PONTIANAK – Koalisi Masyarakat Sipil untuk Tata Ruang yang Adil dan Berkelanjutan menilai pembahasan Rancangan Tata Ruang Wilayah Provinsi Kalimantan Barat mengabaikan hak-hak masyarakat. Kepentingan masyarakat yang sering menjadi sasaran dalam berbagai program pembangunan pemerintah justru tidak terwakili.

Bahkan, koalisi yang terdiri dari Walhi Kalbar, LBBT, WWF-Indonesia Program Kalbar, PPSDAK, Lembaga Gemawan, PRCF, AMAN Kalbar, Kontak Borneo, Lanting Borneo, PERVASI, GMNI, IMM, FMN, FAMKI Sintang, KNPS, Serumpun, STSD Sambas, STKR KKR ini menilai, pemerintah cenderung memberi pelayanan seluas-luasnya bagi investasi swasta, dan mengabaikan hak-hak masyarakat atas tanah.

Koordinator Koalisi Masyarakat Sipil untuk Tata Ruang yang Adil dan Berkelanjutan, Hermawansyah mengatakan, salah satu sebab dari proses yang lama dalam revisi tersebut adalah tarik menarik kepentingan dalam penggunaan ruang di Indonesia. “Nah, dalam proses tarik ulur seperti ini, kepentingan masyarakat cenderung diabaikan,” katanya di Pontianak, Rabu (18/1).

Padahal, kata Hermawansyah, praktik-praktik pengelolaan lahan masyarakat ini sudah berlangsung sejak lama, bahkan sudah dilakukan turun-menurun. Kategori fungsi-fungsi budidaya dan lindung hanya menekankan pada golongan kegiatan yang diperbolehkan, namun tidak ada kategori khusus untuk masyarakat kecil agar bisa leluasa melakukan kegiatan ekonomi mereka.

Di Kalbar, lanjut Hermawansyah, ada kecenderungan kawasan budidaya lahan kering menjadi sasaran perkebunan kelapa sawit. Sementara ladang, kebun karet, tembawang, dan jenis pengelolaan masyarakat lainnya tidak diakui keberadaannya oleh pemerintah. Dari sinilah konflik lahan yang marak terjadi hingga berujung pada kekerasan dan kriminalisasi.

“Satu hal lagi, proses pembahasan draf Raperda RTRWP sudah disampaikan oleh Gubernur Kalbar ke DPRD Kalbar. Tapi, hingga hari ini belum pernah dilaksanakan konsultasi publik. Proses yang tidak transparan dan minim partisipasi tersebut dikhawatirkan akan mengabaikan hak pengelolaan lahan masyarakat,” tegas Hermawansyah.

Dia mencontohkan iklan informasi tata ruang Kalbar yang disampaikan Dinas PU Kalbar di salah satu koran harian di Kalbar yang dimuat pada 16-17 Januari 2012. Di situ kelihatan sekali bahwa semangat akomodasi kepentingan investasi begitu besar. Padahal, berbagai peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan penataan ruang memandatkan adanya perlindungan hak pengelolaan lahan masyarakat adat dan lokal.

Di Kalbar, kata Hermawansyah, sekitar 1,5 juta hektar wilayah kelola masyarakat sudah dipetakan secara partisipatif oleh masyarakat sipil. Lebih dari 100 ribu hektar wilayah hutan sedang diusulkan masyarakat kepada Kementerian Kehutanan untuk ditetapkan sebagai Hutan Desa. Pertanyaannya kemudian, apakah wilayah kelola masyarakat tersebut telah diakomodasi dalam RTRWP Kalbar?

Mencermati proses pembahasan RTRWP Kalbar yang sedang berlangsung sekarang, kami mendesak proses pembahasan draf RTRWP yang terbuka dan partisipatif baik di tingkat eksekutif maupun legislatif.

“Kami juga minta RTRWP Kalbar harus memperjelas status lahan yang selama ini telah menjadi wilayah kelola masyarakat baik di dalam kawasan budidaya dan kawasan lindung,” jelasnya.

Koalisi ini juga menuntut RTRWP Kalbar harus melindungi kawasan sentra produksi pangan masyarakat, dan tidak menjadikannya sebagai ajang pemutihan pelanggaran kawasan hutan yang dilakukan pemerintah kabupaten atas investasi perkebunan kelapa sawit dan pertambangan yang sudah eksis beroperasi.

Selain itu, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten juga diminta menjaga dan menambah fungsi ekosistem dari kawasan lindung yang akan ditetapkan dalam RTRWP sehingga tidak menjadi pemicu maraknya banjir di Kalbar.

“Satu hal lagi, Pemerintah harus melindungi habitat satwa liar yang dilindungi, baik di kawasan budidaya maupun kawasan lindung dalam RTRWP,” tegasnya. (*/mnk)

Sumber: Pontianak Post (Kamis, Januari 2012

RTRW Dinilai Abaikan Hak Masyarakat

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *