Oleh : Ireng Maulana )*

 

Filosofinya sederhana, “Jangan pilih kucing dalam karung”. Orang Melayu jangan pilih calon pemimpin dari Etnis Melayu, Orang Dayak jangan pilih calon pemimpin dari etnis Dayak dan etnis manapun jangan pilih calon pemimpin  dari golongan etnis mereka sendiri jika etnik masih dijadikan jualan politk.

Untuk lebih jauh, yang pertama penulis hanya ingin menyegarkan kembali konsepsi tentang socio – demokrasi, tawar menawar politis yang berdasar kepada etnik tidak ada urgensinya apabila dijadikan tujuan akhir untuk kekuasaan kepentingan yang tidak memihak rakyat, sehingga  pembelaan masyarakat terhadap calon pemimpin dengan memunculkan rasa kesukuan  justru tidak membantu masyarakat sama sekali dan bahkan sebaliknya akan merepotkan masyarakat itu sendiri.

Banyak juga pemimpin yang berasal dari etnis tertentu malahan membuat jengkel dan kesal etnis yang bersangkutan.  Yang kedua, Penulis, sekali lagi , juga meragukan kalau politisasi etnis dalam jabatan politis dijadikan solusi tawar – menawar untuk mengurangi tingkat intensitas faktor akselerator konflik, seolah – olah akan muncul dominasi kekerasan  oleh sekelompok masyarakat karena ketidakpuasan elite politik dalam sharing of power ; wacana seperti ini terus saja menjadi makanan publik dan sehingga menentukan Melayu – Dayak atau Dayak – Melayu adalah pilihan.

Yang menjadi kursial untuk terus dipertanyakan apakah Duet Mayoritas – Mayoritas tadi benar – benar kehendak rakyat, atau hanya sekedar hitungan – hitungan politik untuk spekulasi dukungan, karena biasanya Calon pemimpin dari etnis Melayu tidak populer di kalangan etnis Dayak demikian juga sebaliknya calon pemimpin dari etnis Dayak juga tidak Populer di kalangan etnis Melayu, dan  perlakuan yang sama juga berlaku bagi etnis yang lain.

Dalam konteks Kalimantan Barat untuk merebut  kekuasaan tidak harus dengan dagangan Etnik saja. Memunculkan pilihan pengganti misalnya dengan ” Teknokrat – Birokrat , Pria – Wanita, Pebisnis – Agamawan atau Akademisi – Budayawan , Ilmuwan – cendikiawan atau Tua – Muda, adalah sebuah tranformasi perilaku yang dapat dijadikan pilihan para elite, berawal dari konsepsi tadi maka akan memberikan nilai tersendiri bagi calon pemimpin karena suasana pertarungan politik dibangun atas dasar penilaian kapasitas dan kinerja, sehingga pilihan  yang diberikan oleh rakyat tidak atas dasar sentimen dan diskriminasi simbol – simbol semata tetapi dukungan yang diberikan karena kemunculan sosok calon pemimpin  yang dapat diterima oleh etnis manapun disebabkan oleh  kehandalannya, kapasitasnya, sikap kepemimpinannya dan komitmennya untuk terus  membela rakyat dan bukan karena identitas etnis yang melekat pada dirinya.

Pada saat ini, Masyarakat sedang menuju proses Demokratisasi sehingga transformasi nilai terhadap peningkatan kesadaran  dan pengetahuan masyarakat dalam pendidikan politik menjadi mutlak. Janganlah kedaulatan rakyat terhadap politiknya dimandulkan dengan fanatisme kesukuan yang sempit.

Penentuan pilihan rakyat bukan kepada identitas suku yang melekat kepada seorang calon pemimpin tetapi kepada kecerdasan politik rakyat untuk menentukan sendiri pilihan politik yang dapat menentukan pijakan kepada arah perubahan perikehidupan. Yang lebih baik.  Untuk lebih jauh masyarakat akan menjadi semakin cerdas dan dapat menentukan keberpihakan mereka, sementara itu dukung mendukung dalam perebutan jabatan – jabatan politis lebih memperhatikan pemimpin yang dengan penilaian politik masyarakat mempunyai komitmen keberpihakan kepada mereka, didukung dengan kinerja dan moralitas yang baik.

Penulis  meragukan bahwa kemasan politik dengan masih menggunakan simbol – simbol etnik harus terus dipertahankan, karena kultur ini akan segera basi seiring dengan peningkatan kapasitas masyarakat yang menjadi pemilih. Proganda etnik sebagai dagangan politik sewajarnya semakin ditinggalkan dan pada akhirnya ; misalkan, bahwa calon pemimpin yang berasal dari etnik melayu sepertinya tidak akan dipilih oleh masyarakat etnis melayu lagi apabila ada calon pemimpin dari etnis lain yang lebih cakap dan memang pantas dipilih. calon pemimpin yang berasal dari etnis Dayak pun demikian , sepertinya  tidak akan secara langsung  dipilih pula dengan suara bulat oleh masyarakat etnis Dayak karena ada calon lain yang lebih berkapasitas untuk menjadi pemimpin dan begitu seterusnya sehingga pilihan memang jatuh kepada pemimpin yang sesuai dengan penilaian baik oleh masyarakat tanpa harus melihat dari etnis manapun.

Perilaku seleksi yang lakukan oleh masyarakat secara proporsional menekan komitmen calon pemimpin untuk memberikan yang terbaik yang mereka miliki kepada rakyat sehingga calon pemimpin tersebut secara terus menerus berupaya dengan cara menunjukkan prestasi, reputasi yang baik, kinerja dan komitmennya untuk membela dan berpihak kepada keadilan untuk rakyat.

Orang melayu tentu saja boleh memilih calon pemimpin dari suku manapun apabila keberpihakkannya dan komitmen nya adalah keadilan untuk semua, demikian juga sebaliknya orang dayak tentu saja dapat memilih calon pemimpin dari suku manapun juga apabila berdasarkan kepada keberpihakan untuk kesejahteraan semua. Kalau saja calon pemimpin yang berasal dari etnis  Dayak maupun Melayu  dapat menunjukkan komitmennya bagi rakyat maka calon pemimpin itu berhak dipilih oleh semua etnis karena komitmennya tadi. Jadi berdasar kepada konsepsi socio – demokrasi maka calon pemimpin yang didaulat rakyat bukan karena identitas etnis yang ada pada diri mereka melainkan keterampilan untuk menyelenggarakan keberesan ekonomi ( socio- ekonomi ) dan menyelenggarakan keberesan politk ( socio – Politik ) dalam sebuah sistem pemerintahan yang baik. Suasana politik di daerah dengan sendirinya akan mengalami transformasi – dari kekuatan negatif sosial politik kepada kekuatan sosial politik yang posistif.

(* Beraktifitas di Lembaga Gemawan)

Politisasi Etnik Dalam Jabatan Politis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *