Oleh: Ireng Maulana *

Saat ini, identitas kelompok telah di manfaatkan sedemikian jahatnya sehingga melulu  dipergunakan untuk menguatkan eksistensi kepentingan. Identitas kelompok coba dihidupkan dengan satu orientasi mengerikan, yaitu kebenciaan. Padahal, identitas kelompok adalah kemurniaan jati diri dari individu-individu yang berkumpul didalamnya. Mereka adalah orang-orang yang memahami dan menjalankan hidup dalam kebaikan tradisi, kepatuhan pada nilai dan kesetiaan pada kebajikan, takut melanggar sesuatu yang di nilai salah dan memiliki rasa kasih kepada sesame sesuai norma. Melalui cara hidup bersendikan kearifan itulah mereka memperoleh identitas sebagai kelompok yang bermartabat, sebagai orang-orang yang memiliki kehormatan. Pada dasarnya, identitas kelompok hidup dalam perilaku orang-orang yang sederhana dan tanpa arogansi. Oleh karena itu, identitas kelompok adalah suatu kebanggaan simbolik yang di topang oleh kehormatan dan martabat diri sekaligus. Orang-orang menjadi bangga menyandang identitas dari sebuah kelompok atau komunitas oleh karena nilai-nilai kebaikan yang melekat di diri mereka. Penulis percaya, perdamaiaan mudah dan dapat di bangun dalam situasi seperti ini.

Namun, kebanggaan tadi dapat berubah menjadi sesuatu yang ekstrim ketika mulai di campuri oleh “tukang klaim”- para elite ‘nakal’. Karena melemahnya akses terhadap kepentingan, sumber daya dan kekuasaan, identitas kelompok adalah penopang efektif dan sekedar alat. Mereka menggunakan identitas kelompok untuk melumpuhkan setiap pesaing ataupun penghalang. Phobia, kekhawatiran dan takut kalah dalam persaingan kepentingan, menyebabkan identitas kelompok harus di rekayasa untuk memperkuat posisi mereka yang rapuh, dengan cara membangkitkan sentimen dan mempermasalahkan semua titik perbedaan yang ada. Dari sini, pertentangan biasanya akan berawal dari hal- hal yang sangat sederhana dan remeh. Dalam permainan para perekayasa, identitas kelompok dipakai untuk menganjal, mengintimidasi, menjatuhkan siapapun bahkan melibas apapun dalam segalam macan bentuk prakteknya. Identitas kelompok dianggap sebagai garansi sehingga mereka merasa boleh melakukan apa saja demi menguatkan eksistensi, Oleh karena alasan keserakahan inilah banyak orang harus berlindung dibalik identitas kelompok, membuat mereka merasa lebih kuat dan orang lain berada dalam ketakutan. Dalam situasi seperti ini, penulis bertanya, mungkinkah perdamaiaan dapat di bangun?

Mari kita lihat dan perhatikan dengan seksama  lingkungan tempat kita hidup dan berkembang hari ini, bukankah identitas kelompok sangat dekat dengan kekerasan, amuk dan permusuhan?. Kebanyakan dari mereka mudah marah dan cepat naik darah. Hubungan antara sesama dan interaksi kita di hampir setiap lapangan kehidupan, sebagiaan besar, sesungguhnya telah masuk dalam pengelompokkan identitas yang menakutkan, pemisahan atas dasar prasangka, dan curiga. Identitas justru memiliki tendensi untuk semakin menguatkan arogansi. Orang-orang yang bermain dalam situasi ini sudah terlanjur merasa aman dan nyaman karena terbukti memberikan banyak keuntungan, berlapis-lapis kemudahan, dan luasnya akses untuk mendapatkan hampir apa saja. Mau tidak mau keadaan seperti ini harus dipelihara sehingga terus memberikan keuntungan. Ancaman kekerasan adalah bisnis baru. Akibatnya, mereka lebih cenderung menggangap orang lain sebagai lawan, penghalang, penghambat dan sekaligus membahayakan sehingga harus di lumpuhkan, dipatahakan dan di kecilkan keberadaannya. Tidak ada akses untuk kelompok yang berlainan identitas karena mereka adalah musuh dan harus di tindas. Dampak lain dari arus kebenciaan ini telah memotivasi elite-elite yang saling berseberangan untuk membangkitkan solidaritas kelompok dalam bentuknya yang paling destruktif. Perlu penulis sampaikan, dalam situasi sentimen seperti ini, masyarakat kembali diperdaya untuk membenarkan kekeliruaan dan mengatasnamakan identitas kelompok. Setiap sisi perbedaan yang memang sudah berbeda sengaja di pertajam dengan harapan dapat melukai pihak yang berseberangan. Mengapa ini harus di lakukan ? Karena eksistensi identitas kelompok yang berasal dari rekayasa elite memang hidup, berkembang dan tumbuh dari rasa takut orang lain. Satu-satunya cara untuk memperlihatkan kekuatan mereka hanya dengan membuat kekacauan dan situasi yang tidak damai. Tampak kuat dalam permusuhan!. Mereka akan di kenal, ditakuti dan dirangkul kekuasaan di kemudiaan hari sebagai akibat dari ‘kenakalan’ yang telah mereka perbuat. Pendek saja penulis katakan, ini hanya lah permainan untuk menguatkan eksistensi semata dan sama sekali tidak bertujuan untuk mempertebal martabat identitas kelompok yang mereka sandang.

Mereka mengintimidasi perdamaian, mereka sandera ketenteraman dan terus bersandiwara dalam dua wajah: mendengungkan jargon damai dan merusaknya sekaligus. Identitas kelompok sengaja di pasang sebagai pengatur tensi antara keadaan mencekam dan keharmonisan. Sebagiaan dari kita sesungguhnya tidak benar-benar siap merancang ketentraman karena identitas kelompok masih saja di rekayasa dalam situasi standar ganda yang sarat dengan kepentingan di luar upaya-upaya membangun perdamiaan. Padahal, identitas kelompok pada dasarnya memiliki potensi untuk merajut perdamaian karena  nilai dan kearifan yang melekat pada ke identitasan tersebut.

Perdamaian tidak akan rumit apabila berada di tangan masyarakat biasa dan awam karena perdamaian adalah sesuatu yang memang inklusif, sederhana dan tanpa kesan apapun untuk di politisasi, bagi masyarakat awam perdamaiaan menjadi sesuatu yang lumrah dan sudah biasa di raih. Akan tetapi, perdamaian menjadi payah, ruwet dan kompleks  bahkan sesuatu yang eksklusif, mewah dan tidak sembarang orang bisa mengaksesnya atau membicarakannya. Padahal semua orang berhak penuh untuk hidup dan bicara damai. Dalam alur pikir elite perdamaian adalah komoditi mahal, memiliki harga tinggi, penuh rekayasa, klaim dan melibatkan banyak tokoh dari semua unsur sosial. Dapat penulis katakan ini sebuah paradoks, yaitu di satu sisi, kebanyakan dari mereka- para elite kelihatannya takut kalau perdamaian tercabik-cabik. Namun, di sisi lain, orang-orang ini pada saat yang sama pula sebenarnya begitu bersemangat memicu rasa tidak aman dan ketakutan melalui simbol dan jargon identitas kelompok yang mereka motori.

Kebanyakan dari kita  sepertinya hanya tertuju kepada tindakan untuk mengatasi potensi kekacauan yang sudah di depan mata. Padahal, kita belum sepenuhnya membuka kepalsuaan dua muka yang kita miliki. Perdamaiaan sejati semestinya dapat di raih apabila sebagian besar dari mereka-elite mau berhenti untuk mengeksploitasi identitas kelompok, tidak menjadikan simbol ini sebagai posisi tawar dalam meraih kepentingan. Berhenti menjual identitas kelompok sekarang!.

Akhirnya, Perdamaiaan statis yang cenderung menggunakan pendekatan meredam aksi dan potensi kekacauaan mungkin saja bermanfaat untuk situasi jangka pendek. Oleh karena itu, kita perlu perdamiaan dinamis, yaitu kesadaran mengenai suatu masyarakat yang mau terbuka, tanpa lapisan artifisial berbentuk kepejalan identitas kelompok yang menghalangi fitrah kita semua sebagai manusia yang ingin hidup damai dan tentram.

(* Penulis Aktif di Lembaga Gemawan)

Perdamaian Semu dan Palsu Model Kalimantan Barat

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *