Oleh: Laili Khairnur
(Direktur Eksekutif Lembaga Gemawan)
Salah satu bentuk ketidakadilan gender yang sangat berdampak kepada perempuan adalah Sub-ordinasi. Artinya perempuan berada pada warga kelas dua sehingga mereka tidak punya akses terhadap pengambilan keputusan dan pembuatan kebijakan.
Hal ini sering terjadi baik dalam kehidupan rumah tangga, masyarakat dan negara. Kenyataan ini bisa dibuktikan ketika menentukan sebuah keputusan, sering seorang isteri akan mengikuti keputusan yang diambil oleh suaminya dalam menentukan sebuah kebijakan rumah tangga mereka.
Dalam masyarakat, perempuan tidak pernah dilibatkan dalam pertemuan-pertemuan yang membicarakan arah perencanaan strategis kebutuhan dan masa depan desa, paling banter mereka hanya mengurusi konsumsi pertemuan.
Tidak berlebihan ketika sebuah kebijakan yang diambil untuk tata kehidupan desa, tidak melibatkan kepentingan dan kebutuhan perempuan yang merupakan penduduk desa tersebut . Sehingga terkesan apa yang didapatkan oleh penduduk perempuan hanya merupakan “hadiah kebaikan hati” dari pihak pengambil keputusan ditingkat desa yang notabene adalah laki-laki.
Pada tingkatan yang lebih luas lagi adalah dalam kebijakan tata kehidupan pemerintahan dan bernegara.
Banyak keputusan dan kebijakan yang berkaiatan dengan publik kadang-kadang sangat merugikan perempuan. Misalnya saja kebijakan KB, Kenaikan BBM dan kebijakan lainnya. Kita tahu bagaimana kampanye pemerintah tentang KB yang katanya untuk menekan pertumbuhan penduduk. Pertanyaannya kenapa ini harus dipaksakan hanya kepada perempuan. Padahal banyak resiko yang harus ditanggung oleh perempuan.
Kenapa kontrasepsi tidak dipaksakan kepada laki-laki yang mungkin saja resikonya akan lebih kecil. Hal ini dikarenakan bahwa kebijakan yang ada sangatlah didominasi oleh state man minded policy.
Bicara kebijakan adalah bicara wilayah kekuasaan, wajar ketika perempuan tidak bisa menentukan sebuah kebijakan karena secara faktual perempuan tidak punya kekuasaan baik formal maupun informal. Fakta dilapangan menyatakan bahwa porsi keterwakilan perempuan ditingkat Legislatif maupun eksekutif yang posisinya pada level pengambil keputusan (decition maker) sangatlah kecil.
Pada Pemilu 1999 ini saja tingkat keterwakilan perempuan secara kuantitatif di DPR-RI hanya mencapai 9, % lebih kecil dibanding pemilu 1997 yang mencapai kira-kira 11%. Keterwakilan ini baru pada tataran kuantitas, kita belum bicara kualitas, artinya secara kuantitas saja perempuan tidak terwakili bagaimana dengan kualitas? Padahal hampir 51 % jumlah massa pemilih pada setiap pemilu adalah perempuan dan sangat ironis pula jumlah yang besar ini hanya terwakili sebanyak 9,% saja.
Hal ini juga bisa kita lihat di Kal-Bar, di DPRD provinsi hanya ada 2 orang perempuan dari 54 jumlah keseluruhan. Apalagi di Kabupaten rata-rata hanya ada 1 sampai 2 orang perempuan anggota legislatif. Belum lagi ketidak terwakilan perempuan dilevel eksekutif. Berdasarkan informasi yang ada tidak ada satupun perempuan Indonesia yang menjadi Gubernur dan hanya ada 5 orang Bupati perempuan dari 331 Bupati yang ada di Indonesia.
Banyak asumsi yang dibangun yang menyatakan bahwa semua salah perempuan sendiri yang tidak mau menduduki posisi tersebut padahal peluang sudah ada. Bahwa sekarang kompetisi secara fair sudah berjalan dan alasan yang lebih parah lagi yang mengatakan tidak ada perempuan potensial yang bisa membuat kebijakan publik.
Orang yang mempunyai cara pandang demikian adalah orang yang tidak objektiv melihat persoalan dilapangan. Mereka tidak melihat bagaimana sebuah perusahaan akan memberlakukan upah yang tidak sama antara buruh laki-laki dan buruh perempuan atau karyawan laki-laki dan karyawan perempuan. Atau sebuah institusi atau lembaga akan memilih seorang laki-laki yang beristri daripada seorang perempuan bersuami dan punya anak untuk menduduki jabatan tertentu.
Atau bagaimana sebuah partai akan selalu meletakkan perempuan pada urutan terbawah dalam mekanisme pencalonan untuk menjadi anggota legislatif. Selalu saja perempuan tidak menjadi prioritas. Padahal bicara ketersediaan perempuan sepertinya kita tidak meragukan lagi bagaimana kemampuan dan kiprah mereka dalam berbagai bidang.
Meskipun secara kuantitas belum ada data yang spesifik apakah jumlah lebih sedikit daripada laki-laki ataukah lebih banyak. Kalaupun jumlah ketersediaan perempuan sedikit kita harus fair melihat penyebabnya. Hal ini tidak terlepas grand policy yang dibuat pemerintahan Rezim Orde Baru.
Mungkin kita masih ingat betapa keterlibatan perempuan dalam dunia politik, ekonomi dan sosial pada zaman sebelum kemerdekaan dan Orde Lama sangatlah besar. Hal ini dikarenakan mereka diberi peluang sebesarnya-besarnya untuk berkiprah diwilayah publik. Kita masih ingat adanya Kongres Perempuan yang hampir bersamaan dengan Sumpah Pemuda. Atau kita tahu bahwa ada gerakan perempuan yang berbasis keagamaan yang juga berkiprah dibidang sosial dan ekonomi, ada Kowani atau kita juga pernah mengenal Gerwani, gerakan perempuan yang massif sampai ke pelosok desa, yang melakukan pendidikan politik untuk perempuan dan aktivitas keperempuanan lainnya.
Namun ketika zaman naiknya Orde Baru (Suharto) maka seluruh potensi politik, ekonomi dan sosial perempuan berusaha untuk dikubur. Hal ini terbukti dengan diberangusnya Gerwani dan dikaitkan dengan persoalan PKI. Kemudian dibuat kebijakan tentang organisasi perempuan menjadi organisasi isteri yang fungsinya hanya melengkapi kegiatan atau organisasi suami.
Perempuan dikembalikan ke wilayah domestik artinya setiap aktivitas perempuan tidak pernah dikaitkan dengan peningkatan kapasitas dan wawasan umum bagi perempuan tapi hanya yang berkaitan dengan masak memasak, olah raga dan sejenisnya. Hal ini hanya satu tujuannya adalah agar perempuan bisa dikontrol dan diperintah.
Karena pemerintah Orde Baru sangat takut dengan gerakan perempuan yang ada sebelumnya yang berani menentang ketidakadilan, penindasan dan hak-hak rakyat kecil. Karena dianggap mengganggu privelege yang dimiliki penguasa pada saat itu dan mengganggu kebijakan konsep-konsep pembangunan yang akan mereka cetuskan. Sehingga selama 32 tahun para perempuan terninabobokan untuk tidak mau berurusan dengan wilayah apa saja yang berbau politis dan strategis.
Seiring dengan bergulirnya waktu maka tumbuh pula kesadaran perempuan untuk merebut kembali hak-hak mereka yang terbiarkan. Kita mengetahui maraknya gerakan perempuan baik yang dipelopori oleh Non Government Organization (NGO), Ormas maupun Civil Society Organization (CSO).
Dan di antaranya tumbuh kesadaran dari beberapa pihak yang mencoba memberikan sebuah perspektif bahwa keberpihakan terhadap perempuan baik yang berkaitan dengan pencegahan kekerasan terhadap perempuan, kesehatan reproduksi, perlindungan hukum dan keterwakilan dalam politik harus dimulai dengan adanya kebijakan negara yang berpihak kepada perempuan dan adanya komitmen politis dari para pengambil keputusan dinegeri ini untuk memberikan porsi yang semestinya kepada perempuan.
Untuk itu maka sudah saatnya menempatkan para perempuan pada wilayah-wilayah pengambil dan pembuat kebijakan strategis tersebut. Hal ini didasari atas asumsi bahwa yang paling paham persoalan perempuan adalah perempuan itu sendiri, yang kedua adalah prinsip keadilan, sudah saatnya penduduk terbesar, jumlah pemilih terbesar mendapatkan wakilnya yang bisa berbicara atas nama perempuan dan untuk kepentingan perempuan dengan porsi yang adil pula.
Karena bicara masyarakat korban dalam konteks ketidakadilan gender adalah perempuan maka sudah sepantasnya perempuan harus lebih diutamakan dan mereka membuat keputusan-keputusan terpenting bagi diri mereka sendiri, karena selama ini yang terjadi hal-hal yang berkaitan dengan persoalan perempuan diputuskan oleh orang-orang yang kadang melihat perempuan hanya sebagai objek semata.
Misalnya dalam konteks keterwakilan di Legislatif beberapa LSM dan beberapa Partai mengusulkan quota 30% untuk keterwakilan perempuan di badan Legislatif dengan mengajukan affirmatif action. Bagaimana alotnya pembicaraan tentang quota tersebut, yang awalnya gagal di cantumkan di UU Partai Politik namun akhirnya bisa dicantumkan di UU Pemilu yang baru. Yang mana alotnya pembicaraan ini disebabkan oleh adanya penolakan dari anggota legislatif dan alasan penolakan beberapa Fraksi sangatlah lucu dan tidak rasional.
Mereka mengatakan kalau quota ini diberlakukan berarti adanya pemberlakuan tindak diskriminatif terhadap laki-laki. Padahal kalau mau jujur alasan pemberlakukan quota ini didasari fakta bahwa dalam politik yang menjadi korban diskriminasi adalah perempuan, mereka hanya dijadikan komoditas politik oleh partai tanpa pernah memikirkan kepentingan dan hak-hak mereka. Dan wakil mereka yang berani memperjuangkan hak-hak mereka sangatlah sedikit.
Artinya dalam konteks ini perempuan adalah masyarakat korban. Jadi bicara keadilan sudah sewajarnya kalau suara masyarakat korbanlah yang menjadi prioritas.
Dengan berhasilnya dicantumkan quota 30% bukan berarti perjuangan politik perempuan selesai, namun ini hanya langkah awal bagi agenda politik perempuan jangka panjang.
Yang terpenting lagi adalah pendidikan politik bagi perempuan agar mereka mampu memperjuangkan hak-hak mereka lewat strategi politik pula. Dan diharapkan mereka tidak lagi dibodohi oleh janji-janji muluk partai yang katanya akan memperjuangkan nasib perempuan padahal hanya menjadikan perempuan sebagai komoditas politik untuk merebut suara apalagi menghadapi Pemilu 2004 ini partai politik akan mengeluarkan semua jurus bujuk rayu mereka.
Untuk itu usaha mempercepat keterwakilan perempuan dalam ranah politik baik formal maupun informal harus dilakukan baik berupa penyadaran hak-hak politik perempuan bagi para perempuan sendiri dan masyarakat, meningkatkan daya kekritisan dan wawasan perempuan, mendorong perempuan untuk berani mengambil posisi-posisi strategis serta mendorong adanya perubahan kebijakan yang mendorong keterwakilan perempuan dalam politik menjadi sesuatu yang niscaya.
Semoga dengan banyaknya keterlibatan perempuan dalam dunia politik mampu merubah wajah perpolitikan di Indonesia menjadi lebih baik. Karena akan adanya keseimbangan antara perilaku politik yang maskulin dan perilaku politik yang feminim.