Oleh : Ireng Maulana )*

 

Perguruan tinggi yang disebut-sebut sebagai salah satu pilar kokoh untuk mendorong munculnya proses perubahan kearah yang lebih baik kepada lingkugan sosial nya – ternyata secara internal institusi belum cukup berdaya untuk merefleksi diri : motivasi untuk menentukan kembali arah transformasi pembelajaran dibuat berkeliling tidak berujung dalam lingkaran wacana teoritis yang berbahasakan kemewahan pemikiran dan pamer ke-intelek-an.  

Keberadaan institusi kampus masih mau dirancang untuk tetap dan masih bertahan pada imperium jabatan dan membangun kroni, konsentrasi pelayanan  kependidikan mengalamai pergeseran kinerja sehingga tatalaksana sebuah institusi pendidikan kampus  yang sedemikian ekslusif sehingga system yang sedang berjalan adalah kekuasaan dan birokrasi .

Sepintas lalu apabila membicarakan tentang kekuasaan dan birokrasi dapat bebas mendiskusikan tentang keberadaan Pegawai. Pegawai yang dapat  dibedakan menjadi  jenis dan macam pegawai. Kalau kita singgung tentang negara yang monarki absolut maka akan ada penjelasan mengenai perangai Pegawai. Pegawai merasa diri sebagai raja kecil , dia tidak membutuhkan orang lain, sebaliknya orang lain  yang membutuhkan dia, pegawai bertahta dan masyarakat harus berlutut dengan sikap menjilat atau bayaran, rakyat harus mencari perhatian atau goodwill dari pegawai sehingga urursan dapat segera diselesaikan dan juga pegawai rendah merasa dirinya sebagai pembesar yang dengan sikap seorang pasha bertindak sewenang-wenang untuk bisa menutupi kebodohan dan inkompetensinya ( M.A.W. Brouwer : 1983 ) . Seterusnya, bagaimana keadaan Pegawai di kampus ? tentu saja ada banyak Pegawai di Kampus.

Tentang realitas keseharian warga belajar kampus ketika berada disebuah  perguruan tinggi yang telah membangun birokrasi kampus dalam imperium kekuasaan. Maka Para pegawai tidak membutuhkan warga belajar, sebaliknya warga belajar ( tidak memiliki keberaniaan ) membutuhkan mereka, pegawai dalam jabatan struktural kampus bertahta dan warga belajar harus berlutut dengan sikap menjilat  atau bermetamorfosis menjadi opportunis.

Petinggi kampus memasang ajudan didepan ruang kerja mereka  dan urusan akademik akan melewati ajudan – membuat janji untuk bertemu. Ajudan pun bertingkah laku seperti pimpinan. Pada tataran keperluan untuk mengurusi sesuatu maka akan ada uang receh yang harus diberikan atau saya sebut dengan keras sebagai pungutan liar – supaya urusan didahulukan, kemudian warga belajar juga harus mencari perhatian dan tidak boleh sembarangan bertanya karena Pegawai kampus dengan sangat cepat tersinggung dan tiba – tiba marah – bad mood bahasa gaulnya.

Goodwill dari pegawai harus dijaga karena ancamannya urusan warga belajar bisa tidak dapat segera diselesaikan atau dibiarkan berlalu. Pada tingkat yang lebih memprihatinkan lagi apabila pegawai rendahan juga merasa dirinya sebagai pembesar yang dengan sikap seorang petinggi bertindak sewenang – wenang kepada warga belajar untuk menutupi kebodohan dan ketidakmampuannya. Mungkin sudah biasa bagi warga belajar menunggu kedatangan pegawai pada jam pelayanan oleh karena Si Pegawai masih belum datang, oleh karena harus menjemput anaknya – mengantar anaknya, ada urusan keluarga,  terlambat sudah biasa dan atau harus menunggu pegawai yang keluar sebentar pergi sarapan dan ngopi di warung. Lain lagi dengan pegawai yang tidak dapat dikenali karena tanpa identitas formal – jadi jangan heran ketika berurusan bisa bertemu dengan orang yang salah atau salah tempat urusan.

Tidak terbayangkan apabila keseharian warga belajar dilingkungan kampus selama 4 – 6 tahun harus  dihegemoni Kelakukan Pegawai yang kental dengan ”isme” kekuasaan dan birokrasi yang dimulai dari area parkiran , kantin , kelas dan kantor. Semua wilayah kampus berada dalam kultur yang tidak menyenangkan dan selamanya warga belajar TERTINDAS , interaksi sosial diukur oleh klas ; Kelompok Warga belajar dan Kelompok birokrasi. Akan ada pertentangan dalam mempertahankan kepentingan kelompok, karena konstruksi perilaku masing – masing kelompok terus menerus mempertahankan cara  dan tradisi masing – masing dalam Kroni.

Warga belajar dalam sub yang lebih kecil yaitu mahasiswa akan selama nya menjadi korban – apa sebab ? Perebutan akan terjadi terus menerus – oleh karena kelompok Pegawai telah memposisikan diri mereka secara strategis dalam imperium kampus sebagai pihak yang paling mengatur semua urusan dan sebagai pihak yang paling dibutuhkan.

Bung Karno berkata kepada beberapa orang wartawan dalam sebuah kesempatan : Read Brother Read Brother Read Brother, yang lebih bermakna dalam hal membekali diri dengan pengetahuan. Pertanyaannya ? sudahkan sistem Birokrasi kampus memfasilitasi warga belajar untuk membekali diri dengan pengetahuan. Semua prasyarat – prasyarat dasar untuk mendukung warga belajar dalam proses transformasi pembelajarannya mengalami proses pelemahan dan dibuat tidak berguna, Birokrasi kampus tidak menunjukkan peranaan maksimalnya demi pelayanan kependidikan yang bertanggungjawab. Semisal, keberadaan sebuah perpustakaan-sudahkan memberikan pelayanan terbaiknya, sudahkan birokrasi membuat terobosan untuk memberikan mutu terhadap sebuah perpustakaan kampus.

Birokrasi kampus seharusnya memberikan pressure kepada unit-unit pelayanan kependidikan kampus  agar supaya ada perbaikan kualitas pelayanan. Birokrasi kampus seharusnya mencecar pelayanan kependidikan kampus yang masih lemah subtansinya sebagai sebuah scenario besar untuk pengembagan wacana kritis dan kajian strategis. Birokrasi kampus seharusnya mampu menjadi roh yang memotivasi cakrawala berpikir orang – orang yang memberikan pelayanan kependidikan di kampus , sehingga mereka  menjadi lebih kritis , lebih tajam, dan ada cara berpikir strategis. Dampaknya! penilaian dan pemahaman dalam menghadapi persoalan kampus akan dimulai melalui perumusan sistematis, terukur dan perencanaan yang masuk akal.

Sesat pikir apabila kemudian, keberadaan Birokrasi kampus yang digerakkan Para Pegawai hanya untuk menunjukkan bahwa ada orang yang berkuasa di wilayah akademik. Birokrasi kampus dan Para Pegawai tidak dalam posisi sebagai pemangku kepentingan tunggal di kampus. Birokrasi kampus dan Para pegawai adalah pihak yang paling bertanggungjawab mengenai berjalannya pelayanan kependidikan yang mumpuni di kampus. Proses rekonstruksi Birokrasi demi membangun kampus mungkin akan mengalami tantangan terberatnya karena konstruksi kekuasaan dan birokrasi kampus telah melembaga seiring dengan daur hidup tradisi orang – orang yang tidak mau berubah. Pembersihan birokrasi demi pelayanan yang akuntabel akan banyak ditentang oleh orang – orang yang memang hidup dari ketidakjelasan arah birokrasi kampus. Mungkin tidak akan  ada perubahan terhadap Birokrasi Kampus apabila melihat indikator rendahnya posisi tawar Para Pegawai bersih di kampus yang ingin adanya perubahan dan kemajuan oleh karena mereka  akan berhadapan dengan pewarisan birokrasi lama dan dijaga banyak Pegawai  haus kepentingan.

Nantinya, Tranformasi sosial trust di kampus untuk character building akan mengalami stagnasi. Karena Birokrasi kampus dibangun untuk menekan warga belajar. Karena Birokrasi Kampus dibangun untuk mendapatkan uang receh. Karena Birokrasi kampus dibangun hanya berorientasi kepada sharing kepentingan antar sesama kroni.

(* Pemerhati UNTAN )

Menyoal UNTAN Lagi dan Lagi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *