pernah mendapatkan balasan dari Kemenhut. Padahal upaya lobby juga pernah dilakukan dengan membawa masyarakat dan Dishut KKU untuk ketemu langsung dengan Menteri Kehutanan. Akan tetapi hingga dilaksanakannya Temu Nasional HD-HKM di Kemenhut pada tanggal 24-25 April 2013, paling tidak sudah lebih dari 2 tahun usulan hutan desa dari KKU mengendap. Sementara Menhut diberbagai forum dan kesempatan selalu mengumbar komitmen politisnya terhadap HD-HKM didepan publik. Akumulasi kekecewaan masyarakat, LSM pendamping serta unsur pemerintah daerah yang tidak mendapatkan penjelasan logis ‘nasib’ usulan HD-HKM saat Temu Nasional HD-HKM, kemudian berujung pada dilaporkannya Menhut ke Ombudsman RI atas tindakan mal-administrasi. Akhirnya, tanggal 26 Juli 2013 (4 hari yang lalu) info dari staf RLPS Kemenhut menyatakan bahwa SK PAK HD Kayong Utara telah ditandatangani oleh Menteri Kehutanan. Jika dihitung sejak awal usulan hutan desa Kabupaten Kayong Utara per tanggal 22 Oktober 2010, maka hingga SK PAK HD ditandatangi Menhut telah memakan waktu 1.040 hari.
Gambaran faktual di atas memberikan pembelajaran bahwa memang pemerintah masih setengah hati ‘menebus dosa’nya kepada masyarakat yang telah berpuluh-puluh tahun terpinggirkan atas akses sumber daya hutan. Pertanyaannya kemudian, apakah penetapan areal kerja hutan desa-HKM harus diletakkan dalam kerangka pragmatis-transaksional, misalnya keuntungan apa yang bakal didapat Menhut atas kebijakan populis tersebut. Kalau memang begitu situasinya, ungkapan bahwa ‘tidak ada makan siang yang gratis’ menjadi benar. Tidak ada yang tulus dibalik kebijakan pemerintah, selalu ada kepentingan yang menyertainya.
Fleksibilitas Strategi
Berangkat dari fakta-fakta empiris bahkan politis dalam dinamika proses pengurusan izin HD-HKM, diperlukan kreatifitas membaca peluang dan tantangan guna mendorong percepatan realisasi HD-HKM. Sebab strategi mencapai tujuan tidak ada yang baku, selalu berangkat dari masalah dan kebutuhan faktual yang ada. Disamping itu, instrumen dan prosedur formal yang sudah dimandatkan oleh regulasi seringkali berbanding terbalik dengan kenyataan lapangan. Oleh karenanya, pemetaan masalah dan kebutuhan menjadi prasarat awal dalam membangun pondasi guna merumuskan langkah-langkah taktis dan strategis. Kemudian level masalah dan kebutuhan juga menentukan treatment yang akan diambil. Apakah ditingkat daerah kabupaten, provinsi, nasional, atau bahkan di level masyarakat sendiri. Dalam kasus dilaporkannya Menteri Kehutanan atas tindakan mal-administrasi dalam pelayanan perizinan HD-HKM, semua prosedur, tahapan dan syarat di level daerah sudah terpenuhi. Tinggal menunggu Menteri Kehutanan menandatangani SK PAK HD saja. Akan tetapi, sikap Menhut yang berubah-rubah atas usulan hutan desa yang membuat draft SK PAK HD menumpuk di meja menteri. Misalnya terkait isu gambut, informasinya Menhut minta ditunda dulu PAK HD yang ada wilayah gambutnya. Kalau begitu kenapa tidak dicabut sekalian saja Permenhut P.49/Menhut-II/2008 yang membolehkan HD diwilayah gambut. Keresahan seluruh peserta Temu Nasional HD-HKM dari berbagai daerah tersebut semakin memuncak ketika tidak mendapatkan penjelasan logis dari jajaran Kemenhut. Apalagi Menteri yang ditunggu-tunggu juga tidak muncul di ruang pertemuan, padahal infonya Menteri sedang berada di kantornya. Kekecewaan yang memuncak tersebutlah yang melatari seluruh peserta Temu Nasional HD-HKM sepakat mengutus perwakilannya, didampingi oleh unsur Dewan Kehutanan Nasional serta panitia penyelenggara (Kemitraan) untuk melaporkan Menhut kepada Ombudsman RI atas tindakan mal-administrasi dalam pelayanan perizinan HD-HKM.
Sebagai sebuah ‘warning’ kepada Menhut, laporan kepada Ombudsman RI dapat dimaknai sebagai alat bargaining agar Menhut segera menerbitkan SK PAK HD-HKM. Sebab tentu Menhut tidak ingin ditegur Presiden karena kelambanannya merespons tuntutan masyarakat. Dengan demikian, paling tidak tekanan publik lewat konsolidasi dalam Temu Nasional HD-HKM cukup mendorong percepatan penandatanganan SK PAK HD. Terbukti dalam kasus Kayong Utara yang sudah ditandatangani SK PAK HD oleh Menhut tanggal 26 Juli 2013 lalu. Walaupun informasinya tidak semua PAK HD yang belum keluar tersebut ditandatangani sekaligus oleh Menhut, tapi bertahap.
.
Bagaimana HD-HKM di Kalteng ?
Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa tahapan besar dalam proses pengurusan izin Hutan Desa-HKM adalah pra-verfikasi, verifikasi dan pasca verifikasi. Dalam tahap pra verifikasi, proses persiapannya tentu saja di daerah. Mulai dari identifikasi wilayah potensial, pemetaan, pendampingan masyarakat hingga komunikasi dengan pemerintah kabupaten (bupati) untuk kemudian diusulkan pencadangan HD-HKM ke Menteri Kehutanan. Pada tahap ini, tentu sumberdaya dan energi yang dikerahkan juga tidak sedikit. Belum lagi tahapan verifikasi hingga pasca verfikasi yang harus dikawal ketat komunikasinya dengan jajaran Kemenhut. Terkadang harus menggunakan cara-cara komunikasi yang ‘agak ngotot’ untuk meyakinkan pihak kementerian kehutanan bahwa selain kepentingan masyarakat yang didampingi, juga mendukung kebijakan dan program pemerintah.
Dari kerangka acuan kegiatan Semiloka ini, terlihat cukup banyak komunitas masyarakat di Kalimantan Tengah yang sedang mengusulkan pencadangan hutan desa-HKM. Walaupun kurang tergambar tahapan yang sedang diproses maupun masalah yang ditemui dalam setiap tahapan tersebut. Apakah semua sudah diusulkan ke Kementrian Kehutanan, sudah tahap verifikasi, atau bahkan tinggal menunggu keluarnya SK PAK HD-HKM saja. Mungkin semangat diselenggarakannya Semiloka ini untuk memetakan masalah yang dihadapi dalam setiap tahapan, serta mengkonsolidasikan langkah-langkah taktis dan strategis guna mendorong percepatan realisasi HD-HKM di Kalimantan Tengah.
Penutup
Kritik komisioner Ombudsman RI terhadap para aktivis NGO yang berurusan dengan Kementerian Kehutanan adalah terlalu ‘lembut’ pendekatan advokasinya. Seolah-olah jika Menteri Kehutanan bergeming atas tuntutan masyarakat, kalangan aktivis menunggu saja ‘kemurahan hati’ sang menteri. Padahal menteri sebagai pelayan publik, sudah menjadi kewajiban hukumnya untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat, utamanya dalam hal perizinan HD-HKM. Begitu juga halnya di daerah, tidak ada alasan pemerintah baik Bupati maupun Gubernur untuk tidak melayani permohonan rekomendasi dari masyarakat atas usulan HD-HKM. Tinggal bagaimana memperkuat basis argumentasi, data dan dokumentasi, serta mengawal komunikasi dengan pemerintah terkait. Khususnya legitimasi dari masyarakat yang didampingi, karena jangan sampai seperti tudingan banyak pihak bahwa perjuangan HD-HKM hanya mewakili kepentingan NGO itu sendiri. Oleh karenanya, kerja-kerja untuk memperkuat kapasitas masyarakat menjadi sebuah keniscayaan yang terus harus dilaksanakan secara berkesinambungan.
=====$$$$$=====
[1] Disampaikan dalam Seminar & Lokakarya Hutan Desa/HKM Kalimantan Tengah: ‘Memajukan Perhutanan Sosial Bagi Kesejahteraan Masyarakat’. Diselenggarakan oleh Mitra LH Kalteng-JIPC Kalimantan-Forum Perhutanan Sosial Kalteng-Samdhana Institute, Palangkaraya, 30 Juli 2013.
[2] Penulis adalah Dewan Pengurus Lembaga Gemawan / Direktur Swandiri Institute, Pontianak-Kalbar.
Tentang Penulis
Hermawansyah, pria kelahiran Desa Sungai Bakau Kecil, Kabupaten Mempawah. Anak ke-dua dari tiga bersaudara ini sejak menjadi mahasiswa di Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura telah aktif dalam gerakan sosial politik. Saat itu ia bergabung dalam Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI). Di tahun 1999, ia bersama kolega mendirikan Lembaga Gemawan, sebuah lembaga non pemerintah (CSO/ civil society organization) di Kalimantan Barat yang bergerak pada bidang advokasi dan peningkatan kapasitas komunitas masyarakat tingkat tapak.