TFCA KALIMANTAN: Program Manajer Gemawan, Deni Patriatna di sosialisasi program TFCA Kalimantan bertajuk Perlindungan Wilayah Perkebunan Karet Tradisional di Balai Desa Lebak Najah, Silat Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu, Provinsi Kalbar, pertengahan 2014. Foto: GEMAWAN.
Kapuas Hulu, GEMAWAN.
Desa Nanga Dangkan kecamatan Silat Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu, Provinsi Kalbar, terdiri dari dua dusun. Yakni, dusun Entibab dan Tanjung Harapan. Warga biasa menyebutnya dengan sebutan Dangkan Satu.
Warganya terdiri dari dua etnis, Melayu dan Dayak. Warga Dayak berada di dusun Entibab yang berada di sungai Entibab, anak dari Sungai Dangkan yang bermuara di sungai Silat, seberang Dangkan Kota.
Sementara warga Melayu, biasa disebut kaum Senganan, berada di dusun Tanjung Harapan dekat pinggir sungai Silat yang berseberangan dengan Dangkan Kota. Pusat pemerintahan desa berada di dusun Entibab, tempat tinggal kepala desa (Kades).
Penghasilan dan pekerjaan utama warga desa Nanga Dangkan ini, menoreh karet yang mencapai 95 persen warga desa). Sebagai pekerjaan sampingan, mereka berladang dan pertambangan rakyat. Biasa disebut aktivitas pertambangan tanpa izin (PeTI).
Akibat aktifitas PeTI ini, air sungai Dangkan menjadi keruh. Sangat tak layak dikonsumsi maupun untuk mencuci dan mandi. Kegiatan PeTI saat ini menjadi aktivitas hampir merata di semua desa di kecamatan Silat Hulu.
Adapun kegiatan perkebunan sawit, saat ini sedang dalam proses pembersihan lahan dan pembibitan yang berada di antara desa Dangkan Kota dan desa Nanga Ngeri. Karena itu, banyak warga Dangkan Kota yang menjadi buruh harian di Perusahaan milik PT Sinar Mas.
Terkait dengan kebun karet lokal milik warga desa Nanga Dangkan, menurut keterangan warga setempat, Ningkan yang juga Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) Pertanian di kecamatan Silat Hulu, warga desa Nanga Dangkan lebih banyak memiliki kebun karet yang berada di wilayah Dangkan Kota. Alasannya mereka sudah dari dulu pernah berladang dan berkebun pada kawasan itu.
Kades Nanga Dangkan, Ujan yang telah memerintah selama dua periode di desa tersebut, berjumpa tim dari Gemawan yang menyampaikan akan adanya rencana program pendampingan karet lokal di desanya, medium April 2014.
Menurut keterangan tim kerja Progam (Tropical Forest Conservation Act) TFCA Kalimantan, Dedi, Doni, dan Abang Rustaman, sudah dijumpai ada tanda-tanda Kades Nanga Dangkan, Ujan menghindar diri dari program itu.
Ia selalu mengatakan selama ini kebiasaan warga dengan segala kerumitan proses pengolahan karet tradisional, tidak bisa merubah kebiasaan yang sudah lama.
TFCA Kalimantan merupakan program kerjasama Pemerintah Republik Indonesia dengan Pemerintah Amerika Serikat dalam rangka pengalihan hutang untuk kegiatan konservasi hutan, khususnya di Kalimantan berdasarkan perjanjian yang ditandatangani pada 29 September 2011,
Menurut keterangan Kades Nanga Ngeri, Ahmad Daid AMd, ketika bertemu dengan Kades Ujan di kantor Camat Silat Hulu, mengatakan jika ada program lain selain karet maka akan diterima. Tapi untuk karet, tidak.
“Untuk sementara saya tidak terima program itu,” kata Ujan, disampaikan ke Kades Desa Dangkan Kota, Agus Salim dan PPL Kecamatan Silat Hulu, Ningkan.
Kades Ujan meminta agar Gemawan mencari desa lain saja. Perjumpaan Program Manager, Deny F selaku penanggung jawab program di Kabupaten Kapuas Hulu, ketika mendatangi Kades Ujan di kediamannya pada Rabu, 25 Juni 2014, juga tidak membuahkan hasil.
Ternyata menurut Sekdes Nanga Dangkan, soal kegiatan sosialisasi itu, Kades Ujan tidak pernah memberitahukan dirinya. Sekdes sangat berharap agar bisa terlaksana. Namun dirinya harus terlebih dahulu mengkonfirmasikan sekaligus melobi Kades Ujan, namun hasilnya tetap nihil.
Karena situasi sudah cukup mendesak, Jumat 27 Juni 2014 malam, Uyub didampingi seorang warga setempat kembali menggunjungi kediaman Pak Ujan. Dalam pertemuan malam itu, juga ada Temenggung Dayak Ingkar Silat, Andreas Hasan dan tiga warga yang kebetulan berada di rumah Pak Ujan.
“Kami tidak menolak, kami senang dengan program pendampingan karet lokal tersebut. Tapi Saya tidak yakin dalam tiga tahun mampu mengubah kebiasaan masyarakat yang sudah berpuluh-puluh tahun terbiasa dengan pekerjaan yang serba praktis. Karena pekerjaan masyarakat tidak saja menoreh tapi juga berladang dan kerja yang lainnya,” timpal Ujan.
Masyarakat di sini, lanjut Ujan, sudah lebih lama mengenal cara terbaik menoreh karet yang berkualitas. Tetapi harga karet tidak bisa diharapkan.
Masyarakat jadi malas menoreh. Seperti dulu, ada standar kualitas karet dengan masing-masing harganya, tapi juga tidak terlalu memberi keuntungan banyak pada masyarakat. Paling-paling agak mahal sedikit, selisih Rp1.000-1.500,-.
Untuk membuat karet berkualitas dibutuhkan proses dan waktu yang cukup atau lama. Seperti membuat kepingan yang tipis dan bersih, perlu waktu.
Pengumpulan getah karet (latek), dimulai dari proses pembekuan dalam bak (cetakan), setelah membeku diangkat lalu ditipiskan dulu pakai tangan atau botol hingga tipis. Kemudian di mesin pakai mesin bress (mesin penggiling untuk menipiskan latek).
“Kemudian kita jemur langsung kena sinar matahari, setelah itu baru kita jemur lagi dalam rumah lagi. Disusun lagi. Perlu proses yang panjang dan waktu yang lama,” timpalnya.
Ujan menerangkan saat ini mesin pengiling latek karet itu sudah hampir jarang dijumpai. Jika ada dan jumlah terbatas, warga desa pasti tidak mampu mengejar tempat dimana mesin tersebut berada, karena jauh dari kebun mereka.
Jika ada satu-dua mesin, seperti kebiasaan masyarakat, jika memesinkan karetnya pada mesin milik orang lain maka akan dikenakan cok (bayaran), misalnya dari sepuluh keping maka akan ditarik satu keping oleh pemilik mesin, ini menjadi kendala tersendiri.
Jika membeli mesin sendiri, biaya lagi yang harus dikeluarkan masing-masing pemilik kebun karet. Sementara ada cara proses pengolahan karet yang mudah dan gampang seperti membuat kulat karet (jinton).
Belum lagi persaingan dengan para pengumpul kulat karet. Kebiasaan masyarakat di sini, jika mereka sudah dalam situasi terhimpit tidak punya beras atau uang, mereka bisa meminjam dulu ke tauke, setelah menoreh baru bayar hutangnya.
“Sementara jika saat kami sedang mengikut program ini dan hasilnya belum bisa diterima pabrik, maka saat itu kami akan dipersulit oleh pembeli kulat karet yang mereka juga penjual Sembako (sembilan bahan pokok). Dalam hal ini tentu para pengumpul kulat karet juga tidak mau rugi atau kehilangan para penoreh yang menjual kulat karetnya kepada para pengumpul,” kata Ujan.
“Mengubah kebiasaan orang kampung itu tidak mudah. Apa mungkin kita bisa melawan kebiasaan tradisional yang serba praktis dengan desa-desa lain yang tidak mengikuti program ini? Ini suatu kendala yang menurut kami mustahil program ini bisa merubah kebiasaan warga setempat,” tutur Ujan.
Demikian juga harga karet, imbuhnya, jika pun dibilang tinggi paling-paling bedanya hanya seribu sampai dua ribu rupiah. Sementara masyarakat sudah kehabisan waktu karena hanya mengurus karet itu saja. Akibatnya pekerjaan lain bisa tidak dikerjakan.
“Jujur dan terbuka saya sampaikan, untuk sementara kami belum menerima program ini. Kami tidak mengatakan program ini tidak baik. Sangat baik. Tapi kami mau lihat dulu desa-desa yang sudah berhasil. Kalu memang sudah ada buktinya, kami mau terima,” timpal Ujan.
Temenggung Andreas Hasan juga menyatakan hal yang kurang lebih sama,“Kami mau ada bukti yang sudah berhasil.”
Sebelumnya, setelah tim pertama kali Gemawan turun survei, PPL Ningkan pernah berjumpa dengan Kades Lebak Najah, Albertur SSos menyampaikan Gemawan akan mensosialisasikan program karet lokal di kecamatan Silat Hulu.
Kemudian Ningkan berkomunikasi dengan Kaur Pembangunan Desa Lebak Najah, Yunus dan menyampaikan ke Kades Lebak Najah, Albertur ihwal ada program penguatan perkebunan karet tradisional.
Dalam pertemuan itu, Deny F dari Gemawan, memberikan penjelasan mengenaikan program TFCA Kalimantan yang akan dilaksanakan Gemawan dengan rencana program jangka panjang.
Setelah mendengar penjelasan dari Deny F, Kades Lebak Najah, Albertus langsung menyatakan kesediaannya untuk dilakukan sosialisasi kegiatan di desanya pada Sabtu, 28 Juni 2014.
“Kami akan menyiapkan tempat dan waktu serta kebutuhan lainnya yang perlukan untuk kegiatan sosialisasi ini,” yakinnya.
Akhirnya program penguatan perkebunan karet lokal yang awalnya akan dilaksanakan di desa Nanga Dangkan, dipindahkan ke desa Lebak Najah.
Menurut informasi warga, Kades Nanga Dangkan memang sulit menerima hampir semua program pemerintah maupun penggiat sosial ke desanya. Seperti kasus pendataan Biro Pusat Statistik (BPS) megenai jumlah orang miskin di desanya, Kades Nanga Dangkan enggan menandatangani hasil pendataan dari petugas dan bersitegang dengan Camat Silat Hulu. Akibatnya, Camat Silat Hulu sendiri yang menandatanganinya.
Demikian pula dengan program dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) yang mau membangun gedung serba guna di desanya. Kades tidak menyatakan menolak juga tidak menyatakan menerima. Setelah pihak PNPM cukup lama menunggu keputusan dari Kades Nanga Dangkan, akhirnya memutuskan mendirikan gedung serbaguna itu di desa Dangkan Kota.
Di Desa Nangan Dangkan untuk sementara ini belum ada tanda-tanda masyarakat mau menerima perusahaan sawit atau perusahaan lainnya. Beberapa waktu lalu, para kepala desa dan tokoh masyarakat di kecamatan Silat Hulu, termasuk Kades Nanga Dangkan beserta Temenggung pernah diajak PT Sinar Mas jalan-jalan ke kecamatan Badau untuk melihat langsung perkebunan kelapa sawit di sana yang kini sudah mulai berubah.
Atas apa yang mereka lihat dan dengar sendiri, khususnya bagi Kades Nanga Dangkan dan Temenggung Entiab, mereka berdua tidak senang dengan sistim bagi hasil 80 persen lahan warga menjadi milik perusahaan, 20 persen menjadi milik warga yang menyerahkan lahan.
Belum lagi warga dibebankan kredit sebesar Rp57 juta perkapling. Jika dikalikan dua kapling maka totalnya Rp 114 juta yang harus lunas selama 35 tahun. (Gemawan-Mud)