Hidup Bersama Raksasa menemukan bahwa teknologi perkebunan sawit bukanlah teknologi advance. Dari awal pembukaan perkebunan sawit hingga kini, tak ada yang berubah dari teknologi perkebunan. “Perusahaan perkebunan ini tidak lebih modern dari perkebunan petani kecil, hanya beda ukuran saja,” Pujo Semedi.
“Gemawan beberapa kali aktif dan terlibat dalam penelitian perkebunan sawit, baik advokasi mengungkap kasus dalam industri sawit maupun penelitian mengenai situasi sosial di perkebunan sawit,” ucap Laili Khairnur, Direktur Gemawan, mengawali sambutannya dalam diskusi buku bertajuk Hidup Bersama Raksasa: Manusia dan Pendudukan Perkebunan Sawit.
“Teranyar Gemawan bersama KITLV melakukan riset mengenai mekanisme penyelesaian konflik di perkebunan sawit,” papar Laili di hadapan puluhan peserta diskusi pada Senin (21/11/2022).
Baca juga: Penelitian: Penyelesaian Konflik Perusahaan Sawit dengan Masyarakat di Kalimantan Barat Belum Efektif
Raksasa Bernama Perkebunan Sawit
Buku yang dalam versi Bahasa Inggrisnya berjudul Plantation Life: Corporate Occupation in Oil Palm Zone ini hasil olah dua antropolog kawakan, Tania Murray Li dan Pujo Semedi. Mereka melakukan penelitian sejak tahun 2010 hingga 2015 di Indonesia. Buku ini, mengutip laman Marjin Kiri, mengkaji struktur dan tata kelola dua perkebunan sawit di Kalimantan Barat, milik swasta dan milik pemerintah.
Tania dan Pujo melihat kedatangan dan dominasi perkebunan, serta peran perusahaan membentuk kehidupan dan tata sosial baru di sekitar perkebunan. Perbedaan latar belakang dari dua peneliti menjadi keunikan buku terbitan Marjin Kiri ini. Tania Murray Li, dengan perspektifnya, memberikan definisi perkebunan sebagai “mesin”. Sementara Pujo menyebutnya sebagai raksasa.
Mesin yang menggalang tanah , tenaga kerja, dan modal dalam jumlah besar untuk budidaya tunggal yang dijual ke pasar dunia, tulis peneliti asal Kanada dalam buku ini. Sementara Pujo menyuguhkan metafora “raksasa” pada definisinya terhadap perkebunan. Perkebunan, menurut Pujo, adalah raksasa, raksasa yang tidak efisien dan malas, namun tetap saja raksasa.
Yang Berubah Ketika Hidup Bersama Raksasa
Pujo menggambarkan raksasa sebagai entitas yang serakah dan ceroboh, merusak dan menghancurkan. Raksasa ini bisa menginjak-injak, memakan, mengunyah, dan menyesap daya hidup manusia, guratnya di bagian awal buku.
“Kenapa kami menyebut perkebunan itu raksasa? Karena mereka itu besar sekali. Kalau petani itu ukuran tanahnya 2-20 hektar, kalau perusahaan perkebunan itu lahannya raksasa, dengan dana raksasa, dengan nafsu raksasa, selera makan raksasa,” jelas Pujo di Rumah Gesit Gemawan di bilangan Jalan Ujung Pandang, Pontianak.
Pujo menjelaskan alasannya memilih riset sawit. Data yang dimilikinya menyebut total perkebunan sawit seluas 22 juta hektar di Indonesia. “Jumlah ini sama dengan ⅓ luas lahan pertanian di Indonesia, dan itu dikuasai oleh perusahaan,” tegasnya.
Ia menerangkan hal ini membuat perubahan ekologis, dari sebelumnya yang memiliki keragaman varietas tanaman, berubah menjadi dominasi monokultur. “Kita tahu bahwa sawit ini memiliki daya serap air yang luar biasa. Segala macam jenis tanah yang ditanami sawit akan mengalami kekeringan,” katanya sembari menampilkan peta dominasi penguasaan raksasa sawit di Indonesia.
Baca juga: 2 Langkah Strategis Menjaga Mangrove: Collaborative Efforts dan Collective Action!
Peta itu, tambahnya, memperlihatkan semakin sedikitnya sisa ruang hidup bagi petani Indonesia. “Mereka hanya memiliki ruang yang sangat sedikit untuk meneruskan kehidupan mereka. Bertani padi sempit, berkebun karet juga di lahan yang sempit. Kalau sudah tidak punya lahan, mereka terpaksa menjual tenaga ke perkebunan. Itupun kalau perusahaan mau menerima. Karena kalau kita lihat, perkebunan ini sangat selektif dalam memilih tenaga kerja,” ucapnya.
Raksasa-raksasa sawit ini hadir karena mendapatkan subsidi besar-besaran dari pemerintah. Pada tahun 1993, perusahaan datang ke Kalimantan dan mendapat lahan tanpa membayar apapun. Perusahan-perusahaan itu memperoleh subsidi lahan yang murah. Lahan petani diambil dengan sedikit ganti rugi tanam tumbuh. Ketika perusahaan swasta datang, mereka juga diberi tanah yang murah. Melalui program transmigrasi, masyarakat mendapat tanah 5 hektar. Tanah itu diberikan kepada perusahaan 2,5 ha dan untuk masyarakat 2,5 hektar. Tanpa bayar.
“Faktor kedua, subsidi dalam bentuk kapital murah. Untuk membuat kebun itu perlu modal, tapi tanah yang diberikan HGU itu bisa dijadikan jaminan untuk mendapatkan kredit dari bank. Ini seperti kapital yang nyaris gratis. Yang ketiga, subsidi tenaga kerja yang murah. Transmigran didatangkan ke wilayah-wilayah yang ada perkebunan. Bukan hanya menyediakan tenaga kerja yang murah, tapi bahkan menyiapkan stok tenaga kerja yang melimpah,” Pujo menjelaskan asal mula kedatangan perkebunan.
Risiko Hidup Bersama Raksasa: Kehidupan Baru yang Dibentuk
Buku ini berbeda karena tidak membahas sumberdaya yang hilang dari tanah Kalimantan atas kedatangan raksasa sawit. “Kami menyampaikan tata kehidupan baru yang dipasang di wilayah perkebunan sawit di wilayah yang mereka duduki,” ungkap Pujo. Ia juga menyebutkan adanya sistem organik yang tumbuh dibawa pemerintah dengan memberikan berbagai subsidi bagi perusahaan perkebunan, bukan kepada petani kecil – yang kehilangan tanahnya.
Baca juga: Pelestari Kehidupan: Sebuah Kompilasi Situated-Knowledge dari Tapak
Hidup Bersama Raksasa menemukan bahwa teknologi perkebunan sawit bukanlah teknologi advance. Dari awal pembukaan perkebunan sawit hingga kini, tak ada yang berubah dari teknologi perkebunan. “Perusahaan perkebunan ini tidak lebih modern dari perkebunan petani kecil, hanya beda ukuran saja. Anggapan produktivitas perkebunan sawit skala besar lebih baik dari skala kecil juga perlu diperiksa lebih jauh. Anggapan bahwa perusahaan lebih efisien juga perlu diperiksa. Mereka rentan terhadap kebocoran atau pencurian sistemik yang nyaris by design. Sedangkan perkebunan kecil, mereka relatif aman dari kebocoran, karena mereka tidak mencuri kebun tetangganya. Mereka tidak memerlukan petugas untuk penjagaan, sehingga lebih efisien,” jelas Pujo lagi.
Menurut Tania, inti buku Hidup Bersama Raksasa berupaya menjelaskan kehidupan baru yang diletakkan setelah pemberian HGU. Buku Hidup Bersama Raksasa tidak berupaya menjelaskan kearifan lokal, wilayah adat, mata pencaharian, bahkan lingkungan yang hilang, sebagaimana telah diungkapkan oleh banyak riset lainnya. “Hidup bersama raksasa menjelaskan tentang kehidupan sehari-hari dalam perkebunan,” ucap Tania.
“Melalui buku Hidup Bersama Raksasa, kami ingin menjelaskan bagaimana orang-orang di wilayah sekitar perkebunan hidup bersama raksasa,” tegasnya.
Penulis: Knowledge Management & Communication