Gugatan uji materi Pasal 21 dan 47 Ayat 1 dan 2, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan dikabulkan Mahkamah Konstitusi (MK). Gugatan tersebut diajukan oleh empat petani yaitu, Japin, Vitalis, Andi, Ngatimin alias Keling.
“Mengabulkan pemohonan para pemohon,” kata Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD saat membacakan amar putusan di gedung MK, Senin (19/09).
MK menilai, Pasal 21 dan 47 UU 18/2004 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sehingga harus dibatalkan.
Pasal 21 mengatur tentang larangan menggunakan tanah perkebunan tanpa izin karena tindakan itu melanggar hak atas tanah orang lain. Hak tersebut meliputi hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai yang dilindungi UU Nomor 5 Tahun 1960 jo PP Nomor 40 Tahun 1996 dan PP Nomor 24 Tahun 1997.
“Rumusan Pasal 21 tidak hanya menekankan pada delik formil, tetapi juga delik materil karena mempertimbangkan akibat yang ditimbulkan dari perbuatan yang dilarang tersebut,” kata Mahfud.
Mahfud melanjutkan, Pasal 47 tidak bisa dilepaskan dari Pasal 21. Sebab, berdasarkan penafsiran sistematis siapapun yang melanggar unsur-unsur Pasal 21 baik disengaja atau karena kelalaiannya dapat dituntut pidana sesuai Pasal 47 yang memuat sanksinya.
Pemohon menguji Pasal 21 dan Pasal 47 UU Perkebunan dan meminta MK agar membatalkan kedua pasal itu. Kedua pasal pidana itu kerap digunakan aparat untuk mengkriminalisasi petani. Berdasarkan catatan PIL-Net hingga akhir 2010 terdapat 170 kasus krimininalisasi petani yang berhadapan dengan sejumlah perusahaan kakap.
Pemohon menilai kedua pasal itu sumir dan melanggar asas lex certa karena tidak merumuskan secara jelas dan rinci uraian perbuatan pidananya berikut bentuk kesalahannya. Sehingga dapat merugikan kepentingan petani. Kedua pasal itu pun dinilai bertentangan dengan Pasal 1 ayat 3, Pasal 28 D ayat 1, Pasal 28 G ayat 1 UUD 1945.