Pontianak (Gemawannews)- Dari 33 provinsi di Indonesia saat ini baru 12 RTRW Provinsi (RTRWP) yang telah disahkan, sedangkan sisanya masih dalam proses negosiasi, termasuk RTRWP Kalimantan Barat. Padahal beradasarkan UU 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang mengharuskan seluruh Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kota/Kabupaten untuk merevisi Peraturan Daerah (Perda) RTRW yang mestinya harus selesai pada tahun 2009, ungkap M. Lutharif dari Lembaga Gemawan, Sabtu (16/06).
Menurutnya, salah satu sebab dari proses yang lama dalam revisi tersebut adalah tarik menarik kepentingan dalam penggunaan ruang di Indonesia, terutama di antara sektor-sektor pemerintah.
Pembahasan yang paling alot biasanya adalah dengan Kementerian Kehutanan yang merupakan ‘penguasa’ tanah paling luas di Indonesia guna mempertahankan kawasan hutan yang sudah ditunjuk/ditetapkan, kata Lutharif.
Namun dari berbagai kepentingan tersebut kepentingan masyarakat yang sering menjadi sasaran dalam berbagai program pembangunan pemerintah justru tidak terwakili. “Sehingga perlu ingat, dari tarik-menarik kepentingan dalam RTRWP membuat hak kelola masyarakat benar-benar terpinggirkan”, tegasnya.
Justru pemerintah cenderung memberi pelayanan seluas-luasnya bagi investasi swasta, namun mengabaikan hak-hak masyarakat atas tanah dan praktik-praktik pengelolaan mereka yang sudah lama berlangsung.
Nicodemus dari Walhi Kalbar menambahkan, proses penataan ruang di daerah cenderung berlangsung tertutup, karena hanya melibatkan konsultan yang membuat studi dan rancangan RTRW dan berbagai Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD).
Kami menilai proses RTRWP cacat, yang cenderung menempatkan masyarakat di luar proses penataan ruang, bukan sebagai pihak yang harus dilibatkan secara aktif dalam seluruh proses.
“Padahal peran serta masyarakat sangat jelas diamanahkan dalam UU yakni, UU No 26 Tentang Penataan Ruang Tahun 2007 Pasal 65 dan UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Pasal 96, serta PP No 68 Tahun 2010 tentang Bentuk Dan Tata Cara Peran Masyarakat Dalam Penataan Ruang Pasal 2 dan 6”, terang Nico.
Untuk itu masyarakat luas perlu mendapatkan ruang agar dapat melakukan partisipasi bermakna (meaningful participation) dalam proses revisi RTRWP ini. “Masyarakat sipil harus bergerak untuk memastikan bahwa dimensi sosial budaya dan kepentingan masyarakat kecil dimasukkan dalam Perda RTRW”, harapnya.
Sementara itu Tomo dari Koalisi Masyarkat Sipil menilai, sudah tentu pastinya ada tarik-menarik kepentingan yang terjadi dalam RTRWP. Bahkan Ranperda RTRWP pada tahun 2010 yang dibuat oleh Pemerintah Provinsi Kalbar, dengan pelaksana utama Dinas Pekerjaan Umum banyak mempunyai kelemahan.
“kelemahan utama dapat dilihat dari dimensi sosial budaya yang kurang memadai, dan tidak adanya kategori khusus untuk masyarakat kecil agar bisa leluasa melakukan kegiatan ekonomi mereka, ungkap PJ Analisa Konflik Koalisi Masyarakat Sipil ini.
Menurutnya, kecenderungan untuk menjadikan lahan dan sumber daya alam sebagai komoditi semata akan menimbulkan berbagai persoalan sosial budaya, termasuk meningkatnya potensi konflik.
Salah satu contoh adalah kawasan budidaya lahan kering umumnya menjadi sasaran perkebunan kelapa sawit. Sementara ladang, kebun karet, tembawang dan jenis pengelolaan masyarakat lainnya tidak dijaga keberadaannya. “Dari sinilah konflik lahan yang marak belakang ini terjadi”, kata Bung Tomo.
Tumpang tindih klaim yang diabaikan dalam rencana tata ruang dan pelanggaran RTRW yang berlaku menimbulkan konflik di berbagai tempat.
Jaringan kelompok masyarakat sipil di Kalimantan Barat mencatat lebih dari 128 konflik baru sejak tahun 2005 dan 2011 antara masyarakat dan perkebunan kelapa sawit. Jumlah kasus konflik ini akan lebih besar bila konflik dengan industri kehutanan dan pertambangan juga dimasukkan.
Perlu ada upaya khusus untuk melindungi kepentingan masyarakat kecil dalam mencegah munculnya konflik-konflik baru RTRWP Kalimantan Barat, keterlibatan masyarakat secara aktif harus di ikut sertakan dalam segala proses RTRWP, tegas Tomo. (Jy)