Desa mandiri dalam semangat Otonomi Desa menginsyaratkan Mempunyai hak, wewenang dan kewajiban untuk mengatur sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat berdasarkan hak asal usul dan nilai – nilai sosial budaya yang ada pada masyarakat setempat sehingga diberikan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan desa itu sendiri dan mendasar kepada kondisi keberagamannya. Pengadopsian otonomi desa berdasar kepada self – governing community yang berhubungan dengan status desa yang otonom, dan status yang berdasarkan kepada local self government – desentralisasi desa’.
Oleh : Ireng Maulana*
Visi menuju Otonomi Desa menghendaki adanya usaha pengembangan masyarakat swadaya dan mandiri. Pemerintahan yang lebih tinggi diatas desa tidak lagi perlu repot untuk mengurusi persoalan skala desa karena Desa telah mampu menanganinya.
Kemampuan untuk mengurusi urusan mereka sendiri adalah keswadayaan Desa dan kemandirian Desa dibuktikan dengan tidak lagi bergantung kepada pemerintahan yang lebih tinggi diatasnya. Konsepsi Otonomi Desa tentu saja harus memperhatikan latar belakang perkembangan Desa itu sendiri. UU no 5 / 1979 – UU no 22 / 1999 – UU no 32 / 2004 akan dijadikan bahan dasar terhadap perkembangan Desa. Dapat dicermati pertama dari UU no 5 / 1979 tentang Pemerintahan Desa, yaitu desa masa lalu dalam kurun waktu 20 tahun sampai ditetapkannya UU no 22 / 1999.
Desa hanya sebagai wilayah administratif tanpa kewenangan apapun sehingga desa hanya melakukan tugas pembantuan (Bedebewind) yang selalu tergantung kepada Juklak dan Juknis dari pemerintahan yang lebih tinggi darinya. Selama waktu itu Desa telah mengalami Pelemahan (depowering) politik kebijakan sehingga mereka hampir tidak berani berinisiatif untuk membuat kebijakan ditingkat desa dan melakukan tindakan terobosan walaupun itu untuk kepentingan Desa. Selama kurun waktu itu Desa juga telah mengalami deideologisasi dan depolitisasi karena proses demokratisasi kelembagaan desa tidak berjalan sehingga desa menjadi konstruksi abstrak para elite sebagai floating mass ( massa mengambang ) yang dibiarkan tidak berkembang.
Baca juga: SDGs Desa dan Rekonstruksi Paradigma Pembangunan Berkelanjutan
Warisan masa lalu itu telah menyebabkan (1) Matinya / melemahnya institusi lokal (2) Menurunnya kepercayaan diri dan kemampuan prakarsa ditingkat desa (3) Hilangnya kemandirian dan keswadayaan desa (4) Apatisme masyarakat desa terhadap proses pembagunan didesa (5) Desa statis dan tidak berkembangnya sumber daya . Dari analisa perkembangan tersebut, tentu saja tidak mudah bagi desa yang telah lama lumpuh sehingga tiba – tiba berdiri dan berlari kencang , karena tentu saja ada prasyarat – prasyarat yang harus dipersiapkan untuk memapah ketidakberdayaan Desa.
Pada UU no 22 / 1999, kondisi desa pada waktu ini sebenarnya telah menemukan penataan nya kembali untuk berotonomi, namun pasca UU no 5 / 1979 masuk kepada UU no 22 / 1999 menginsyaratkan kepada desa untuk melakukan persiapan dalam momentum menata kembali keswadayaan dan kemandiriannya .
Sekali lagi, hal ini tentu saja tidak mudah karena dalam transisi antara masa ketertindasan menuju masa berotonomi banyak sekali yang harus dipersiapakan terutama tentang konsepsi otonomi desa seperti apa ? apa yang harus di – desentralisasikan ? apa prasyarat nya ? apa peluang desa ? dan apa yang harus segera dan mungkin dilakukan ? Bagaimana posisi Desa dan Pemerintah daerah ?.
Di antara semua usaha yang terus di upayakan sebagai bentuk implementasi dari amanat undang – undang ternyata Desa masih gamang dengan peluang yang diberikan kepadanya dikarenakan 20 tahun telah dilemahkan. Secara internal Desa belum sempat berbuat untuk menyambut kebijakan baru ini , pun pemerintah daerah belum menunjukkan fungsi fasilitasi dan assistensi untuk segera mendorong otonomi bagi desa dan ternyata, 5 tahun bukan waktu yang cukup untuk membantu desa untuk bangkit kembali menemukan bentuk otonomi nya. Bagi Kalimantan Barat sendiri, waktu 5 tahun itu belum digunakan untuk menunjukkan tindakan yang signifikan, bahkan hanya untuk sosialisasi membangun wacana tentang konsepsi Otonomi Desa di Kalimantan Barat.
Lalu bagaimana dengan UU no 32 / 2004 ? Pada BAB XI dari Pasal 200 – Pasal 216 telah mengatur tentang Desa, dan sekarang telah memasuki kurun waktu hampir 2 tahun, apabila pada peraturan sebelumnya belum sepenuhnya dapat berbuat, sewajarnya pada saat ini tidak boleh lagi kecolongan. Mengenai konsepsi pemerintah propinsi Kalimantan Barat ; Konsep Desa mandiri digulirkan 2007.
Otonomi Desa dan Desa Mandiri
Hemat penulis, haruslah memperhatikan kondisi perkembangan 1431 desa yang tentu saja berbeda antara satu dan yang lainnya . singkatnya harus ada prasyarat yang mesti dipersiapkan. Desa mandiri dalam semangat Otonomi Desa menginsyaratkan Mempunyai hak, wewenang dan kewajiban untuk mengatur sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat berdasarkan hak asal usul dan nilai – nilai sosial budaya yang ada pada masyarakat setempat sehingga diberikan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan desa itu sendiri dan mendasar kepada kondisi keberagamannya. Pengadopsian otonomi desa berdasar kepada self – governing community yang berhubungan dengan status desa yang otonom, dan status yang berdasarkan kepada local self government – desentralisasi desa’.
Baca juga: Desa Mandiri Peduli Gambut
Untuk implementasi desa mandiri dalam semangat local self goverment diperlukan konsekuensi penyerahan Kewenangan Desa ( desentralisasi ) ; (1)Desentralisasi kewenangan ( penyerahan pengaturan urusan ke desa berdasarkan kapasitas sumber daya dan potensi desa ) (2) Desentralisasi Keuangan ( Perimbangan keuangan Kabupaten dan Desa ) (3) Desentralisasi Pembagunan ( swakelola pembagunan skala desa ) (4) Demokratisasi kelembagaan desa ( peningkatan kapasitas insitusi lokal; partisipasi dan pemberdayaan masyarakat ) , sehingga konsep desa mandiri tidak hanya dinilai pada percepatan pertumbuhan ekonomi semata.
Desentralisasi desa menuju desa mandiri dalam bingkai Otonomi Desa akan memungkinkan adanya (1) Transfer tanggungjawab, perencanaan, managemen, dan peningkatan alokasi sumber daya dari pemerintah kabupaten kepada pemerintah desa yaitu dalam bentuk penyerahan pengaturan urusan / devolusi “ karena sifat desa yang otonom (2) Penyediaan kemanfaatan ditingkat desa dapat lebih beragam, dapat memenuhi atau sesuai keinginan dan kebutuhan warga desa secara lebih baik (3) Pengambilan keputusan lebih dekat pada kelompok masyarakat yang dimaksudkan untuk penyediaan pelayanan, sehingga lebih tanggap pada perhatian atau keinginan masyarakat (4) Mengurangi tingkatan birokrasi pelayanan (5) Mengeleminasi ekses – ekses ketidakadilan bagi desa (5 )Mempertinggi kompetisi antar desa dan inovasi dalam partisipasi pembagunan.
Terakhir, penulis hanya ingin berkontribusi pendapat bahwa Konsep Desa Mandiri yang digulirkan Tahun 2007 merupakan Visi menuju Otonomi desa, yang meminta tanggungjawab dan Fasilitasi dari Pemerintah Daerah selain secara internal desa juga sudah harus berbenah, 1431 desa di Kalimantan Barat tidak dengan sendirinya berotonomi tanpa dukungan legislasi yang kuat , proses assistensi yang berbasis kinerja , fungsi fasilitasi yang berkelanjutan . Karena kita mungkin hanya punya waktu 3 tahun lagi , diakhir tahun 2009 nanti – kita tidak tahu apakah peraturan akan berpihak kembali kepada Desa dan Bagi Gubernur Kalimantan Barat sekarang, Beliau masih punya waktu di tahun 2007 untuk mempersiapkan desentralisasi Desa menuju Desa mandiri dalam Otonomi Desa Sejati.
( * beraktifitas di Lembaga Gemawan )