Oleh: Laili Khairnur
(Direktur Eksekutif Lembaga Gemawan)
Entah kenapa dalam beberapa hari ini saya mengalami hal-hal yang sangat tidak mengenakkan tentang apa yang dialami oleh perempuan. Seorang teman bercerita bahwa dia semalam habis dicekik lehernya oleh sang suami hanya karena perasaan cemburu yang tidak jelas kebenarannya.
Dan lebih tragis lagi dia juga cerita kalau kakak kandungnya juga habis dipukuli oleh suaminya sampai pingsan dan meninggalkan lima jahitan dibibirnya. Kemudian seorang teman juga bercerita kalau dia pernah ditinju matanya oleh sang adik (dan tentu saja laki-laki) yang sangat dia sayangi. Setelah itu saya berfikir berapa banyak perempuan yang mengalami hal ini, apa yang saya ketahui adalah hanya segelintir perempuan yang mendapat perlakuan kasar oleh orang-orang terdekat dan orang-orang yang mereka sayangi dan kebetulan menceritakan kepada orang lain. Kalau boleh menaruh curiga mungkin hampir semua perempuan mendapat perlakuan kasar dan penindasan tersebut, baik oleh masyarakat,sistem (negara dan pasar) , keluarga dan orang-orang terdekat mereka.
Penindasan terhadap perempuan bukanlah sesuatu yang baru dialami perempuan tapi sudah berpuluh bahkan beratus tahun yang lalu, hanya saja hal tersebut baru bisa diakses publik sejak munculnya kesadaran perempuan untuk membawa apa yang dialaminya menjadi persoalan publik (hukum). Kekerasan (penindasan) terhadap perempuan merupakan salah satu bentuk ketidakadilan gender yang dialami perempuan. Berapa banyak ketidakadilan yang harus dialami perempuan ,kekerasan (pemukulan, pemerkosaan, traficking dll) , diskriminasi, kebodohan , keterbelakangan dan sebagainya?
Sebagai seorang manusia yang diciptakan Tuhan, seharusnya perempuan berada pada posisi yang setara dengan laki-laki yang juga makhluk ciptaan Tuhan. Namun hal ini sangat bertolak belakang dengan realitas empiris yang dialami perempuan. Bukankah ketidakadilan yang terjadi terhadap perempuan bukanlah sesuatu yang kodrati atau pemberian Tuhan ? Tapi, lebih kepada hal-hal diluar itu. Setelah dilakukan penggalian yang mendalam tentang masalah ini, pada prinsipnya ketidakadilan terjadi sebenarnya lebih banyak dikarenakan oleh persoalan konstruksi sosial dan budaya yang pathiarkhis, pemahaman dan penafsiran agama yang sepihak, negara yang tidak berpihak dan justru melegitimasi ketidakadilan tersebut, sistem ekonomi yang eksploitatif dan lain sebagainya. Proses penyebaran ketidakadilan inilah yang secara bertahap akhirnya menginternalisasi dalam mind set masyarakat dengan istitusinya , negara dengan aparat dan institusinya bahkan pada diri perempuan itu sendiri sehingga terjadilah apa yang namanya lima ketidakadilan gender pada perempuan.
Lima ketidakadilan tersebut adalah, pertama Sub-ordinasi yakni perempuan selalu saja ditempatkan pada posisi kedua dibawah laki-laki sehingga tidak punya akses dan kontrol yang memadai dalam hal pengambilan dan pembuatan kebijakan, kedua marjinalisasi, karena proses penempatan yang tidak seimbang itu pulalah membuat perempuan dan perannya menjadi terpinggirkan terutama pada wilayah ekonomi, ketiga stereotype(pelabelan) dengan dalam kondisi peminggiran mau tidak mau perempuan diharuskan menerima pelabelan yang ada, sebagai contoh perempuan dilabelkan sebagai orang yang tidak cerdas dan hanya bisa mengandalkan kecantikannya untuk sebuah eksistensi sehingga ketika bertarung di dunia publik selalu kalah karena memang sistem penilainya yang memang tidak adil. Serta pelabelan lainnya yang tidak pernah menguntungkan perempuan, keempat kekerasan, dengan adanya pelabelan bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah dan laki-laki adalah yang kuat dan berkuasa sehingga kerapkali mereka dijadikan objek kekerasan baik secara kultur (pathiarkis) maupun struktural (negara). Hal ini sama seperti saya sampaikan diawal tulisan ini dan kelima adalah peran ganda yang harus mereka pikul, dimana ketika mereka diberi ruang untuk mengekspresikan potensi diri mereka pada wilayah publik tetap saja mereka harus mengerjakan tugas-tugas domestik yang sebelumnya telah dilabelkan dan dipaksakan kepada perempuan sehingga perempuan harus menghandle kedua wilayah tersebut dan tentu saja akan menjadi beban berganda bagi perempuan.
Fakta dilapangan bahwa perempuan menjadi masyarakat korban dalam ketidakadilan gender sudah tidak bisa kita nafikan lagi, hal ini tidak saja terjadi dikota besar tapi yang lebih parah juga terjadi sampai pada level pedesaan, karena ketidakadilan gender dalam konteks perempuan tidak mengenal wilayah, ruang dan waktu. Selagi semua faktor penyebabnya tidak dibongkar dan dirubah, selagi tidak adanya kesadaran dan keberanian perempuan dan pihak yang konsern untuk melawannya, maka perempuan akan terus menjadi korban dan terpinggirkan. Dalam konteks kebijakan negara yang tidak berpihak pada perempuan, sudah seharusnya kita melakukan revisi dan kritisi untuk perubahan tersebut. Hendaknya negara harus mampu memberikan keadilan pada rakyatnya dalam konteks ketidakadilan gender seharusnya negara memberikan ruang keadilan sepenuhnya kepada masyarakat korban dalam hal ini adalah kaum perempuan.
Karena ketidakadilan yang sudah ditransformasikan dengan berbagai alatnya dan begitu berpengaruh serta menginternalisasi dalam masyarakat, negara dan perempuan itu sendiri maka gerakan perempuan sudah seharusnya segera melakukan pemberdayaan kepada publik tentang anti kekerasan terhadap perempuan dan mendorong perubahan struktural untuk berpihak dan adil pada perempuan. Gerakan perempuan ini harus sinergis dengan perjuangan masyarakat yang lebih luas. Gerakan perempuan ini juga harus bersinergis dengan Gerakan Anti Korupsi, Gerakan Perlindungan Hutan dan Sumber Daya Alam, HAM dan Perjuangan-perjuangan keadilan lainnya .Dengan demikian gerakan perempuan yang muncul berusaha menerobos batasan yang memisahkan persoalan ketertindasan perempuan dan ketertindasan manusia secara keseluruhan. Agaknya ini merupakan suatu tantangan tersendiri bagi gerakan perempuan: bagaimana memberi warna perempuan pada setiap gerakan pembebasan yang bertujuan untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi dan ketidaksetaraan dalam tata hubungan antar manusia yang beradab penting dilakukan untuk membantu perempuan menentukan dirinya dalam realitas kehidupan yang ada saat ini, karena yang terpenting adalah bagaimana perempuan sadar, tahu dan berani menuntut hak-haknya serta menyampaikan apa yang menjadi keinginanya tanpa harus didikte oleh orang lain,masyarakat,negara apalagi oleh struktur pasar yang justru menindas perempuan. Yang penting juga adalah sosialisasi tentang Undang-Undang no 36 tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah tangga. Agar masyarakat tahu bahwa perlindungan hukum terhadap perempuan yang mengalami kekerasan khususnya dalam rumah tangga telah diakui dan jangan main-main dengan masalah ini!