Sektor pertanian di Kalimantan Barat, terutama subsektor tanaman pangan, menghadapi sejumlah tantangan signifikan yang tidak hanya datang dari aspek teknis seperti alih fungsi lahan dan produktivitas yang rendah, tetapi juga dari segi pelaku utamanya, yaitu para petani. Laporan BPS Kalimantan Barat menunjukkan bahwa mayoritas petani tanaman pangan berada dalam situasi yang rentan akibat rendahnya akses terhadap teknologi, modal, serta minimnya dukungan dari pemerintah yang memadai untuk menopang keberlanjutan mereka. Fenomena ini diperparah oleh ancaman krisis iklim yang semakin nyata, memperburuk kondisi para petani kecil yang menjadi ujung tombak ketahanan pangan lokal.
Sensus Pertanian 2023 menunjukkan bahwa lebih dari 50% pengelola usaha pertanian di Kalimantan Barat berusia di atas 45 tahun. Fenomena aging farmer ini menjadi tantangan serius bagi regenerasi sektor pertanian tanaman pangan. Dengan mayoritas petani berusia tua, adaptasi terhadap teknologi pertanian modern menjadi sangat terbatas, sehingga produktivitas pertanian tetap rendah. Sebagian besar petani masih menggunakan metode tradisional, yang tidak efisien dan kurang produktif. Rendahnya tingkat pendidikan dan minimnya pelatihan juga memperburuk situasi ini, menjadikan sub sektor tanaman pangan kurang kompetitif dibandingkan dengan perkebunan kelapa sawit yang lebih terindustrialisasi.
Berdasarkan laporan BPS, hanya sekitar 20% petani di Kalimantan Barat yang sudah memanfaatkan teknologi modern dalam aktivitas pertanian mereka. Petani muda, yang seharusnya menjadi pilar regenerasi sektor ini, memilih untuk bekerja di sektor lain seperti jasa dan manufaktur, yang dianggap lebih menjanjikan secara finansial. Akibatnya, pertanian tanaman pangan dikelola oleh generasi tua yang cenderung stagnan dalam hal inovasi dan penggunaan teknologi.
Kegagalan dalam Meningkatkan Kapasitas Petani
Salah satu isu yang paling mencolok dari laporan BPS adalah rendahnya dukungan pemerintah dalam membantu petani tanaman pangan untuk meningkatkan kapasitas mereka. Meski program-program seperti subsidi pupuk dan bantuan modal sering digaungkan, implementasinya tidak cukup efektif untuk mencapai petani kecil di pedesaan. Banyak petani yang mengeluh tentang keterbatasan akses terhadap modal, teknologi, dan pasar, yang membuat mereka tetap terperangkap dalam siklus kemiskinan.
Pemerintah sering kali lebih fokus pada sektor perkebunan kelapa sawit yang mendatangkan devisa besar melalui ekspor. Hal ini terlihat dari besarnya investasi infrastruktur dan kebijakan yang mendukung ekspansi sawit, sementara petani tanaman pangan dibiarkan dengan fasilitas yang minim. Alih fungsi lahan menjadi salah satu indikator nyata dari ketidakmampuan pemerintah untuk mempertahankan lahan pertanian pangan. Banyak lahan yang sebelumnya produktif untuk tanaman pangan kini dialihfungsikan menjadi perkebunan sawit karena dianggap lebih menguntungkan secara ekonomi, tanpa memperhitungkan dampak jangka panjang terhadap ketahanan pangan lokal.
Selain itu, banyak daerah di Kalimantan Barat masih bergantung pada sistem irigasi alami yang sering terganggu oleh kondisi cuaca ekstrem seperti banjir dan kekeringan. Hal ini membuat produktivitas tanaman pangan menjadi tidak stabil dan sangat rentan terhadap perubahan iklim.
Ancaman Krisis Iklim: Petani Pangan di Garis Depan
Ancaman krisis iklim semakin memperburuk situasi bagi petani tanaman pangan di Kalimantan Barat. Perubahan cuaca yang ekstrem, seperti curah hujan yang tidak menentu, banjir, dan kekeringan,dan kebakaran berdampak langsung pada produktivitas pertanian. Petani padi, misalnya, sering menghadapi kerugian besar akibat banjir yang merusak lahan sawah mereka atau kekeringan yang memperpanjang masa tanam. Serangan hama yang semakin sering akibat perubahan pola cuaca juga menambah beban bagi para petani, membuat hasil panen sering kali tidak sesuai harapan.
Ancaman krisis iklim ini semakin diperparah oleh minimnya kapasitas adaptasi di kalangan petani kecil. Petani dengan sumber daya terbatas sering kali tidak memiliki kemampuan untuk mengadopsi praktik pertanian yang lebih ramah lingkungan atau menggunakan teknologi yang dapat membantu mereka menghadapi perubahan iklim.
Krisis iklim yang berdampak pada sektor pertanian ini seharusnya menjadi alarm bagi pemerintah untuk mengambil tindakan serius. Namun, kebijakan mitigasi perubahan iklim yang dikeluarkan pemerintah sejauh ini lebih banyak berfokus pada sektor energi dan industri, sementara sektor pertanian, terutama tanaman pangan, sering kali terabaikan. Tidak adanya kebijakan khusus yang dirancang untuk melindungi petani tanaman pangan dari dampak krisis iklim menjadi bukti nyata bahwa perhatian pemerintah terhadap ketahanan pangan masih rendah.
Kesimpulannya, petani tanaman pangan di Kalimantan Barat berada dalam posisi yang rentan, baik dari segi usia, keterbatasan akses teknologi, maupun minimnya dukungan pemerintah. Krisis iklim semakin memperburuk kondisi ini, membuat masa depan sub sektor tanaman pangan semakin tidak pasti. Jika tidak ada intervensi serius dari pemerintah, ancaman terhadap ketahanan pangan di Kalimantan Barat akan semakin nyata.
Penulis: Muhammad Yamin Adysa Putra dan Ersa Dwiyana, pegiat Gemawan.