Sambas, GEMAWAN.
Penggiat Gemawan, Siti Rahmawati menerangkan lembaga Gemawan selain konsen di pemberdayaan masyarakat, penguatan transparansi daerah, penjagaan lingkungan lestari, juga di penguatan peran aktif kaum perempuan.
“Dalam momen peringatan Hari Perempuan Internasional tahun 2016, kita berusaha menguatkan gerakan-gerakan pemberdayaan kaum perempuan. Melalui kaum perempuan yang sehat, cerdas, dan kreatif diyakini akan memperkuat bangsa dan negara kita,” kata Siti Rahmawati di ruang kerjanya.
Ia menerangkan lembaga Gemawan dalam gerakan pemberdayaan kaum hawa ikut terhimpun di Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil (ASPPUK).
“Sebuah jaringan 54 organisasi non partai politik (Ornop) maupun non-governmental organization(Ornop/NGO) dari 20 provinsi di Indonesia. Kegiatan utama ASPPUK, penguatan perempuan usaha kecil mikro (UKM) di pengembangan usaha. Demikian juga dalam penyadaran kritis melalui organisasi, pelatihan, diskusi, seminar, pendampingan teknik, fasilitasi pengembangan dan kualitas produk, penetrasi pasar, dan lain-lain,” kata Siti Rahmawati.
Ketua Komite Eksekutif Wilayah (KEW) ASPPUK Provinsi Kalbar, saat ini diemban Yasira dari lembaga Gemawan. Sedangkan Sekretaris Eksekutif Wilayah (SEW) ASPPUK Kalbar, dijabat Fifiyati dari People Resources and Conservation Foundation (PRCF) Indonesia.
“Anggota ASPPUK Kalbar, lembaga Gemawan, Pusat Pengembangan Sumber Daya Wanita (PPSW) Borneo, Yayasan Dian Tama, dan PRCF Indonesia. Anggota KEW ASPPUK ada juga penggiat perempuan, Anatalia Sri Lestari dan lain-lain,” tutur Siti Rahmawati.
Ia juga menerangkan selayang pandang Hari Perempuan Internasional yang diperingati 8 Maret tiap tahun oleh negara-negara di dunia yang peduli kaum hawa. Bermula dari kejadian aksi damai kaum perempuan secara besar-besaran di Kota New York, Amerika Serikat pada 8 Maret 1857 untuk menuntut upah minimum tidak jauh dari pekerja laki-laki. Sebab kala itu, kesenjangannya sangat tinggi.
Aksi damai itu berujung bentrok dan banyak memakan korban kaum hawa, ribuan terluka secara fisik maupun mental.
Tahun 1974, Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) menyokong Hari Perempuan Internasional ditetapkan 8 Maret.
Ketika terjadi Perang Dunia (PD) I tahun 1914-1918 dan PD II tahun 1939-1945, kaum perempuan menjadi penopang ekonomi negara karena kaum laki berperang dan jutaan meninggal dunia. Kala itu industri persenjataan dibikin banyak buruh perempuan dan banyak yang meledak karena kejar target produksi.
Ketika PD II selesai, kaum perempuan membangkitkan lagi industri banyak negara-negara. Perempuan-perempuan Jerman, Italia, Inggris, Amerika Serikat, Jepang, Tiongkok, dan banyak lainnya menjadi saksi kaum perempuan membangkitkan lagi negara masing-masing paska perang besar itu.
Upah murah daripada laki-laki jadi dalih mempekerjakan kaum perempuan. Usai bekerja siang maupun lembur, perempuan Jepang, Jerman, dan banyak negara-negara korban keganasan PD II, harus merawat suaminya, anaknya, orangtuanya yang renta, dan beres-beres rumah masih harus dilakukan. Sedangkan kaum laki, balik kerja langsung istirahat di rumah.
Berbagai kejadian seperti itu di berbagai belahan dunia, kaum perempuan harus bekerja ganda dengan pendapatan kecil, membuat PBB perlu memberikan Hari Perempuan Internasional kepada dunia. 8 Maret 1974.
“Para pahlawan-pahlawan kita dilahirkan dari rahim-rahim kaum ibu,” pungkas Siti Rahmawati. (Gemawan-Mud)