“Pemerintah abai, korporasi merajalela, nasib rakyat terbengkalai”
‘Sengkarut investasi perkebunan sawit
di Kabupaten Sambas dan Bengkayang’
Perkebunan kelapa sawit jelas merupakan sektor andalan di Kalimantan Barat jika dilihat dari perkembangan perijinan yang diberikan pemerintah daerah kepada perusahaan perkebunan, khususnya paska kenaikan harga crude palm oil (CPO) dipasar dunia pada tahun 2005. Sampai tahun 2010,  tercatat lebih dari 4,9 juta hektar lahan diberikan kepada 326 perkebunan kelapa sawit. Dibanding dengan luas penguasan lahan oleh perkebunan kelapa sawit pada tahun 2004, dapat disimpulkan bahwa tingkat ekspansi perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat mencapai 400,000 hektar per tahun.
Dengan sistem perkebunan kelapa sawit yang monokultur, “menghalalkan” clear cut serta berpotensi menguasai lahan lebih dari 160 tahun, maka tidak heran jika sejak awal tahun 2005, muncul kekhawatiran besar  dari kelompok masyarakat sipil atas dampak negatif ekspansi perkebunan kelapa sawit terhadap keberlangsungan hidup hutan dan masyarakat lokal di Kalimantan Barat. Kekhawatiran itu kemudian terbukti dengan munculnya 120 konflik baru antara masyarakat lokal dengan perkebunan kelapa sawit di 8 Kabupaten di Kalimantan Barat. Sementara organisasi internasional seperti WWF-Sarvision mencatat “anomali” deforestasi di Kalimantan Barat sebesar 916,492 hektar periode 2004-2008 dengan perkebunan kelapa sawit sebagai penyumbang utama.
Beberapa penelitian oleh Organisasi Non Pemerintah seperti; Greenpeace dan Friends Of the Earth dalam kasus Golden Agri Resource/Sinar Mas di Ketapang dan Kapuas Hulu, Wilmar International di Sambas maupun IOI di Ketapang kembali menegaskan bahwa ketidakpatuhan perusahaan perkebunan terhadap aturan perundang-undangan seakan puncak gunung es dari aktivitas ilegal yang dilakoni perusahaan dengan persetujuan pemerintah daerah dan ketidakpedulian pemerintah pusat.
Bentuk ketidakpatuhan tersebut mulai dari pembalakan liar dalam proses pembersihan lahan, pendudukan ilegal kawasan hutan, aktivitas tanpa persetujuan AMDAL sampai pada perampasan lahan masyarakat lokal.
Pada masyarakat localnya sendiri banyak menimbulkan dampak akibat pengembangan perkebunan kelapa sawit, antara lain :
1. Pola pengembangan perkebunan kelapa sawit telah menghancurkan sumber-sumber ekonomi masyarakat yang telah ada.
2. Memunculkan ketergantungan dan penguasaan masyarakat oleh pengusaha, yang secara nyata juga telah menyebabkan hancurnya tatanan kehidupan dan pranata social budaya komunitas-komunitas masyarakat local.
3. Proses pelepasan lahan kerap kali menimbulkan konflik yang berkepanjangan, baik secara vertikal maupun konflik horizontal.
Dampak yang ditimbulkan ini bukannya membuat pemerintah berfikir ulang tentang pengembangan perkebunan kelapa sawit seraya mencari alternative penyelesaiannya, melainkan memunculkan potensi berbagai persoalan yang baru. Sebagai gambaran misalnya, sengketa lahan antara PT. Wilmar Sambas Plantation/WSP dengan masyarakat Desa Senujuh dan PT. Agro Nusa Investama dengan masyarakat Dusun Sajingan Kecil Desa Semanga’ Kecamatan Sejangkung diselesaikan lewat mediasi yang difasilitasi oleh Compliance Adviser Ombudsman; sebuah lembaga pengawas atas investasi yang menggunakan dana kredit dari IFC Bank Dunia. Fakta tersebut jelas menunjukkan betapa pemerintah tidak berdaya bahkan abai menjalankan fungsinya guna memediasi kepentingan warga masyarakatnya dengan perusahaan yang akan berinvestasi. Sebab sangat ironis ketika pemerintah menyatakan bahwa investasi perkebunan kelapa sawit dapat meningkatkan PAD, menekan angka pengangguran, serta meningkatkan pertumbuhan ekonomi, tapi disisi lain pada kenyataannya telah mengorbankan warga masyarakatnya sendiri.
Contoh faktual yang sangat ganjil misalnya terjadi pada kasus  sengketa lahan yang cukup panjang antara masyarakat Desa Semunying Jaya Kecamatan Jagoi Babang dengan PT. Ledo Lestari/Duta Palma Group di Kabupaten Bengkayang. Setelah Izin Lokasi PT. Ledo lestari berakhir pada tanggal 20 Desember 2007, atas usulan masyarakat kemudian Bupati Bengkayang mengeluarkan SK No 30A Tahun 2010 Tentang Penetapan Kawasan Hutan Semuying Jaya Sebagai Kawasan Hutan Yang Dilindungi Untuk Sumber Benih  Masyarakat Adat Semunying Jaya seluas 1.420 Ha pada tanggal 2 Februari 2010. Akan tetapi, pada tangal 21 Juni 2010 Bupati yang sama juga mengeluarkan Izin Lokasi baru melalui SK No 283.C Tahun 2010 kepada PT. Ledo Lestari seluas 9000 Ha pada lahan yang di dalamnya termasuk 1.420 Ha Pada penetapan kawasan hutan Semunying Jaya sebagai kawan hutan yang dilindungi sebagai untuk sumber benih yang telah dicadangkan sebelumnya untuk masyarakat adat Semunying Jaya. Lain lagi dengan sengketa lahan antara masyarakat Desa Sentaban Kecamatan Sajingan Besar Kabupaten Sambas dengan PT. KMP yang masih berlarut-larut hingga sekarang. Padahal masyarakat hanya menginginkan kebun karet dan meminta perusahaan agar mau meng-enclave/mengeluarkan lahan kebun masyarakat dari wilayah konsesi perusahaan. Sebagaimana juga yang dialami warga masyarakat Desa Kaliau Kecamatan Sajingan Besar dengan PT. Kaliau Mas Perkasa/KMP. Kalaupun akan dibangun skema kemitraan inti-plasma, tetap saja masyarakat dalam posisi tidak dapat ikut berunding dan memutuskan model kerjasama kemitraan dengan segala konsekuensi hak dan kewajiban yang melekat. Sehingga dalam proses penentuan model dan bentuk kerjasama, hubungan para pihak, koperasi yang mewadahi masyarakat, serta tanggung jawab masing-masing pihak, masyarakat dalam posisi lemah ketika berhadapan dengan perusahaan. Padahal pembelajaran menarik terjadi dalam penyelesaian sengketa lahan antara masyarakat Desa Mekar Jaya Kecamatan Sajad dengan PT. Agro Wiratama (Musim Mas Group/anggota RSPO). Dalam kasus ini masyarakat menggunakan berbagai peluang yang ada diantaranya mendesak pemerintah daerah untuk menyelesaikan kasus sengketa lahan mereka serta menggunakan mekanisme RSPO tentang New Planting Prosedure bagi perusahaan anggota RSPO yang akan membuka kebun baru. Atas usaha masyarakat ini, akhirnya direspons oleh PT. Agro Wiratama yang meng-engklave atau mengeluarkan lahan masyarakat dari IUP seluas 1.478 Ha. Namun masalahnya belum tuntas secara keselurahan karena masih ada tapal batas yang tumpang tindih. Lagi-lagi hal ini disebabkan oleh ketidak pedulian PEMDA dalam merespon masalah-masalah yang dihadapi warga di lapangan.
Selain fakta-fakta empirik di atas, tidak sedikit juga kasus sengketa lahan antara masyarakat dengan perusahaan perkebunan sawit yang belum terselesaikan bahkan berujung pada tindakan kriminalisasi terhadap masyarakat yang berjuang mempertahankan tanahnya. Seperti konflik lahan antara masyarakat Dusun Semayong Desa Sungai Kumpai dengan PT. Pattiware I yang mengakibatkan 3 (tiga) orang warga desa ditahan dan didakwa di Pengadilan Negeri Sambas. Padahal status Izin Lokasi PT. Pattiware I telah berakhir sejak 6 Februari 2011. Akan tetapi Pemerintah Kabupaten Sambas cenderung tutup mata atas potensi konflik yang akan timbul di kemudian hari.   Sementara disisi lain, hal tersebut diperparah oleh situasi objektif dimana perusahaan yang bersengketa dengan masyarakat bukan anggota RSPO ataupun peminjam dana IFC-Bank Dunia. Sehingga ketika pemerintah abai dari tanggung jawabnya memediasi benturan kepentingan masyarakat dengan kegiatan investasi perkebunan sawit, ternyata juga tidak tersedianya saluran penyelesaian masalah yang dapat dilakukan dengan menggunakan instrument internasional. Apalagi  perkembangan terbaru seperti di Kabupaten Sambas, ternyata ada klaim dari pihak yang mengaku ahli waris Kerajaan Sambas atas lahan-lahan yang selama ini telah menjadi sumber produksi masyarakat di kampung-kampung.
Persoalan-persoalan faktual tersebut jelas menggambarkan bahwa; ‘masyarakat yang terkena dampak ekspansi perkebunan sawit, berada dalam posisi yang tidak berdaya menghadapi kekuatan modal korporasi ditengah abainya peran pemerintah dalam menjalankan fungsi fasilitasi dan mediasi benturan kepentingan antara masyarakat setempat dengan kegiatan investasi perkebunan kelapa sawit’.
Oleh karena itu, kami yang berkumpul dalam kegiatan Konsolidasi Mayarakat Yang Terkena Dampak Ekspansi Perkebunan Sawit di Kabupaten Sambas dan Bengkayang pada tanggal 7-8 Mei 2011, ingin menegaskan hal-hal sebagai berikut :
1. Bahwa Pemerintah, khususnya di tingkat Kabupaten tidak lagi menerbitkan izin kepada perusahaan perkebunan sawit secara serampangan yang kerap kali mengorbankan kepentingan masyarakat setempat.
2. Bahwa propaganda untuk meningkatkan PAD, menekan angka pengangguran, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, serta mendorong pertumbuhan ekonomi daerah sebagai alasan dibuka-lebarnya kran investasi perkebunan sawit adalah menyesatkan tanpa ada pembuktian yang kongkrit.
3. Mengevaluasi dan menertibkan izin-izin yang telah di keluarkan namun masih menimbulkan permasalahan seperti tumpang tindih dengan kawasan hutan, lahan komunal masyarakat, izin pada kawasan yang sama untuk lebih dari satu peruntukan
4. Pemerintah Kabupaten harus pro-aktif dalam menyelesaikan sengketa lahan antara masyarakat dengan perusahaan perkebunan sawit, misalnya memediasi penyelesaian tapal batas, kompensasi atas perampasan lahan dan tanaman warga, mengakomodasi keinginan warga yang menolak perkebunan sawit, memfasilitasi kerjasama pola kemitraan, serta melakukan pengawasan yang ketat terhadap kegiatan investasi perkebunan sawit
5. Mendesak kepada perusahaan untuk mematuhi aturan hukum yang berlaku, hak-hak masyarakat, instrument-instrumen hukum internasional serta bagi perusahaan anggota RSPO untuk mematuhi prinsip dan kriteria, kode etik, statuta dan keputusan eksekutif board RSPO
Minggu, 8 Mei 2011
Kami yang bertanda-tangan,

NO

N a m a

Desa

Kecamatan

Kabupaten

1

Petrus Atus

Kaliau

Sajingan Besar

Sambas

2

Syar’ie

Semangak

Sejangkung

Sambas

3

Sumardi

Santaban

Sajingan Besar

Sambas

4

Sarimi

Sungai Kumpai

Teluk Keramat

Sambas

5

Kumaini

Semata

Tangaran

Sambas

6

Azim Kitung

Mekar Jaya

Sajad

Sambas

7

Jamaludin

Semunying Jaya

Jagoi Babang

Bengkayang

8

Sahrial

Serikat Tani Serumpun Damai

Sambas

“Pemerintah abai, nasib rakyat terbengkalai”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *