Negeri ini menganut sistem pemerintahan demokrasi, yakni semua warga negara mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk mengambil peran dalam proses pengambilan keputusan. Yang membedakan demokrasi di Indonesia dengan negara lain adalah prinsip dasar demokrasi Indonesia yang disandarkan pada Pancasila, sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dan Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945.
Demokrasi Pancasila berdiri di atas 10 prinsip utama. Prinsip-prinsip ini berperan semacam pilar penjaga berlangsungnya Demokrasi Pancasila, terdiri atas berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi HAM, berkedaulatan rakyat, didukung oleh kecerdasan warga negara, menganut sistem pembagian kekuasaan, menerapkan prinsip rule of law, menjamin otonomi daerah, berkeadilan sosial, mengusahakan kesejahteraan rakyat, dan sistem peradilan yang merdeka dan tidak memihak. (Aditya, Rifan, 2021)
Demokrasi membatasi kekuasaan terpusat. Karena itu digagaslah konsep desentralisasi. Konsep ini mengisyaratkan adanya pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengelola wilayahnya masing-masing. Tujuannya agar pemerintah dapat lebih meningkatkan efisiensi serta efektivitas fungsi-fungsi pelayanannya bagi seluruh lapisan masyarakat.
Baca juga: Strategi Percepatan Pencapaian SDGs Desa
Baca juga: Menjaga Pesisir Borneo dengan Borneo Mangrove Action: Tebar Pesan Love Mangrove
Dasar hukum ide desentralisasi di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, yang dilanjutkan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah. Teranyar, otonomi daerah menggunakan payung Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014.
Di tingkat desa, implementasi desentralisasi mengacu pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Melalui UU Desa, kewenangan desa diatur berasaskan prinsip rekognisi dan subsidiaritas. Rekognisi berarti pengakuan terhadap hak asal-usul, sementara subsidiaritas berhubungan dengan kewenangan berskala lokal agar desa memiliki hak dalam mengelola wilayah dan pemerintahannya sendiri. Melalui regulasi ini, proses pemerintahan di tingkat desa dapat dikawal secara demokratis.
Sebuah Refleksi Singkat Perjalanan Tata Kelola Desa Pasca Undang-Undang Desa
Sejak lahirnya UU Desa, tentu terdapat beberapa kendala yang dihadapi pemerintahan desa selama perjalannya. Proses tata kelola di skala desa, sebagai contoh, dari 84.096 jumlah desa yang ada di Indonesia, tercatat 601 kasus korupsi dana desa sejak tahun 2012 hingga 2021. Hal ini disampaikan Ketua KPK, Firli Bahuri, saat menyampaikan program Desa Antikorupsi di Sulawesi Selatan.
Firli mengungkapkan, 601 kasus itu melibatkan 686 kepala desa dan perangkat desa (Fajar, Ihwan, 2022). Kewenangan lebih melalui UU Desa bagi pemerintahan desa memang membuka keran-keran baru bagi kelahiran “raja-raja” lokal di desa yang menyalahgunakan otoritasnya. Meskipun hanya 1,4% desa yang bermasalah, tentunya risiko tindak pidana korupsi ini harus mampu dicegah agar penyerapan dana desa dapat tepat sasaran.
Baca juga: Langkah Kontribusi Mencapai SDGs Desa, Perempuan Serumpun Bahas Program Kerja
Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat sebanyak terjadi 271 kasus korupsi selama tahun 2019. Kasus terbanyak yang ditindak aparat penegak hukum pada tahun 2019 berada di sektor dana desa, lebih banyak bila dibandingkan dari sektor lainnya, yakni 46 kasus korupsi dengan total kerugian negara mencapai Rp32,3 miliar (Ramadhan, Ardito, 2020).
Goncangan hebat pandemi Covid-19 yang hampir melumpuhkan kehidupan juga menjadi tantangan bagi pemerintah desa untuk memberikan respon cepat. Meskipun perekonomian tak sampai lumpuh, pemerintah desa harus bereaksi agar masyarakatnya tidak menerima dampak lebih parah. Prioritas penggunaan dana desa pun dialihkan pada penanggulangan pagebluk. Minimal 40% dari APB Desa dialokasikan untuk penanganan pandemi dan bantuan sosial.
Tentu saja ada yang harus dikorbankan. Mencuatlah masalah baru mengenai penyaluran anggaran untuk alokasi bantuan sosial pandemi yang dibebankan di anggaran desa. Proses implementasi anggaran di desa yang mengacu pada RPJM Desa pun mengalami kendala, tertundanya pelaksanaan program pengembangan di desa.
Lagi-lagi, angka korupsi muncul terpicu penyaluran bantuan sosial pandemi. Namun munculnya angka kasus korupsi tersebut, berdasarkan pantauan kasus di lapangan, lebih diakibatkan proses validasi data penerima bansos yang lemah secara administratif. Penyaluran bantuan sosial jadi tidak tepat sasaran karena sulitnya validasi dan transparansi data penerima bantuan.
Baca juga: Ini 5 Masalah Utama Perlindungan Hutan di Indonesia
Baca juga: 18 Poin SDGs Desa dan Rekonstruksi Paradigma Pembangunan Berkelanjutan
Desa 4.0: Gerbang Kolaboratif Menuju Demokrasi di Era Digital
Tentunya masalah tersebut untuk direfleksi bersama, khususnya dalam menyediakan instrumen pendataan yang terintegasi di desa. Beberapa inisiatif di desa dengan menggunakan platform berbasis teknologi internet dapat menjembatani proses ini, sayangnya tidak semua desa di Indonesia yang sudah terhubung dengan jaringan internet.
Gagasan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) meluncurkan program Akademi Desa 4.0 sekiranya bisa menjadi jawaban bagi masalah validitas data di tingkat desa. Sekjen Kemendes PDTT, Anwar Sanusi, di tahun 2018 mengungkapkan Akademi Desa 4.0 dirilis untuk mempersiapkan desa dalam menghadapi Revolusi Industri 4.0 dan pengembangan teknologi digital di desa (Kemendes PDTT RI, 2018).
Akademi Desa 4.0 bertujuan meningkatkan kualitas sumberdaya manusia dan kapasitas serta mengakselerasi kemandirian dan kesejahteraan masyarakat desa melalui pendidikan dan pelatihan. Setidaknya terdapat 5 hasil yang diharapkan untuk meraih tujuan tersebut, yakni meningkatnya pengetahuan masyarakat, meningkatnya keterampilan masyarakat, perubahan sikap dan perilaku masyarakat, meningkatnya produktivitas dan daya saing masyarakat, serta lahirnya penggerak (agent of change) di desa (Akademi Desa).
Melalui pengintegrasian penggunaan teknologi informasi – sebagaimana yang dicanangkan Kemendes PDTT, demokrasi yang baik akan lebih terakselerasi, terutama dimulai dari desa. Desa 4.0, dalam mewujudkannya, tentu memerlukan pelibatan banyak pihak untuk mendukung aksi ini. Sedemikian pula pencapaian SDGs Desa akan lebih efektif dan berkembang berbasis data valid. Kolaborasi pemerintah dan masyarakat sipil mengawal agenda ini patut dinantikan, sehingga dari desa kita bisa berkaca tegaknya demokrasi berbasis data terintegrasi yang dikerjakan secara partisipatif, inklusif, dan kolaboratif di desa.
Penulis: Welli Arma, pegiat Gemawan