Pontianak, Sabtu 4 Desember 2010, pukul 08.30 s/d 13.00 di Aula Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Tanjungpura Pontianak , Diadakan seminar dengan Tema “Perlindungan terhadap aktivis pendamping masyarakat, pegiat HAM dan Lingkungan dalam Konflik Perkebunan Kelapa Sawit di Kalimantan Barat” yang diikuti kalangan Aktivis NGO dan kalangan mahasiswa berjumlah 100 orang, para pembicaranya Lili P. Siregar, SH (Ketua LPSK RI), AKBP Suhadi.SE (Kapolda Kalbar), Dr. Hermansyah, SH.,M.hum (Pakar Hukum Untan), Hermawansyah (Gemawan).
Kegiatan seminar HAM yang dilaksanakan PIL-NET, Sawit Watch, Lembaga Gemawan, Walhi Kalbar,Riak Bumi, Dian Tama, Institut Dayakologi, Pontianak Institute, LBBT, AMAN Kalbar, JARI Borneo Barat, GMNI, FMN, PMKRI dan Fakultas Hukum Untan. Agenda bersama ini sebagai rasa keprihatinan atas tindak kekerasan terhadap aktivis dan masyarakat atas masuknya perkebunan sawit yang akhir-akhir ini marak sekali.
Pembicaraan dalam seminar mengupas Ekspansi perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat telah menimbulkan berbagai implikasi di lapangan, tidak hanya persoalan sengketa lahan antar perusahaan dan masyarakat lokal, tapi juga kriminalisasi terhadap masyarakat dan aktivis yang berjuang dalam mempertahankan hak-hak atas tanah.
Situasi konflik di lapangan terus berlangsung tanpa ada upaya-upaya komprehensif dari pemerintah untuk memediasi sengketa antar masyarakat dan perusahaan. Pemerintah Kabupaten cenderung lepas tangan ketika izin telah diterbitkan, pihak perusahaan ketika telah mendapatkan izin, merasa sudah berhak untuk beroperasi membersihkan lahan. Padahal izin yang didapatkan baru sebatas izin lokasi, sementara AMDAL masih diproses sebelum dikeluarkannya Izin Usaha Perkebunan (IUP).
Menurut ketua pelaksana Agus Sutomo” peran-peran masyakat dan aktivis memantau dan memberi terhadap pembangunan diatur dalam undang-undang serta sangat dilindungi, Contohnya dalam ketentuan uu 41 tahun 1999 tentang kehutanan terdapat peran serta Masyarakat dalam setiap pembangunan kehutanan dan banyak uu mengatur hal yang sama , ini menjadi dasar hukum, Bahwa peran warga Negara dan implementasi sebagai tanggung jawab kepatuhan terhadap peraturan yang ada” demikian ujanya.
Selain itu, Agus sutomo menyampaikan hak-hak serta pendapat masyarakat selama ini kurang diperhatikan, Akhirnya masyrakat menenpuh cara protes dan penolakan atas masuknya perkebunan kelapa sawit, masyarakat selalu akan berhadapan dengan aparat penegak hukum. Situasi tersebut jelas sangat mengkhawatirkan ketika aparat kepolisian berpegang pada PROTAP Kapolri Nomor 01/X/2010 tentang Prosedur Penanganan aksi anarkis hingga tindakan tembak ditempat.
Fakta lapangan, pada saat masyarakat merasa tidak ada lagi saluran-saluran yang bisa menyelesaikan masalah mereka, pemerintah juga tidak peduli, maka akhirnya masyarakat bertindak sendiri. Mulai dari menahan alat berat sampai pada tindakan perusakan camp milik perusahaan, dan ketika itu terjadi tentu proses hukum menjadi konsekuensi dari perbuatan pelanggaran tersebut. Padahal perbuatan masyarakat itu hanya merupakan reaksi dari tuntutan mereka yang tidak diperhatikan oleh pemerintah dan perusahaan. Akan tetapi pada akhirnya masyarakat yang akan berhadapan dengan aparat kepolisian.
Komitmen polda hendaknya dapat direalisasikan dilapangan, pernyataan Kapolda Kalbar agar aparat kepolisian di Kalbar untuk hati-hati dan tidak terjebak dalam menangani konflik perkebunan sangat tepat. Sebab akar masalahnya bukan pada perseteruan antara masyarakat dengan perusahaan, melainkan proses perizinan yang tidak beres oleh Pemerintah Kabupaten.
Dalam banyak kasus, masyarakat biasanya meminta bantuan dari aktivis LSM ataupun mahasiswa untuk menyelesaikan masalah sengketa lahan yang mereka alami. Persoalan kemudian muncul ketika aktivis LSM dan mahasiswa dituding sebagai orang luar, provokator bahkan panggalang dana aksi. Di Ketapang misalnya, dalam kasus sengketa lahan antara masyarakat adat dengan PT Bangun Nusa Mandiri (Sinar Mas Group), aktivis Institut Dayakologi Vitalis Andi, menghadapi proses hukum hingga ke Pengadilan karena dituduh sebagai penggerak masyarakat yang melawan perusahaan. Selain itu, kasus konflik antara masyarakat dengan PT Pattiware I di Sambas, aktivis pendamping masyarakat, Sahrial (Sekjen Serikat Tani Serumpun Damai/STSD) juga dipanggil Kepolisian untuk dimintai keterangan, dan tidak ditutup kemungkinan juga akan dijerat dengan tuntutan pidana.
Harapan dari kegiatan ini peserta mampu memahami persoalan masyarakat, kedudukan serta peran NGO dalam membantu dan mengakomodir konflik yang terjadi sehingga tidak menjadi luas menyentuh segala sendi kehidupan masyarakat, kemudian komitmen aparat penegak hukum untuk melindungi aktivis dilapangan dari tindakkan kekerasan dan intimidasi dalam kerja-kerja kemasyarakatan harus ditingkatkan.
Sumber : http://www.equator-news.com/index.php?mib=berita.detail&id=23223