SAMBAS, KOMPAS.com – Budiana (51) keluar dari pintu kamar rumahnya. Kemudian duduk bersila di depan sebuah lemari kaca di ruang tamu. Dalam lemari itu, tersusun rapi belasan kain tenun Songket Sambas. Salah-satu kain, bercorak bingkai emas dengan motif persegi berwarna hijau dan merah muda dikeluarkan lalu dibentang memanjang di atas lantai. “Ini salah satu (songket Sambas) terbaik. Harganya jutaan. Biasanya yang beli orang Malaysia dan Brunei Darussalam,” kata Budiana, kepada Kompas.com, belum lama ini.
Budiana adalah warga asal Desa Tanjung Mekar, Kecamatan Sambas, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat (Kalbar). Dia merupakan, satu di antara sejumlah penenun setempat yang boleh dibilang sukses dalam mengembangkan usahanya.
Dengan hasil produksi lebih dari 200 kain songket setiap tahun dan dijual ke Malaysia serta Brunei Darussalam, Budiana dapat menghasilkan omzet kotor ratusan juta rupiah. “Tahun 2019 kemarin, jumlah produksi 292 helai kain, hasil penjualan ke luar negeri Rp 164 juta dan dalam negeri Rp 188 juta,” ujar Budiana.
Mulai dari nol Capaian Budiana saat ini, tidak serta-merta turun begitu saja. Budiana memulai semuanya dari nol. Budiana lahir tahun 1970 dari pasangan Samiun dan Siti Hawa. Saat usia belasan, dia terpaksa tidak menamatkan sekolah menengah pertama (SMP) karena persoalan yang dialami sebagian besar warga desa setempat: kemiskinan. Namun, saat teman sebaya atau orang-orang yang lebih tua memutuskan menjadi pekerja migran di Malaysia, Budiana memilih tetap berada di kampung: melihat dan belajar nenun kain—aktivitas mata pencarian mayoritas warga setempat, khususnya perempuan, selain berladang.
Bahkan, tak sedikit ajakan, baik itu teman ataupun kerabat untuk bekerja keluar negeri karena dinilai lebih menjanjikan. Tapi semua itu dia tolak. “Sejak berhenti sekolah, saya mulai belajar menenun. Usia 20 tahun, saya mulai mencari upahan menenun kain,” cerita Budiana. Setelah beberapa tahun hanya mendapat upah dari menenun kain orang, Budiana mulai berpikir ke depan. Hingga akhirnya, di pertengahan 1993, dia membulatkan tekad untuk merintis usaha tenunnya sendiri dan dinamakan: Barkat Songket.
Barkat Songket sebagai Sumber Penghidupan
Sama halnya dengan usaha kecil menengah lain yang dibangun hanya dengan modal keterampilan tanpa dukungan uang cukup serta pemasaran yang baik, Budiana memulai itu semua sendirian. Dia tenun dan pasarkan kain songketnya sendiri. “Saat itu, hasil tenun dijual kepada pedagang pengumpul. Ada juga dijual langsung ke konsumen,” ucap Budiana.
Saat itu, kenang Budiana, sebagai penenun, dia belum memiliki jaringan pemasaran di luar Kabupaten Sambas. Demikian pula dengan para perajin lainnya, sehingga harga jual songket Sambas lebih banyak ditentukan oleh pedagang pengumpul. Selama 13 tahun, Budiana menjalankan usaha tenun secara mandiri di rumah.
Dia perlahan merasakan manfaat besar untuk membantu perekonomian keluarga tanpa harus menjadi pekerja migran. Kemudian, tepatnya 2006, Barkat Songket berani merekrut penenun lain. Namun konsepnya bukan sebagai karyawan, melainkan mitra binaan. “Sampai dengan saat ini, ada 20 mitra binaan atau penenun kain Barkat Songket,” ungkap Budiana.
Mulai dapat perhatian Budiana melanjutkan, pada tahun 2010, tenun songket Sambas, khususnya Barkat Songket, mendapat perhatian. Bekerja sama dengan Yayasan Citra Tenun Indonesia dan Garuda, Pemerintah Kabupaten Sambas menggelar serangkaian pendampingan serta pembinaan terhadap para penenun lokal. “Program itu sampai tahun 2014,” jelas Budiana. Kemudian, terang Budiana, Lembaga Gemawan yang bekerja sama dengan Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil (ASPPUK) juga melakukan pembinaan dan pendampingan pada tahun 2013-2016. “Saya aktif mengikuti pelatihan. Banyak yang didapatkan. Mulai dari aspek teknis produksi, pewarnaan, pemasaran dan manajemen usaha,” terang Budiana.
Bahkan, karena keaktifannya, Budiana dipercaya sebagai instruktur dalam sejumlah pelatihan yang digelar pemerintah daerah. Bagi Budiana, tenun tidak semata memproses helaian benang menjadi kain, tapi sebuah karya seni dan kebudayaan. Seni membuat motif, seni memadukan pewarna sintetis dan alam ke dalam helaian benang, lalu merangkainya menjadi sebuah kain. “Saya bersyukur sampai sekarang masih menekuni usaha ini. Tenun bukan hanya sanggup menuliskan sejarah, tapi juga meneruskan tradisi masyarakat menjadi masa depan kebudayaan,” tutup Budiana.
Sejak 300 tahun silam Berdasarkan profil Upakarti Budiana, berjudul Tenun Sambas adalah Seni dan Pengabdianku, tahun 2020, tenun Sambas adalah khasana budaya masyarakat yang telah ada sejak zaman Kesultanan Sambas dipimpin Sultan Muhammad Tsjafioeddin I atau Raden Sulaiman dan diperkirakan telah berusia 300 tahun. Ciri khas tenun Sambas terletak pada motif yang didominasi oleh motif tanaman dan pada sisi tengah kain terdapat motif pucuk rebung.
Sampai saat ini, tenun Sambas tetap dilestarikan penggunaanya oleh masyarakat. Biasa digunakan untuk acara adat dan acara resmi pemerintah daerah. Ada 2 jenis tenun Sambas, yakni kain lunggi atau songket dan tenun cual (ikat). Kemudian, sentra tenun Sambas berada di Kecamatan Sambas, persisnya di Desa Jagur, Desa Tanjung Mekar dan Desa Sumber Harapan. Kemudian ada juga di Kecamatan Sajad, yakni Desa Jirak dan Desa Tengguli. Para penenun yang merupakan kaum perempuan ini mengajarkan keahliannya kepada anak dan saudara secara turun temurun.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Kisah Budiana, Dulu Putus Sekolah, Kini Hasilkan Ratusan Juta Rupiah karena Tenun”, Klik untuk baca: https://regional.kompas.com/read/2021/03/25/151916078/kisah-budiana-dulu-putus-sekolah-kini-hasilkan-ratusan-juta-rupiah-karena?page=3.
Penulis : Kontributor Pontianak, Hendra Cipta
Editor : Teuku Muhammad Valdy Arief