Pontianak (Senin, 1 Oktober 2012)-Pemeriksaan terhadap kepala daerah yang menjadi tersangka korupsi semestinya lebih cepat mulai sekarang. Sebab, Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan aturan yang mengharuskan adanya izin dari presiden sebelum memeriksa kepala daerah yang tersangkut kasus pidana. Berikut kutipan wawancara dari Manager PGG Gemawan Kalbar Iskandar Jailani:
Bagaimana Anda menanggapi keputusan MK tersebut?
Saya pikir dengan dihilangkannya Pasal 36 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka mempermudah Polri dan kejaksaan serta lembaga hukum lainnya untuk mengusut kasus korupsi yang dilakukan kepala daerah tanpa meminta izin kepala negara.
Setuju tidak kalau kepala daerah terlibat dalam hukum, boleh diperiksa tanpa izin dari presiden?
Saya sangat setuju, memeriksa kepada daerah tanpa ada izin presiden. Karena akan mempercepat penanganan kasus korupsi yang selama ini sangat lamban, apalagi jika melibatkan kepala daerah. Selama ini selalu saja alasan kepolisian dan kejaksaan, belum mendapatkan izin dari presiden. Dengan dicabutnya pasal 36 ini, tidak ada lagi alasan seperti itu.
Berarti dengan adanya izin presiden itu, memperlambat penyidik untuk penyidikan?
Ye betul, dengan izin presiden pada tahap penyelidikan dan penyidikan, berpotensi menghambat proses hukum. Karena dalam pasal tersebut secara tak langsung mengintervensi sistem penegakan keadilan. Persetujuan tertulis presiden tidak memiliki rasionalitas hukum yang cukup. Pasalnya, sebagai subjek hukum, kepala daerah harus mendapat perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Apa akibat dari terhambatnya izin dari presiden untuk penyidik?
Menurut saya akibat dari perlunya izin presiden, memperlambat pemeriksaan dan penahanan terhadap kepala daerah yang diduga bersalah. Karena penahanan tersebut dikhawatirkan berpotensi menghambat roda pemerintahan daerah. Karena kepala daerah merupakan bawahan presiden. Tapi sebenarnya saya melihat perlakuan ini hanya untuk menjaga harkat dan martabat yang bersangkutan. (hak)