SIMULASI PEMDES: Peserta Kelas I Angkatan I Sekolah Desa Gemawan dibagi beberapa kelompok untuk simulasi Musdes, susun RPJMDes, RKPDes, hingga APBDes di kompleks kantor Swandiri Institute (SI) Pontianak, Sabtu (17/12/2015). FOTO: M ZUNI IRAWAN/GEMAWAN.
Pontianak, GEMAWAN.
Peserta Kelas I Angkatan I Sekolah Desa Gemawan mengungkapkan beberapa aset bekas Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) ada yang menopang pendapatan asli desa (PADes). Aset ini bersama aset lainnya yang menopang PADes, satu di antaranya akan dikelola melalui Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).
Rancang bangun BUMDes terhadap aset desa yang menghasilkan duit untuk Pemerintah Desa (Pemdes), bertujuan supaya pemasukan dan pengeluaran dari pengelolaan aset desa dipercayakan ke manajemen yang lebih baik dan manajer yang bertanggungjawab pula.
“Unit BUMDes boleh mengelola aset desa,” kata Sugeng Yulianto, Deputi Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) dan Kelembagaan Institute for Research and Empowerment (IRE) Yogyakarta. Kehadiran peneliti dari IRE ini menjadi dosen tamu di Kelas I Angkatan I Sekolah Desa Gemawan yang dihelat di ruang sidang Swandiri Institute (SI) Pontianak, Jumat (18/12/2015).
Sugeng Yulianto, didampingi Peneliti Muda IRE Nurma Fitrianingrum, serta peneliti pendamping dari Kabupaten Kubu Raya (KKR) yang juga mahasiswi Fakultas Pertanian Universitas Tanjungpura (Faperta Untan) Pontianak, Dianti Widianingsih.
“Aset atau kekayaan desa itu dimiliki Pemdes. Kalau di Jawa ada macam-macam, seperti tanah desa, tanah bengkok, lapangan desa, gedung serbaguna desa, dan lain-lain. Kalau di sini ada tambatan perahu desa, tempat pelelangan ikan (TPI), ada pasar desa, dan lain-lain. Kami ingin belajar, sebenarnya model pengelolaan aset desa ini seperti apa di Provinsi Kalbar ini,” kata Sugeng Yulianto.
“Kami meneliti ke desa Sungai Kakap, KKR, rupanya ada sebagian aparatur masih bingung aset desa mereka itu apa? Bahkan belum punya definisi tentang aset desa. Sebenarnya ada tanah desa, ada Pasar Desa Sungai Kakap tapi tidak memiliki bagi hasil, rupanya dikelola supra-desa atau pemerintahan yang lebih tinggi dari desa,” kupas Sugeng Yulianto.
Sebenarnya, lanjut dia, undang-undang nomor 6 tahun 2014 (UU 6/2014) tentang Desa, banyak berbicara aset desa, namun belum banyak memahaminya. Ketika aset desa mampu dikelola dengan baik, mampu perkuat pemasukan bagi kas desa.
Seperti air terjun Sri Gethuk di desa Wisata Bleberan, Gunung Kidul, Yogyakarta. Masih di desa Bleberan Yogyakarta, ada Gua Rancang Kencono merupakan gua yang sarat cerita mulai dari jaman prasejarah hingga masa-masa perjuangan Laskar Mataram. Sebuah pohon klumpit berusia ratusan tahun menjadi saksi bisu beragam kisah yang tercipta di gua ini.
“Desa Wisata Bleberan Yogyakarta berhasil raih pendapatan Rp1 miliar lebih dalam setahun. Ini contoh pengelolaan aset desa yang cukup berhasil. Kita yakin di Kalbar ini akan lebih baik jika mengelola aset desa yang sederhana namun dikelola dengan baik demi kesejahteraan warga desa juga,” saran Sugeng Yulianto.
Sekretaris Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Satai Lestari kecamatan Pulau Maya, Kabupaten Kayong Utara (KKU), Abdul Syukur bin Haji Ahmad mengakui kebanyakan aparatur desa belum memahani aset desa secara komprehensif.
“Aset dari program PNPM, seperti Simpan Pinjam Perempuan (SPP), gedung serbaguna, jalan, mesin molen, diserahkan menjadi aset desa. Kemudian lima desa Kkecamatan Pulau Maya, sudah membuat peraturan kerjasama desa (PKD) melalui musyawarah antar desa di kantor Camat Pulau Maya. Ditindaklanjuti musyawarah desa (Musdes) di masing-masing desa. Hasilnya sepakat membentuk BUMdes,” kata Abdul Syukur.
Pada awalnya, lanjutnya, kelima desa di kecamatan Pulau Maya (Satai Lestari, Tanjung Satai, Kemboja, Dusun Besar, dan Dusun Kecil) hanya membentuk satu BUMDes mengelola semua aset eks PNPM.
“Namun adanya semangat tiap desa ingin membentuk BUMDes, menyangkut perekrutan karyawan, pemilihan direktur hingga manajer, akhirnya masing-masing desa sepakat akan membentuk BUMDes sendiri-sendiri dan saat ini masih dalam proses,” jelas Abdul Syukur.
Diakuinya, pengelolaan aset desa di desanya belum berjalan maksimal. Terutama belum mempunyai badan usaha. Ditambah lagi di beberapa desa di KKU kadang terjadi komplain antara Pemdes dengan pemerintah kabupaten (Pemkab). Alasannya aset di desa yang dibangun Pemkab maka menjadi aset Pemkab.
“Rancunya pemahaman ini Pemdes juga takut salah karena memang belum memahami hukum-hukum, kalau orang dari Pemkab orang yang paham hukum,” timpal Abdul Syukur.
Ketua BPD Sungai Kupah kecamatan Sungai Kakap, Kabupaten Kubu Raya (KKR), desanya memilki aset 2 hektar kebun dikelola langsung ke desa. Hasil kebun dijual, keuntungannya masuk kas desa.
“Hasilnya kita membangun banyak jembatan desa. Tahun 2016, kita juga akan membangun tiga jembatan lagi. Kita juga punya aset tiga lapangan sepakbola. Satu berstandar internasional dan dua berstandar nasional,” kata Kadri.
Akan tetapi, keluhnya, ada oknum Pak Haji di sana mengklaim lapangan sepakbola internasional miliknya. Padahal tanahnya sudah dihibahkan dan dikelola desa cukup lama.
Pulau Panjang, bermasalah dengan Kabupaten Mempawah yang dulu bernama Kabupaten Pontianak. KKR sendiri merupakan pemekaran dari Kabupaten Pontianak dulu. Walaupun pulau itu tak ada penghuni namun kebetulan ada penanaman gabon. Kades lama, jual pulau itu ke pengusaha, dan diberikan ke masyarakat cuma-cuma karena ingin terpilih kembali.
“Saya salah satu penggerak untuk mengambil pulau itu lagi. Dulu sudah diPansuskan. Jadi empay kepala desa (Kades) harus bertemu, yaitu Kades Wajok Hilir dan Kades Jungkat yang adai Kabupaten Mempawah, Kades Sungai Kupah dan Kades Sungai Rengas,” tutur Kadri.
Berdasarkan data Kabupaten Mempawah, dulu pulau itu masuk di dalam peta administrasi kecamatan Sungai Kakap, KKR. Setelah terjadi pemekaran KKR, sebagain pulau diklaim Kabupaten Mempawah. “Semoga masalah ini lekas selesai,” doanya.
Desa Sungai Kupah, tidak memiliki pasar desa, sebab sudah ada pasar desa di desa Jeruju Besar yang jaraknya hanya 6 km.
“Kalau kami bangun pasar maka tidak efektif karena sudah ada pasar desa di desa Jeruju Besar. Dulu saya sekolah SMP hanya jalan kaki ke desa Jeruju Besar,” ungkap Kadri.
Ia menerangkan di desanya menurut info akan ada Jembatan Kapuas III, kemudian jalan lingkar penopang Kota Pontianak. Di desanya ada sekitar 100 lebih tambatan perahu dan dikelola pribadi karena di tanah pribadi warga. TPI ada dua hanya saja kayaknya model milik pribadi karena tanah pribadi.
“Menyangkut BUMdes masih kita rundingkan karena kita sedang mempelajarinya,” timpal Kadri.
Kepala Urusan (Kaur) Pemdes Sungai Kelambu kecamatan Tebas kabupaten Sambas, Firdaus mengatakan desanya memiliki aset desa pasar desa, tarub (tenda) panjang 24 meter, dan panggung desa. Harga sewa untuk warga desa sewa per 4 meter dan satu puntung papan Rp175 ribu.
“Desa menunjuk orang untuk mengelola. Namun kadang-kadang pemasukan ke kas desa kurang maksimal, sebab hasil sewa itu untuk perbaikan maupun perawatan. Sampai papan setiap selesai dipakai pasti ada perbaikan atau pergantian,” jelas Firdaus.
Aset desa Sungai Kelambu lainnya, lanjut Firdaus, ada pasar desa ada 15 pintu dengan ukuran 3×4 meter, panjang 18 meter. Pemasukan perbulan tiap pintu Rp15 ribu rupiah perhari dan lebih murah kalau bayarnya perbulan atau pertahun. Namun sampai sekarang, jumlah keseluruhan pertahun belum disurvei.
“Kemudian ada set Ditambah TPI dan lapangan sepakbola untuk masyarakat. Kalau memang dengan membikin BUMdes dapat meningkatkan PAdes kita siap membikin namun sedang mempelajari caranya,” timpal Firdaus.
Aparatur desa Sekuduk desa Sejangkung kabupaten Sambas, Gustomi mengatakan aset desa yang bagus penambangan pasir di sungai yang melintasi desanya. Ia mengakui penambangan pasir bukan barang yang terbarukan karena bisa mengganggu kelestarian lingkungan. Namun desa-desa lain melakukan penambangan pasir, akhirnya desanya ikut juga. Kalau mau ditertibkan kita siap namun desa lain juga ditertibkan.
“Dikarenakan desa-desa lain mengambil pasir-pasir di sungai, terpaksa desa Sekuduk ikut mengambilnya. Setahun desa kita dapat Rp300 jutaan. Dananya itu digunakan empat bidang, untuk pembangunan fisik, kegiatan keagamaan, kegiatan sosial, dan penguatan pendidikan. Alhamdulillah terlaksana dengan bagus,” kata Firdaus.
Aset-aset desa Sekuduk lainnya, tambah Firdaus, benda tak bergerak seperti Simpan Pinjam Perempuan (SPP), jalan desa, Poliklinik Desa (Polindes).
“Desa Sekuduk jauh dari perkotaan namun melalui PNPM yang jalan di desa kami dari tahun 2003 sampai 2014, hasil kerja PNMPM memang bagus,” sanjung Firdaus.
Dikatakannya tahun depan desanya akan membuat jalan alternatif untuk menghubungkan jalur ke jalan nasional namun baru proses 400 meter. Desa Sekuduk kerjasama dengan desa-desa lainnya sehingga sambung-menyambung, lebarnya 15 meter hibah dari masyarakat. Memang ada masyarakat yang tidak setuju, namun demi membuka keterisoliran perjuangan ini terus berlanjut.
“Tahun 2016, desa kami ada berencana membentuk BUMDes namun pelaksanaannya kami belum paham,” timpalnya.
Beberapa aparatur desa yang mengikuti Kelas I Angkatan I Sekolah Desa Gemawan juga menyampaikan keinginannya untuk belajar membentuk, menjalankan, dan mengawasi BUMDes. Apalagi dipresentasikan di desa Karang Rejek, Gunung Kidul, DI Yogyakarta mampu membentuk BUMDes pengadaan air bersih bagi warga desanya. Daerah yang dulunya susah air bersih itu, kini warganya dipasok BUMDes-nya. Bahkan menurut laporan kinerja manajemen dan kepuasan konsumen, lebih baik daripada PDAM Yogyakarta. (Gemawan-Mud)