BERBAGAI permasalahan seputar sawit selalu muncul, terkait sistem kerja dan pengelolaannya. Kasus demi kasus, menambah daftar panjang pelanggaran HAM yang dilakukan perusahaan sawit, terhadap buruhnya terus terkuak dan terbuka.
Tidak salah jika dikatakan, dunia kerja di perkebunan tidak ubahnya seperti dunia kerja zaman VOC, dimana buruh bekerja rodi dan kesejahteraannya tidak diperhatikan.
Aktivis Gemawan, Tomo mengatakan, saat memaparkan permasalahan yang menimpa seorang pekerja perkebunan sawit CV. CP di Kecamatan Seluas, Kabupaten Bengkayang, yang mengadukan nasibnya ke Walhi Kalbar, Senin (30/3).
Seorang pekerja perkebunan kelapa sawit CV CP, Mardelan (46), mengadukan nasib istrinya, Kartika, mendapatkan perlakuan tidak adil di perusahaan tersebut. Pasalnya, istrinya yang hamil tujuh bulan, tetap dipaksa bekerja oleh perusahaan.
“Saat istri saya minta izin cuti, perusahaan tidak memberikannya,” tuturnya.
Meski sudah berusaha minta izin cuti hamil berkali-kali, istrinya tetap tidak diberikan izin cuti. Jika istrinya tidak masuk kerja, pihak perusahaan akan memotong gaji istrinya selama dua hari, dan jatah beras juga tidak diberikan.
Jika tidak masuk sehari, perusahaan memotong gaji selama dua hari. Di CV CP, meski dalam kondisi hamil tua, istri Mardelan tetap bekerja, melakukan pemupukan dan menebas perkebunan sawit.
Akibat tidak diberi izin cuti oleh perusahaan, akhirnya Kartika yang dalam kondisi hamil tersebut, menderita sakit dan harus dibawa ke rumah sakit Abdul Azis, Singkawang, 22 hari lalu. Hasil diagnosa dokter, istrinya mengalami lemah jantung, sesak napas, ginjal dan asma. Dua hari di rumah sakit Abdul Azis, Mardelan dan istrinya harus kehilangan anak ketiganya, yang meninggal dunia karena istrinya mengalami keguguran.
Mardelan mengatakan, ia dan istrinya bekerja di CV CP sebagai buruh harian, dengan gaji Rp26.000 per hari, dan beras 45 kilogram sebulan.
Ia dan istrinya bekerja di perkebunan sawit CV CP selama 3 tahun lebih. Dulu, sistem perusahaan CV CP tidak seperti sekarang. Perubahan sistem terjadi, saat ada pergantian asisten perusahaan. “Asisten perusahaan yang baru, memberlakukan sistem yang keras terhadap para buruh,” katanya.
Ia mengungkapkan, setelah istrinya menderita sakit dan harus dirawat di rumah sakit, pihak perusahaan tidak mempedulikan nasib istrinya. Seluruh biaya pengobatan ditanggung Mardelan. “Saya sudah habis jual barang-barang berharga di rumah, untuk berobat istri saya,” kata Mardelan.
Tidak hanya itu, Mardelan masih harus berutang pada pihak rumah sakit sebesar Rp3 juta, yang merupakan biaya perawatan istrinya.
Akibat istrinya sakit, Mardelan tidak dapat bekerja seperti biasanya. Karena tidak dapat bekerja, pihak perusahaan, akhirnya memberikan putusan PHK sementara pada Mardelan.
Saat dikonfirmasi, upaya yang akan dilakukan Gemawan untuk menolong Mardelan, Tomo, aktivitas Gemawan mengatakan, ia sedang mengupayakan, agar istri Mardelan mendapatkan Jamkesmas, agar diberikan keringanan biaya pengobatan di rumah sakit Abdul Azis.
Tidak hanya itu, Tomo juga akan memberikan advokasi hukum Mardelan yang bekerja sama dengan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (LBHI) Kalbar.
Ia menilai, perlakuan yang dilakukan pihak perusahaan sawit CV. CP, sudah termasuk pelanggaran HAM terhadap pekerja.
“Sudah kita ketahui bersama, perusahaan perkebunan memang seringkali memperlakukan buruhnya secara tidak manusiawi. Kita juga melihat sistem kerja di perusahaan perkebunan tidak berubah sama sekali seperti perkebunan zaman VOC,” katanya menegaskan.
Tomo berharap, pemerintah dapat mengevaluasi sistem perburuhan di perusahaan perkebunan yang ada sekarang. Sebab, perusahaan perkebunan sudah sering, tidak memberikan hak-hak kesejahteraan yang pantas pada para buruh mereka.
Aktivis Walhi, Hendi mengungkapkan, kasus-kasus pelanggaran HAM yang dilakukan perusahaan perkebunan pada buruh, sudah menjadi cerita lama. Hanya saja, memang tidak ada ketegasan dari pemerintah, memberikan perlindungan terhadap para buruh perusahaan perkebunan.
“Belum pernah kita mendengar ada perusahaan dijerat hukum, akibat melakukan pelanggaran HAM terhadap buruhnya,” kata Hendi. (Tantra Nur Andi)
Sumber: www.borneotribune.com, Selasa, 31 Maret 2009