SIARAN PERS
“RTRWP Belum Akomodasi Pertanian Pangan Berkelanjutan, Gender Mainstreaming
dan Perlindungan Komoditas Unggulan”
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Tata Ruang yang Adil dan Berkelanjutan
(Walhi Kalbar, LBBT, WWF Kalbar, PPSDAK, Gemawan, PRCF, AMAN Kalbar, Kontak Rakyat Borneo, Lanting Borneo, PPSW, PERVASI, GMNI, IMM, FMN, FAMKI Sintang, KNPS, Serumpun, STSD Sambas, STKR Kubu Raya)
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Kalimantan Barat, memasuki tahun ke-empat pembahasannya sejak ditetapkan UU Penataan Ruang nomor 26 Tahun 2007, masih menyisakan berbagai persoalan krusial. Tarik menarik kepentingan dalam kebijakan pola ruang cenderung memprioritaskan kepentingan investasi ketimbang bagaimana memastikan masyarakat dapat hidup dan mengelola lahan tanpa potensi ancaman kriminalisasi serta memastikan keberlanjutan daya dukung lingkungan yang harusnya dibatasi untuk dieksploitasi. Perspektif “eco feminisme” yang mensyaratakan bahwa bumi dan seluruh isinya haruslah dikelola secara berlanjut, tanpa eksploitasi, tanpa kekerasan, dan tidak ambisius. Semua prinsip tersebut kurang tergambar dalam usulan perubahan RTRWP.
Usulan perubahan kawasan hutan menjadi Areal Peruntukan Lain (APL), mestinya dimaknai sebagai rencana pencadangan lahan untuk kebutuhan produktif masyarakat di masa datang karena pertambahan penduduk dan menjaga keseimbangan serta keadilan pengelolaan dan penguasaan lahan. Akan tetapi usulan perubahan fungsi kawasan ditenggarai sebagai upaya pemutihan atas kesalahan prosedur perizinan usaha yang beroperasi didalam kawasan hutan. Bahkan dalam Publik Hearing Ranperda RTRWP Kalbar tanggal 18 Juni 2012, terungkap pernyataan ketua Pansus RTRWP DPRD Provinsi Kalbar bahwa lampiran peta yang diterima DPRD dari Pemerintah Provinsi tidak lengkap dengan rincian untuk apa usulan perubahan alih fungsi tersebut.
Beberapa isu krusial yang mestinya menjadi perhatian pemerintah dalam kebijakan pola ruang, ternyata masih belum terjawab dalam Ranperda RTRWP, diantaranya :
- Wilayah pemukiman yang berada dalam kawasan hutan
- Perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan
- Perlindungan komoditas, varietas dan spesies unggulan lokal
- Pengakuan terhadap wilayah kelola masyarakat
- Mekanisme pencegahan dan penyelesaian konflik pemanfaatan ruang
Secara faktual pemerintah daerah sendiripun terkadang kesulitan dalam melaksanakan program pembangunan dan pelayanan dasar karena masyarakat masih bermukim di area yang masuk dalam kawasan hutan. Belum lagi program-program sektoral yang belum terintegrasi, seperti bidang pertanian yang sedang gencar dilaksanakan program cetak sawah baru dan food estate dan pengembangan komoditas unggulan lokal, ternyata sebaran wilayahnya belum masuk dalam peta RTRWP. Padahal untuk perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan, pasal 23 ayat (2) UU 41 Tahun 2009 dengan tegas mengamanahkan bahwa: “Penetapan Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan provinsi diatur dalam Peraturan Daerah mengenai rencana tata ruang wilayah provinsi.”
Oleh karena itu, kami Koalisi Masyarakat Sipil untuk Tata Ruang yang Adil dan Berkelanjutan mendesak :
- DPRD Provinsi Kalimantan Barat agar memastikan bahwa wilayah pemukiman masyarakat didalam kawasan hutan harus di enclave, lahan pertanian pangan berkelanjutan dipastikan sebaran lokasinya, komoditas, varietas dan spesies unggulan lokal serta dilindungi dalam RTRWP.
- RTRWP harus memastikan adanya pengakuan wilayah kelola masyarakat serta mekanisme pencegahan dan penyelesaian konflik pemanfaatan ruang.
- Para kandidat Gubernur & Wakil Gubernur yang akan ‘bertarung’ pada tanggal 20 September 2012, agar menjadikan RTRWP yang berpihak pada kepentingan masyarakat dan keberlanjutan lingkungan sebagai rujukan arah kebijakan pembangunan.
- Mengajak semua pihak untuk mengawal kebijakan dan proses pembahasan RTRWP agar tidak keluar dari prinsip keadilan, keterpaduan dan keberlanjutan.
‘Sekarang terlewatkan, 20 tahun kita akan menanggung akibatnya’
Pontianak, 5 September 2012
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Tata Ruang yang Adil dan Berkelanjutan