ANCAMAN KERUGIAN: Anggota Lembaga Gemawan, Ismail Karim (kanan) berdiskusi dengan Gapoktan Parit Solo desa Kakap kecamatan Sungai Kakap, KKR, ihwal ancaman kerugian karena irigasi kurang bagus di kediaman Ketua Gapoktan Parit Solo Berseri, Badrun (keempat dari kanan), Selasa (01/12/2015) malam. FOTO: MAHMUDI/GEMAWAN.
Sungai Kakap, GEMAWAN.
Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Parit Solo Berseri desa Kakap kecamatan Sungai Kakap, Kabupaten Kubu Raya (KKR), mengeluhkan pintu air yang kurang bagus hingga mempengaruhi irigasi kurang maksimal. Akhirnya panen padi kurang maksimal.
Demikian satu di antara pokok diskusi yang dipimpin anggota lembaga Gemawan, Ismail Karim didampingi Mahmudi bersama 21 petani di kediaman Badrun, Ketua Gapoktan Parit Solo Berseri, Selasa (01/12/2015) malam. Gapoktan Parit Solo Berseri memiliki enam Kelompok Tani (Poktan).
Awal tahun 2013, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kubu Raya menggalakkan uji coba penanaman padi unggul lokal di areal 18 hektar di lahan milik Gapoktan Parit Solo Berseri. Tujuan pemerintah kala itu, benih hasil olahan sendiri dengan kualitas dan hasil tak kalah saing dengan benih dan bibit produksi pabrikan, akan sangat bermanfaat dan akan menekan biaya operasional.
“Diskusi kita sebagai bagian dari pengawalan implementasi Undang-undang nomor 41 tahun 2009 (UU 41/2009) tentang Perlindungan Lahan Pangan Berkelanjutan,” kata Ismail Karim yang biasa dipanggil Bang Meng.
UU 41/2009, lanjut dia, mengamanatkan perlunya penyelamatan lahan pertanian pangan dari lahan pangan yang sudah ada atau cadangannya yang disusun berdasarkan kriteria, mencakup kesesuaian lahan, ketersediaan infrastruktur, penggunaan lahan, potensi lahan, dan adanya luasan dalam satuan hamparan.
Ketua Gapoktan Parit Solo Berseri, Badrun mengakui kalau laporan yang disampaikan petugas pemerintah kepada atasannya terlalu sering yang bagus-bagus. Misalnya di daerahnya dalam 1 hektar sawah dapat menghasilkan 8 ton lebih gabah kering giling.
“Padahal petani di sini biasa juga hanya dapat 3 ton saja dalam 1 hektar. Kemudian ketika panen raya, 1 kilogram hanya dihargai Rp4 ribuan saja. Biaya dari bibit, menanam, merawat, dan memanen bisa mencapai Rp6 juta. Namun ketika panen raya hanya dapat Rp4 jutaan saja,” kupas Badrun.
Musim kemarau baru saja selesai. Semasa musim kemarau, petani Gapoktan Parit Solo mengaku lahan sawanya diserbu air asin dari laut.
“Masalah pertama, tantangan petani di sini masalah irigasi karena pintu air dibangun kurang bagus sehinga mudah rusak. Dimungkinkan material bangunan pintu air tidak cocok dengan tanah di sini,” keluh Badrun yang diamini para tani di diskusi itu.
Masalah kedua, lanjut Badrun, manajemen pasca panen. Maksudnya setiap panen raya, harga gabah maupun beras sangat jatuh. Imbasnya petani kurang meraih untung.
“Masalah ketiga, hama tikus yang banyak dan susah dibasmi. Racun tikus sangat mahal sekali sehingga menambah biaya produksi petani-petani di sini,” keluh Badrun.
Tantangan lainnya, papar Badrun, harga bibit unggul lokal Rp4 ribu, sedangkan bibit unggul dari luar mencapai Rp70 ribu namun hasilnya sangat maksimal. Anehnya lagi kalau perusahaan perkebunan beli pupuk ribuan ton sangat gampang sekali, sedangkan petani kadang mengalami kelangkaan pupuk. (Gemawan-Mud)