Revisi UU KPK: Setuju, Tolak atau Referendum?
Oleh: Hermawansyah*
Wacana revisi UU KPK untuk sekian kalinya memicu polemik pro dan kontra antara sikap setuju dan menolak agenda yang diusung oleh komisi III DPR itu. Argumentasi yang mengemuka di media oleh para pendukung revisi khususnya politisi senayan, selalu mengatakan bahwa revisi UU KPK dalam rangka untuk memperkuat KPK.
Sementara pemerintah dalam hal ini Presiden Jokowi sikapnya tegas, “Pemerintah setuju jika revisi untuk memperkuat KPK”.
Artinya, jika revisi ternyata merupakan jalan untuk memperlemah KPK, pemerintah tidak setuju. Untuk membuktikan apakah revisi akan memperkuat atau memperlemah, mari kita lihat poin-poin dalam draft revisi UU 30 Tahun 2002 tentang KPK.
Empat hal pokok yang akan direvisi
Dalam draft terakhir revisi UU KPK yang beredar di publik, setidaknya ada empat hal pokok menyangkut kewenangan KPK yang akan direvisi.
Pertama, Dewan Pengawas. Adanya Dewan Pengawas merupakan hal baru dalam draft revisi UU KPK, makanya diatur pada bab tersendiri.
Dalam Bab V A draft revisi tentang Dewan Pengawas, ditambahkan lima pasal baru yang mengatur tentang kelembagaan, masa jabatan, tugas, syarat keanggotaan, mekanisme pengangkatan dan pemberhentian anggota.
Alasan kenapa dimunculkan adanya Dewan Pengawas dapat dilihat pada bagian Penjelasan draf revisi alinea keempat yang mengemukakan kelemahan kinerja KPK.
“…serta kelemahan belum adanya lembaga pengawas yang mampu mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi sehingga memungkinkan terdapat cela dan kurang akuntabelnya pelaksanaan tugas dan kewenangan pemberantasan korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi”.
Kedua, Penyadapan. Kewenangan penyadapan tidak dihapus, melainkan diatur secara teknis terkait syarat, mekanisme dan pertanggungjawaban serta harus mendapat izin tertulis dari Dewan Pengawas. Dalam keadaan mendesak penyadapan dapat dilakukan sebelum mendapat izin, akan tetapi sehari setelah itu pimpinan KPK wajib mendapatkan izin tertulis dari Dewan Pengawas.
Ketiga, kewenangan SP3. Kewenangan untuk mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan sebelumnya tidak diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 2002. Artinya, pimpinan KPK tidak boleh mengeluarkan SP3. Akan tetapi dalam draft revisi, kewenangan ini dimunculkan dengan syarat dan mekanisme yang lagi-lagi harus mendapatkan izin dari Dewan Pengawas.
Keempat, pengangkatan penyelidik dan penyidik. Soal penyelidik dan penyidik ini diatur secara khusus dalam enam pasal yang menyangkut syarat, mekanisme, pengangkatan, dan pemberhentiannya. Dalam pelaksanaan tugas, penyelidik, dan penyidik sepenuhnya bertanggungjawab kepada pimpinan KPK.
Ada penegasan bahwa penyelidik dan penyidik tidak dapat ditarik ke institusi asal kecuali telah bekerja paling sedikit dua tahun di KPK dan tidak sedang menangani kasus. Akan tetapi pimpinan KPK tidak boleh mengangkat penyelidik dan penyidik secara mandiri, melainkan harus berasal dari Kepolisian dan Kejaksaan.
Selain empat hal pokok yang akan direvisi tersebut, tindakan penyidik untuk melakukan penyitaan juga harus mendapatkan izin dari Dewan Pengawas.
Dewan Pengawas = Dualisme Kepemimpinan
Posisi Dewan Pengawas disebutkan dalam draft revisi sebagai lembaga non-struktural, diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Akan dilakukan seleksi lagi oleh tim atau panitia yang dibentuk oleh presiden tanpa melalui pemilihan atau fit and proper test di DPR. Secara teknis mekanisme pemilihan akan diatur dalam Peraturan Presiden.
Persoalan yang ditentang banyak pihak adalah kewenangan yang diberikan kepada Dewan Pengawas begitu besar. Di luar urusan penyelidik dan penyidik, soal penyadapan, SP3 dan penyitaan semuanya bermuara pada otoritas yang dimiliki oleh Dewan Pengawas. Bisa dipastikan bahwa dalam pelaksanaan tugas penegakan hukum, pimpinan KPK akan selalu berada di bawah supervisi Dewan Pengawas.
Bahkan penyelidikan dan penyidikan tidak sepenuhnya dikendalikan oleh Pimpinan KPK, melainkan juga oleh Dewan Pengawas. Tidak cukup forum pleno pimpinan untuk mengambil keputusan karena juga harus mendapat izin dari Dewan Pengawas.
Dengan demikian tak terhindarkan akan terjadi ‘dualisme’ dalam mekanisme pengambilan keputusan di internal KPK. Dengan adanya dualisme dalam pengambilan keputusan menyangkut teknis penanganan perkara tentu akan mempengaruhi kinerja penindakan KPK.
Padahal publik mencatat bahwa dengan penyadapan itulah yang membuat KPK efektif membongkar transaksi korupsi lewat operasi tangkap tangan.
Setuju atau tolak?
Polarisasi sikap setuju dan menolak revisi UU KPK berangkat dari substansi apakah poin-poin yang akan direvisi tersebut akan memperkuat atau memperlemah. Jika dibaca dengan seksama draf revisi UU KPK, hampir tidak ada poin yang akan memperkuat KPK.
Bahkan La Ode Syarif Pimpinan KPK di media mengatakan bahwa 90 persen draf revisi akan memperlemah KPK.
Secara khusus Bambang Wdjoyanto mantan Pimpinan KPK turun tangan menggalang petisi masyarakat untuk menolak revisi.
ICW bersama TII juga telah mengkampanyekan ‘10 Jurus Lemahkan KPK’ dalam revisi UU KPK, yakni:
(1) Dibentuknya Dewan Pengawas yang ditunjuk Presiden membuat KPK rawan di intervensi eksekutif dan tidak independen,
(2) Akan ada dualisme kepemimpinan jika Dewan Pengawas dibentuk,
(3) Proses penyitaan harus melalui izin Dewan Pengawas, bagaimana jika yang akan disita adalah milik kerabat salah satu Dewan Pengawas,
(4) Penyadapan harus melalui izin Dewan Pengawas, bagaimana jika yang akan disadap adalah anggota Dewan Pengawas,
(5). KPK hanya bisa melakukan penyadapan pada tahap penyidikan, membuat KPK sulit untuk melakukan tangkap tangan lagi,
(6) KPK tidak boleh mengangkat penyelidik dan penyidik secara mandiri,
(7) Hanya penyidik asal Kepolisian dan Kejaksaan yang dapat melakukan proses penyidikan,
(8) KPK harus minta izin jika melakukan pemeriksaan terhadap pejabat tertentu seperti kepala daerah, menteri maupun pejabat lain,
(9) KPK bisa menghentikan penyidikan dan penuntutan perkara korupsi, hal ini dapat menurunkan kualitas penanganan perkara, dan
(10) Revisi UU KPK tidak ada masa peralihan dari UU sebelumnya, hal ini dapat menghambat kinerja KPK.
Dari sepuluh point di atas, sangat jelas alasan kenapa revisi UU KPK harus ditolak.
Aktivis, tokoh masyarakat, ormas keagamaan serta akademisi di Jakarta dan berbagai daerah sudah bersatu padu menyuarakan sikap menolak revisi. Terkini, mantan pimpinan KPK Busyro Muqqodas bersama akademisi, aktivis dan tokoh masyarakat di kantor Muhammadiyah Jogjakarta menyatakan sikap menolak revisi.
Delapan guru besar dari berbagai universitas yang cukup dikenal publik, juga sudah bersuara menolak revisi UU KPK. Sebut saja misalnya Prof Saldi Isra, Prof Hamdi Muluk, Prof Hariadi Kartodiharjo, Prof Komariah Emong, Prof Marwan Mas, Prof Faisal Santiago, Prof Rhenald Kasali, dan Prof Hibnu Nugroho.
Di DPR, beberapa partai atau fraksi seperti Demokrat, Gerindra, dan PKS tegas menyatakan sikapnya menolak agenda revisi. Walaupun hingga kini belum tampak juga argumentasi substantif disuarakan oleh partai/fraksi di DPR yang mendukung revisi.
Tinggal pemerintah yang belum bulat satu suara. Antara Juru Bicara Presiden Johan Budi dan Sekretaris Kabinet Pramono Anung berbeda suaranya dengan Menkopolhukam Luhut Pandjaitan. Sehingga muncul pertanyaan publik di media, revisi UU KPK ini mewakili kepentingan siapa?
Apakah itu bagian dari skenario pelemahan KPK setelah kriminalisasi terhadap mantan pimpinan dan penyidik KPK?
Tarik-ulur sikap pemerintah dan DPR apakah akan lanjut revisi atau tidak, sepertinya tergantung arus publik seberapa kuat desakan penolakan dari masyarakat. Apakah menunggu harus ‘gaduh’ dulu baru pemerintah dan DPR bersikap. Kalau melihat peta sikap fraksi-fraksi di DPR, hanya tiga fraksi yang menolak dan lima lainnya setuju revisi.
Artinya besar kemungkinan pembahasan revisi akan lanjut. Sekarang tinggal secara prosedural apakah pemerintah akan mengeluarkan Surat Presiden (Surpres) sebagai syarat untuk memulai pembahasan, atau tidak.
Revisi UU KPK: Taruhan Citra
Pemerintah dan DPR khususnya tentu akan mempertimbangkan apakah gelombang penolakan masyarakat terhadap revisi UU KPK akan mempengaruhi elektabilitasnya. Apalagi kampanye “Jangan Pilih Partai Pendukung Revisi UU KPK” sudah mulai digelorakan.
Pemilu 2019 tidak lama lagi, semua partai politik sekarang sedang dalam masa konsolidasi mempersiapkan strategi pemenangan. Termasuk agenda pemenangan Pemilukada di berbagai daerah setiap tahun hingga pemilu 2019.
Pada akhirnya, lagi-lagi persoalan strategis menyangkut arah kehidupan berbangsa dan bernegara diputuskan atas dasar keuntungan politik apa yang dapat diraih. Alih-alih perdebatan substansif, yang terjadi justru aspirasi publik dibajak oleh elit lewat lobi-lobi dan negoisasi.
Pertanyaannya kemudian, di mana posisi rakyat dalam mekanisme pengambilan keputusan penting tersebut?
Bagaimana jika kehendak pemerintah dan DPR berlawanan dengan kehendak rakyat?
Apakah saluran hukum seperti di MK cukup dapat mewadahi aspirasi rakyat untuk mengoreksi keputusan yang diambil pemerintah dan DPR?
Referendum
Untuk menjawab pertanyaan di atas, harus diperiksa lagi bagaimana konstruksi ketatanegaraan dan mekanisme demokrasi yang diterapkan sekarang. Demokrasi langsung ternyata masih menyisakan persoalan akuntabilitas menyangkut keputusan yang telah diambil pemerintah dan DPR.
Betul bahwa ketidaksetujuan masyarakat terhadap keputusan pemerintah dan DPR dapat dikoreksi melalui pengadilan. UU dapat di Judicial Review dan dapat dibatalkan oleh MK. Peraturan di bawah UU hingga Perda di Mahkamah Agung, serta keputusan pemerintah dapat dibawa ke PTUN.
Selain itu, masyarakat juga dapat mengajukan Class Action, Legal Standing dan Citizen Lawsuit ke pengadilan jika keputusan pemerintah dianggap merugikannya. Apakah saluran hukum itu semua sudah cukup?
Dalam kasus revisi UU KPK, masyarakat perlu ditanyakan sikapnya apakah setuju atau tidak. Apalagi KPK merupakan lembaga negara yang mendapatkan kepercayaan masyarakat sangat tinggi. Jika pada akhirnya pemerintah dan DPR melanjutkan revisi UU KPK, dapat dipastikan akan memicu gelombang penolakan masyarakat.
Kegaduhan bakal terjadi lagi, dan tentu akan menguras energi publik. Konsentrasi pemerintah pun akan terganggu, mau tak mau harus disikapi dan dicarikan jalan keluarnya. Oleh karena itu, aspirasi masyarakat dalam pengambilan keputusan, misalnya terkait revisi UU KPK, harus dikelola dan disiapkan salurannya.
Mungkin sudah saatnya para ahli politik dan tata negara duduk serta berdiskusi untuk mempertimbangkan REFERENDUM sebagai mekanisme pengambilan keputusan. Sebab esensi dari demokrasi langsung adalah pelibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan publik. Wallahu’alam.
Tentang Penulis
Hermawansyah, pria kelahiran Desa Sungai Bakau Kecil, Kabupaten Mempawah. Anak ke-dua dari tiga bersaudara ini sejak menjadi mahasiswa di Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura telah aktif dalam gerakan sosial politik. Saat itu ia bergabung dalam Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI). Di tahun 1999, ia bersama kolega mendirikan Lembaga Gemawan, sebuah lembaga non pemerintah (CSO/ civil society organization) di Kalimantan Barat yang bergerak pada bidang advokasi dan peningkatan kapasitas komunitas masyarakat tingkat tapak.
*Penulis adalah Direktur Eksekutif Swandiri Institute/Dewan Pengurus Gemawan
*Opini ini dikutip dari laman: http://pontianak.tribunnews.com/2016/02/17/revisi-uu-kpk-setuju-tolak-atau-referendum