Oleh: Laili Khairnur
(Direktur Eksekutif Lembaga Gemawan)
Pada masa era Pemerintahan Soeharto, sistem kekuasaan yang dibangun adalah sistem otoritarian, dengan bungkus sentralisasi dan penyeragaman. Kita tahu semua sisi kehidupan berbangsa dan bernegara diatur dengan slogan demi persatuan dan kesatuan.
Pada satu sisi penyatuan ini penting, namun ketika cara yang ditempuh adalah dengan cara pemaksaan dan menafikan keberagaman maka akan berdampak buruk terhadap proses bernegara kedepan. Sehingga hampir semua sistem kehidupan masyarakat dipaksa dan diatur dalam kebijakan penyeragaman oleh negara.
Kita mengenal ada slogan Bhinneka Tunggal Ika, tapi faktanya justru proses ketidakadilan dan pemaksaan negara terhadap rakyatnya yang kita alami. Dan kita tidak punya peluang bagaimana mengcreate perbedaan dan persatuan tersebut.
Sehingga ”berbeda” menjadi sesuatu yang sulit dan penuh resiko bagi siapa saja yang memilihnya. Berbeda dalam apa saja, pilihan politik, relasi budaya, gender, relasi agama dan pilihan-pilihan lainnya.
Ketika kran demokrasi dan reformasi dibuka sejak lengsernya soeharto semua pihak merasa bebas untuk mengekspresikan ketidakpuasan dengan cara dan mekanisme yang tidak pernah disepakati sebelumnya.
Bagi daerah, tuntutan kepada pusat berkaitan dengan ekspresi kebebasan adalah tuntutan kepada pemerintah pusat untuk lebih banyak mendesentralisasikan kewenangan pemerintahan kepada daerah atau otonomi daerah. Hal ini terpenuhi dengan keluarnya UU 22/99, dalam prosesnya dirubah menjadi UU 32/2004, 25/99 yang mau tidak mau diakui sebagai langkah baru untuk membenahi penyelenggaraan pemerintahan, dari praktek sentralistik menuju desentralisasi.
Idealnya otonomi daerah diharapkan dapat mendorong proses keadilan bagi rakyat dan tata pemerintahan yang baik di tingkat lokal dan nasional, sehingga proses kebijakan publik menjadi lebih partisipatif, transparan dan akuntabel. Dan pemerintah daerah lebih responsif terhadap kebutuhan dan dinamika lokal.
Dalam prosesnya ternyata otonomi daerah juga tidak berjalan dengan baik dan terwujudnya tata pemerintahan yang baik dan keadilan juga belum terwujud hal ini yang menyebabkan proses politik, budaya, ekonomi dan sosial ditingkat masyarakat tidak berjalan lebih baik.
Kalau digambarkan menunjukkan bahwa tata pemerintahan tidak berjalan secara baik dan masih sangat lemah sehingga struktur di tingkat goverment dan masyarakat menjadi sangat tidak teratur, kalau mau jujur sebenarnya semua kebijakan merupakan proses politik yang berhubungan dengan kepentingan pemilik modal.
Sehingga rakyat hanya berada dalam lingkaran perebutan akses dan sumberdaya yang kecil [sisa-sisa dari kue pembangunan], bukan sebagai pemilik otoritas dalam proses pembangunan dan kehidupan politik dan ekonomi. Dalam konteks ini frustasi sosial sangat mungkin terjadi.
Rangkaian konflik yang terus menerus terjadi berulangkali ini memperkuat stereotipe etnis dalam kepercayaan budaya masing-masing komunitas etnis sedangkan dilain sisi praktek-praktek sosial dan politik menyuburkan sikap kesukuan yang radikal dan ekslusif.
Lebih jauh dampak konflik juga memunculkan fenomena sipral kekerasan yang akan terus menerus diwariskan kepada generasi berikutnya. Perubahan situasi politik dan ekonomi juga memberikan kontribusi baru terhadap munculnya konflik atas nama identitas etnik ini.
Di antara fenomena baru yang muncul adalah premanisme yang semakin menguat di masing-masing kabupaten, ketidakberpihakan kebijakan dalam pengelolaan sumber daya alam, lemahnya kapasitas politisi lokal dalam mengelola konflik dan ketidakseriusan pengambil kebijakan terhadap fenomena konflik itu sendiri. Dari pengalaman sejarah, konflik kekerasan antar komunitas etnis di Kalbar ini dapat dengan mudah meluas.
Kejadian di satu wilayah (mulai desa sampai kabupaten) dapat dengan mudah meluas di wilayah-wilayah lainnya. Akar konflik yang belum selesai, rekonsiliasi yang masih macet, sterotype yang menguat, relasi etnis yang belum cukup dikatakan ideal, spiral kekerasan, pertarungan politik tingkat lokal, perebutan sumberdaya lokal merupakan diantara faktor utama yang akan dapat memicu konflik kekerasan dimasa depan.
Sehingga di masa mendatang, benturan-benturan kecil pun akan sangat mudah meluas menjadi konflik kekerasan dengan simbol etnis. Hal ini harus segera mendapatkan perhatian bagi semua pihak, semua elemen masyarakat harus segera mulai berkaca dan memberikan kontribusinya bagi upaya-upaya peace building yang akan dilakukan kedepan.
Karena perspektif kami konflik terjadi tidak dalam dimensi yang tunggal {relasi etnis semata} tapi harus dilihat SAT {structural, accelaration, trigger} yang sangat berkaitan dengan faktor-faktor lainnya.
Apa yang bisa dilakukan?
Pada konteks ini saya hanya akan berbicara apa yang mungkin bisa dilakukan:
1. Mengakui bahwa fakta adanya keberbedaan adalah suatu sikap kultural yang harus segera diambil, dan siap menerima keberbedaan dan mencari titik temu dari keberbedaan yang ada. Sikap ini juga menjadi acuan bagi para pengambil kebijakan dalam membuat kebijakan dengan melihat pluralitas pilihan politik, sosial, budaya, gender dan agama yang ada di dalam masyarakat.
Misalnya saat ini sedang mulai dikembangkannya pendidikan multikulturalisme secara formal maupun informal. Dimana dari kecil anak-anak sudah dibiasakan untuk menghargai perbedaan. Upaya ini harus direspon dengan baik.
2. Kalau memang semua pihak punya komitmen untuk menciptakan perdamaian di Kalbar dan Sambas maka marilah Mulai membangun tata pemerintahan yang baik, dengan prinsip transparansi, akuntabel, partisipatif, berpihak kepada yang paling miskin dan lemah.
3. Pemberdayaan kepada masyarakat penting untuk dilakukan, untuk usaha ini banyak dilakukan oleh kawan-kawan organisasi non pemerintah dengan bermacam isu yang mereka kerjakan, misalnya isu pemberdayaan perempuan, penguatan masyarakat adat, pembaharuan/otonomi kampung, Human Rights issue, demokratisasi, anti korupsi, hak kelola rakyat, pemberdayaan ekonomi rakyat dan lain sebagainya, karena kita percaya akar masalah kekerasan yang ada adalah proses ketidakadilan yang selama ini dirasakan oleh rakyat dan pengabaian terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Tanpa menafikan adanya relasi etnis yang tidak seimbang.
4. Pemerintah baik pusat maupun daerah harus segera memberikan pelayanan terhadap hak-hak dasar masyarakat {pendidikan, kesehatan, ekonomi} dan membenahi infrastruktur dan sarana tarnsportasi yang ada, agar masyarakat bisa mendapatkan akses informasi yang baik.
5. Networking antar pihak yang telah melakukan upaya-upaya peace building harus diperkuat.
Terakhir saya hanya ingin mengatakan , Saya, Kamu, Kita : Belajar Berbeda!