Potensi dalam diri perempuan mempunyai kesinambungan dalam membumikan nilai-nilai kasih sayang dan kemanusiaan. Maka, perempuan sangat strategis perannya untuk berkontribusi aktif menciptakan perdamaian.
Hal inilah yang kemudian dibahas dalam Webinar Pontianak Rumah Bersama ‘Perempuan Sebagai Agen Perdamaian’, yang digelar oleh Jurnalis Perempuan Khatulistiwa (JPK) dengan dukungan Yayasan Suar Asa Khatulistiwa (SAKA), Senin, 22 Februari 2021.
Ketua Aliansi Perempuan Kalimantan untuk Perdamaian dan Keadilan Gender (Alpekaje), Norberta Yati mengatakan, keterlibatan perempuan amat minim dalam upaya perdamaian. Padahal Kalimantan sempat menghadapi banyak konflik suku dan antar golongan.
“Perempuan kurang terlibat dalam upaya perdamaian pada masa itu (konflik, red),” ungkapnya.
Yati bercerita, pada tahun 2009, digelar Kongres Perempuan yang terwujud berkat kehadiran 300 perempuan yang berasal dari Kalbar, Kaltim, dan Kalteng. Dari kongres ini, terbentuklah Alpekaje.
Melalui wadah itu, sejumlah program berjalan, terutama yang bertujuan membangun pendidikan perdamaian bagi perempuan. Program ini menyasar kalangan akar rumput hingga aktivis, guna menggali potensi perempuan untuk membangun perdamaian.
“Alpekaje sempat vakum, namun kemudian aktif kembali setelah resmi berbadan hukum pada tahun 2018. Sejak itu pula, organisasi ini mulai melanjutkan kembali tugasnya, melalui program-program pendidikan perdamaian yang kini diintegrasikan dengan kepemimpinan perempuan. Lewat program ini, Alpekaje berusaha menciptakan agen-agen perdamaian dan perubahan ditingkat akar rumput,” paparnya.
Tantangan bagi Aktivis Perempuan
Namun, dalam mewujudkan peran perempuan sebagai agen perdamaian itu, menurutnya ada banyak tantangan, terutama perempuan yang kerap mendapatkan ketidakadilan gender. Ketidakadilan gender itu, di antaranya marginalisasi terhadap perempuan, beban ganda, kekerasan, dinomorduakan hingga pelabelan negatif terhadap perempuan.
“Maka kita perlu membangun kesadaran dalam diri kita, mengubah diri menggunakan sumberdaya, kekuatan, keterampilan dalam struktur dan proses inklusif, demi mewujudkan kesetaraan dan HAM,” jelasnya.
Sementara itu, Dosen IAIN Pontianak, Ria Taqwa menilai, sebelum mengatasi konflik dan mewujudkan perdamaian, maka seorang perempuan mampu harus mengenal dirinya. Bahwa, secara naluriah perempuan lebih cenderung dekat pada nilai kemanusiaan dan perdamaian.
“Substansinya adalah pada diri kita, diri kita ini mau berdamai atau tidak. Diri kita ini mau menyelesaikan konflik atau tidak. Setelah itu selesai, barulah kita baru bisa menyelesaikan konflik di luar,” ucapnya.
Perempuan Agen Perdamaian
Lebih lanjut tambahan dari Direktur Lembaga Gemawan, Laili Khairnur, menilai ada banyak contoh-contoh perempuan yang mampu menjadi agen perdamaian. Itu karena sifat-sifat feminim yang ada lebih besar pada diri perempuan.
Sifat feminim, antara lain yakni kepedulian, mudah memaafkan, kasih sayang, dan kemanusiaan, yang lebih cenderung membuat perempuan lebih mudah tergerak untuk mewujudkan perdamaian. Meski begitu, sifat feminim itu juga ada pada dalam diri laki-laki.
Sumber: kumparan.com