Produk Desa Terkendala Kemasan dan Legalitas
Trigadu menjadi salah satu desa yang hadir dalam kegiatan Refleksi Sinergitas Para Pihak Dalam Gerakan Pemberdayaan Masyarakat dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang Adil dan Menyejahterakan di Kalbar, yang diselenggarakan oleh lembaga Gemawan, di Hotel Kapuas Palace, Pontianak, Kamis (4/4).
Dalam acara tersebut setidaknya ada 135 desa hadir yang tersebar di Kabupaten Sintang, Kubu Raya, Ketapang, Kayong Utara, Sambas, Kapuas Hulu, Mempawah, Singkawang, Bengkayang dan Sanggau.
Desa Trigadu sendiri berada di Kecamatan Galing Kabupaten Sambas. Untuk mengoptimalkan potensi yang ada di desa, kata Kepala Desa Trigadu, Sugiarto, dia telah mendirikan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) sejak Desember 2016. Hanya saja yang dikelola oleh BUMDes tersebut baru satu produk, yakni dodol pepaya.
Kata dia, produk itu sempat berjalan bahkan jelang hari raya lebaran tahun lalu, banyak sekali pesanan yang datang, tapi pemasaran baru melingkupi sekitar wilayah desa.
Karena produk ini dilihatnya punya potensi yang cukup besar, dia bersama Politeknik Sambas bekerjasama untuk membeli alat pengaduk dodol.
“Jadi alatnya difasilitasi desa, tapi belinya bekerjasama dengan Politeknik Sambas,” ujarnya.
Setelah sempat diolah dan dikelola, di pertengahan jalan pemasaran produk unggulan desanya ini berhenti. Alasannya kemasan kurang menarik serta kebingungan memasarkannya nanti, jika produksi dalam jumlah besar.
Selain kemasan, masalah kita juga soal pemasaran. Artinya, ketika produksinya dalam jumlah banyak, pemasarannya kitakan belum meluas. Apalagi ketahanannyakan tidak tahan lama,” tuturnya.
Padahal legalitas sudah diurus, bahkan sudah dilakukan uji ketahanan oleh Dinas Perdagangan.
“Legalitas sudah kita urus di Dinas Perdagangan Sambas, tapi belum keluar masih,” ungkapnya.
Dia berharap pemerintah setempat, dalam hal ini Kabupaten Sambas bisa memberikan dampingan kepada desanya. Apalagi memandang hari ini banyak sekali potensi yang bisa digarap di sana.
Kata dia, dodol pepaya itu bukan satu-satunya potensi desa yang bisa dikembangkan. Di sana juga punya lokasi strategis yang bisa dijadikan tambak ikan.
“Saya lihat kayak di Mempawah itu, ada sumber daya sungai, kalau bisa ada kolam di tepi sungai gitu, sebenarnya cocok di sana (Desa Trigadu), tapi sekarang belum tergarap karena belum ada dananya,” tutupnya.
Di Kalimantan Barat, setidaknya ada 600 lebih BUMDes yang sudah terbentuk, tapi yang aktif baru sekitar 50 persen atau sekitar 300 an. Hal itu disampaikan oleh Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Provinsi Kalbar, Aminuddin.
“Jadi saya berharap BUMDes yang belum aktif, segeralah digerakkan, termasuk juga desa-desa yang belum terbentuk (BUMDes),” terangnya.
Kata dia, yang menjadi kendala dan masalah dalam pengelolaan BUMDes ini disebabkan keterbatasan Sumber Daya Manusia (SDM). Selain itu, belum intensif pembinaan dari pemerintah setempat, seperti camat, bupati hingga kelompok pendamping.
“Itulah ketika saya masuk ke Pemdes, saya ajak kawan-kawan, yang menangani pemerintah desa, supaya selain aparatur desanya sendiri harus dikuatkan, kawan-kawan pendamping juga harus didorong. Kalau belum ada orang, bantulah,” ujarnya.
Dijelaskan dia, layaknya BUMDes semestinya memiliki kemampuan untuk mengelola potensi di desanya secara ekonomis.
Yang dimaksudnya adalah desa harus mampu mengidentifikasi potensi apa saja yang dimiliki desa, yang bisa dibangun atau dikelola, dengan harapan mampu meningkatkan ekonomi masyarakat.
“Jadi kalau di situ (desa) cocoknya kelola pertanian, ya kelolalah. Begitu juga kalau cocoknya perikanan atau peternakan,” terangnya.
Jika dalam pengelolaannya, desa tersebut terkendala oleh permodalan, maka masyarakat bisa memanfaatkan pihak bank untuk melakukan kerjasama. Tapi, kata dia, dengan syarat lembaga usaha itu sudah benar-benar terbentuk dan seluruh pengurusnya memiliki kemampuan untuk mengelola produk itu. Dengan begitu, lambat laun hal ini dipastikan dia mampu menjadi pemasukan bagi desa.
Dia mencontohkan seperti Desa Kajati, Desa Rasau Jaya Tiga yang membuka tempat pariwisata sederhana, namun memiliki pemasukan yang cukup besar.
“Sederhana sekali, dia buat irigasi, ada empat angsa-angsaan di air itu, tapi itu bisa menghasilkan. Orang naik itu (angsa-angsaan) dalam waktu 15 menit, ya udah, penghasilan mereka bisa Rp30 juta dalam sebulan,” jelasnya.
“Belum lagi parkir, belum lagi yang buka warung. Jadi begitu, alatnya sederhana tapi punya potensi,” tambahnya.
Kata dia, tupoksi pemerintah provinsi adalah mendukung apa yang tidak bisa dilakukan oleh pemerintah kabupaten atau desa. Untuk mengimplementasikannya juga harus mengacu pada kewenangan pihaknya atau menggunakan alternatif hibah. Begitu juga dengan pemerintah kabupaten atau desa, misalnya mengenai penyaluran listrik.
Pengaliran listrik ke desa-desa adalah salah satu kunci bagaimana potensi itu bisa berkembang. Bukan hanya soal penerangan, penyaluran listrik ke pabrik atau gudang, namun jaringan internet pun dipastikan dia mampu masuk, jika desa sudah difasilitasi listrik. Hanya saja, hal ini bukan kewenangan pihaknya.
“Misalnya tower, Telkom itu, kan bukan kewenangan kita,” katanya.
Berangkat dari itu, dia berharap peran perusahaan sekitar desa juga bisa dilibatkan. Setidaknya bisa berbagi listrik jika di perusahaan tersebut memiliki pembangkit listrik sendiri.
“Tolonglah dibagikan ke desa, jadi masyarakat bisa nikmati listriknya,” tegasnya.
Begitu juga dengan strategi marketingnya. Dijelaskan dia, ketika pengelolaan BUMDes masyarakat itu sudah berkembang, di pemerintahan provinsi sudah menyiapkan forum bisnisnya.
Dari forum bisnis inilah yang nanti akan mempertemukan antara pelaku usaha dan produsen. Mereka difasilitasi untuk berkomunikasi dan menjalin bisnisnya oleh Dinas Perdagangan dan Perindustrian. Dengan syarat jelas produksi dan pemenuhan koata yang dibutuhkan.
Mengenai perizinan atau legalitas, pengurusannya sudah lebih cepat sebab saat ini sudah tersedia layanan satu pintu. Semua kepengurusan perizinan sudah berbasis online, hanya saja masyarakat mesti datang ke kantor Pelayanan Terpadu Satu Pintu untuk melakukan verifikasi. Sayangnya saat ini sistem tersebut baru berjalan di wilayah provinsi dan kota Pontianak saja.
“Itu namanya mempercepat pelayanan. Di Kota Pontianak sudah jalan, di provinsi juga sudah jalan. Itu namanya Dinas Pelayanan Terpadu Satu Pintu,” tutupnya.
Untuk mengoptimalkan potensi yang ada di desa, Direktur Lembaga Gemawan, Laily Khainur mengatakan yang paling terpenting adalah membangun kesadaran masyarakat, bahwa sudah waktunya produk lokal saat ini dikembangkan.
Selama menjalankan program pemberdayaan masyarakat dari lembaga Gemawan, kendala yang paling sering dirasa adalah sulitnya membangun jiwa interpreneursip di dalam masyarakat itu sendiri. Sebab, seringkali masyarakat merasa puas dengan apa yang sudah mereka lakukan selama ini, dan tidak ada keinginan untuk mengembangkan usaha atau bisnisnya lagi.
Padahal, sebenarnya di beberapa desa sudah ada produsen yang mau memesan produk lokal dengan jumlah yang besar. Namun, karena jumlah produksi tidak seimbang menyebabkan kuota tidak terpenuhi.
“Misalnya, kayak beras hitam, kita ya sudah coba dipromosikan ke Jakarta dan sudah ada yang mau ambil. Tapi setelah dihitung-hitung costnya itu besar, karena dia berasal dari Kabupaten Sintang,” ujarnya.
Mengenai BUMDes, bagi dia, peran BUMDes menjadi salah satu aspek penting dari penilaian indeks desa mandiri. Sebab, dengan adanya badan usaha tersebut, diharapkan mampu memberikan kontribusi kesejahteraan bagi masyarakat desa itu sendiri.
Karena jika bicara soal BUMDes, artinya juga berbicara terkait dengan tata kelola, partisipasi dan kelembagaan yang dibangun dari modal bersama.
“Itu juga yang paling penting, karena akan berdampak pada aspek sosial,” tutupnya.
Refleksi Gerakan Pemberdayaan Masyarakat dan Pengelolaan SDA