Pontianak (Gemawannews)-Mempertahankan keberadaan perkebunan rakyat atau mendorong mengembangkan kembali perkebunan rakyat yang sudah menjadi darah daging masyarakat Kalimantan Barat dalam pengelolaan lahan secara tradisonal hendaknya selalu menjadi perhatian pemerintah sebagai pemangku kebijakan karena dampak ekonomis dan ekosistem dari pelestarian kebun yang sudah ada maupun pembangunan kebun baru di lahan yang kritis sangat sejalan dengan konsep kelestarian lingkungan yang berkelanjutan.
Secara tradisional masyarakat Kalbar sudah akrab dengan pekerjaan berkebun, tanaman yang dibudidayakan adalah Kelapa, Kopi, Karet, Lada, Tebu, dsb. “Kita bisa menempatkan petani dan masyarakat adat yang selama ini tidak bisa mendapatkan akses agar bisa terwadahi, tentunya komoditas lokal harus diberi ruang dan menjadi perhatian serius,” jelas Supriyanto, Ketua Prodi Diploma III Perkebunan Fakultas Pertanian Untan, Selasa (4/9).
Hal itu disampaikannya dalam Workhshop “Mainstreaming Perspektif Gender, Masyarakat Adat dan Lokal Serta Petani Dalam Penataan Ruang Provinsi Kalbar” yang diselenggarakan Lembaga Gemawan dan The Asia Foundation selama dua hari, Selasa (4/9) hingga Rabu (5/9) di Hotel Kapuas Dharma.
Ia menjelaskan, Pengembangan pertanian khususnya perkebunan yang berbasis kerakyatan sangat mungkin dilakukan karena lahan yang masih cukup luas dan berdasarkan kriteria kecocokan lahan serta iklim maka wilayah Kalimantan Barat sangat cocok untuk tanaman perkebunan rakyat.
Tanaman perkebunan rakyat yang sudah menjadi sumber pencaharian masyarakat secara turun temurun akan sangat mudah dikelola, yang perlu dilakukan adalah pengembangan kemampuan masyarakat melalui bimbingan dan penyuluhan agar dapat memproduksi hasil perkebunan dengan kualitas yang baik serta efisiensi penggunaan sarana produksi pertanian. “Memperkuat akses petani untuk mengembangkan potensi lokal agar tidak mengandalkan satu komoditas,’’paparnya.
Saat ini kenyataannya sawit menjadi tanaman perkebunan yang didukung pemerintah tetapi tanaman tradisonal perkebunan harus tetap dijaga dan diusahakan oleh petani untuk diversifikasi usaha agar tidak hanya tergantung pada tanaman kelapa sawit.
Komoditas karet sangat mungkin diakses masyarakat, dibanding sawit terbuka lebar dapat diakses para pemilik modal ketimbang masyarakat, karenanya perlu dorongan secara aktif peningkatan tata kelola kebun rakyat.
“Harus diakui kelapa sawit menjadi anak emas komoditas dengan dalih peningkatan investasi, dan ini jelas merupakan ketimpangan komoditas dimasyarakat,”tegasnya.
Dari kaca mata pemerintah sendiri, dia menilai Kebijakan pemerintah belum berpihak terhadap komodititas tradisional yang memiliki nilai ekonomi mengangkat taraf hidup masyarakat. “Padahal pengembangan perkebunan yang berbasis pada tanaman tradisional rakyat merupakan salah satu upaya mengurangi tingkat pengangguran terbuka yang jumlahnya semakin meningkat setiap tahunnya,’’ujar Supri.
Terkait mengenai Rencana tata ruang Provinsi, sudah semestinya petani dan masyarakat adat harus betul-betul dilindungi dalam mengelola lahan untuk peningkatan produk lokal. Pemanfataan SDA harus mengacu kepada prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dan menjamin kelestarian lingkungan maupun keseimbangan ekosistem, pungkas Dosen Faperta Untan ini. (Joy)