Rektor yang Mampu Hentikan Nestapa Kekerasan di Kampus.

Oleh : Ireng Maulana*

Lembaga Perguruan Tinggi bisa gagal mentransformasikan pendidikan sebagai pendekatan untuk menghargai hidup  apabila pendidikan tidak lagi  disampaikan sebagai sebuah semangat untuk memahami nilai – nilai kehidupan . kekerasan  yang terjadi secara berulang – ulang didalam sebuah institusi pencerdasan seharusnya membuat para akademisi kampus ‘kalut’.

Berpikir keras dan melakukan refleksi serius terhadap tindakan tidak terpelajar  para intelektual muda . kasus – kasus perkelahian, saling serang dan baku hantam apakah  dapat membenarkan kenyataan bahwasannya para peserta didik telah luntur kecerdasan sosialnya .

Kenyataan telah mengantarkan kepada sebuah pemahaman bahwa penyelesaian masalah dengan cara – cara kekerasan telah terdesign sedikian lama sedemikian rupa sehingga para peserta didik secara gampang berbuat dan bertindak seolah – olah perbuatan tersebut adalah cara jantan , pemberani dan   jagoan ! . terpirkirkan dengan keras dan melalui  refleksi serius sehingga pada akhirnya muncul kesimpulan dan pernyataan jujur didalam hati bahwa Mahasiswa tidak sebenar – benarnya diurus dalam hal hak mereka untuk mendapatkan pelayanan  kependidikan sehingga  membuat mereka harus menunjukkan keinginan membuat perubahan kearah yang lebih baik demi hak mereka dengan cara kekerasan, karena proses membangun komunikasi selama ini belum  terjadi dan lebih parah lagi mereka memang tidak pernah didengar. Mahasiswa telah didustai terhadap hak mereka untuk bertanya sehingga berdampak kepada sikap dimana mereka harus memperlihatkan sikap untuk dapat ditakuti  terlebihdahulu untuk memudahkan akses informasi, dan tanpa disadari ketimpangan ini telah meracuni sikap mereka dan menjadikan mereka berkarakter pendendam dan sehingga satu – satunya cara mudah untuk dapat diterima, diurus  dan didengar adalah dengan kekerasan.

Mahasiswa telah dinistakan terhadap hak mereka untuk difasilitasi dan pada akhirnya mereka selalu dimanfaatkan secara tidak sadar untuk terus menerus melindungi klaim kepentingan Kampus, hal ini berakibat terhadap semangat  untuk  melawan ketidakjujuran Lembaga yang serakah,  mereka berontak dengan cara dan tindakan mereka sendiri, melampiaskan kekalahan mereka dengan memilih adu otot sesama. Pada dasarnya Mahasiswa tidak sanggup lagi menghadapi eksklusifisme akademis , mereka tidak lagi mampu bertarung dengan struktur elite yang telah diciptakan dilingkungan belajar mereka sendiri . Kelelelahan menghadapi  kultur monopoli ala akademisi membuat pertarungan kebebasan untuk segera terlepas dari kungkungan menjadikan mahasiswa memilih kekerasan sebagai symbol perlawanan terhadap kekuatan besar kampus yang keras kepala dan tidak memperhatikan mereka . Kekerasan dijadikan kekuatan simbolik apabila mereka sudah tidak lagi didengar .

Kasus per kasus yang terjadi hanyalah sebuah tanda pelampiasan sesaat sehinga mereka mendapatkan pengakuan dari rasa takut yang dimunculkan dan permintaaan mereka sangat sederhana yaitu keinginan untuk diurus .. Betapa  interaksi social dikampus secara alamiah  telah membuat Mahasiswa belajar untuk menebar rasa takut dan itu hanya untuk mendapatkan tempat supaya mereka dapat diterima dari sebuah system yang bernama Universitas.

Rusak bagunan, saling menyerang, luka dan darah adalah verifikasi tidak ada lagi orang yang mau mereka dengar, tindakan kekerasan dapat menghantui kehidupan kampus setiap saat , setiap orang dapat menjadi aktor sekaligus korban, kekerasan dapat terjadi hanya dengan kejadian – kejadian biasa.

Ketidaksetujuan penulis terhadap tindakan  kekerasan dapat dimulai dengan pencarian terhadap persoalan peran yang seharusnya dapat menyudahi kemalangan ini, namun tidak beralasan dan mungkin masih terlalu awal apabila menyebutkan mereka yang dianggap “orang tua “ atau yang menjabat pemimpin sekalipun telah dibuat tidak berdaya untuk menyudahi aib terbusuk sebuah Lembaga pendidikan, suara orang tua kampus telah dibuat hampa, karisma para orang tua kampus menjadi semu dan keorang tua – an mereka mulai dipertanyakan. Ada apa sebenarnya ? apakah proses yang telah dibangun dari generasi ke generasi dalam kehidupan kampus memang dimulai dengan membuat jarak dan  tidak pernah ada pendekatan komunikatif sebelumnya, atau mungkin mereka tidak pernah saling tahu dan atau memang dari sejak awal tanpa kepedulian.

Sungguh penyesalan yang sangat mendalam dan ujian terberat para orang tua kampus ketika mahasiswa dapat dihentikan dengan pendekatan keamanan dan bukan oleh kematangan emosional para orang tua kampus,  Apakah kemudian hal ini dapat kita jadikan verifikasi kembali terhadap kenyataan bahwa sekali lagi para orang tua kampus tidak dipandang.

Segalanya mulai konyol dan menjadi bahan tertawaan ketika Mahasiswa dengat sangat berani untuk tidak mendengarkan, tidak patuh, dan tidak memperdulikan para orang tua kampus padahal kenyataannya para orang tua kampus sangat berkuasa dengan birokrasi dan ciptaan interaksi elite dimana mereka sangat berani dan berkuasa pada wilayah untuk menentukan Mahasiswa sebagai objek yang harus selalu patuh karena penentuan keberhasilan akademis dapat dipermainkan.

Berasal dari proses tersebut maka yang menjadi prinsip kritikan penulis terletak kepada keadaan dimana Mahasiswa dapat selalu tertindas pada setiap aspek proses pembelajaran dan dalam hubungannya yang lebih jauh maka Kekerasan merupakan arena yang tidak dapat dijangkau para orang tua kampus karena kekuasaan mereka hanya monopoli terhadap birokrasi dan interaksi proses belajar yang elite, sedangkan Mahasiswa memahami kekerasan sebagai ruang menumpahkan kekecewaan terhadap penindasan proses pembelajaran dan kejemuan terhadap ketidakadilan monopoli  birokrasi. Mahasiswa telah kehilangan  social- trust dan interkasi telah lama kaku dalam structure – elite , proses tersebut terus terjadi dan mereka menjadi terbentuk dari proses itu. Sehingga secara sadar harus ada perubahan yang signifikan terhadap ketidak teraturan ini.

Perubahan harus dimulai dengan melakukan penataan kembali fasilitasi pelayanan kependidikan. Proses pembelajaran sudah sewajarnya mengedepankan hakikat kemerdekaan Mahasiswa dalam belajar, mendekatkan mereka kembali kepada hidup dan kehidupannya, tidak ada lagi monopoli sentralistik proses belajar, birokrasi akademis yang berkeadilan dan memudahkan, terbangunnya social trust yang seimbang serta interaksi tanpa kultur elite. Dan apabila kekerasan demi kekerasan terus dibiarkan terjadi dikampus, yang kemudian menjadi laten dan  berakar , maka Lembaga Perguruan Tinggi sebagai salah satu pilar  untuk melakukan transformasi kebaikan dan nilai kehidupan justru berubah menjadi agent kekerasan dan menganut premanisme.

Siklus mewariskan kekerasan dan permusuhan menjadi trend tersendiri yang tidak terbantahkan sehingga terus mengikuti proses belajar seluruh Mahasiswa dari generasi ke generasi. Dengan demikian apalagi yang dapat diharapkan dari output pendidikan untuk perubahan? karena para agent perubahan berwatak pendendam, menjadi opportunis, berjiwa jagoan dan  berdarah panas’.

(* Pemerhati UNTAN)

Rektor UNTAN Definitif

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *