LEMBAH DAN NGARAI: Petani karet desa Lebak Najah kecamatan Silat Hulu kabupaten Kapuas Hulu, rela menyusuri lembah dan ngarai menuju lahan olahannya. Foto: Aloysius Kusnadi/GEMAWAN.
Pontianak, GEMAWAN.
Penggiat Gemawan, A’la Maududi mengungkapkan dalam pemberdayaan petani karet di warga binaan, lembaga Gemawan tidak memihak antara karet unggul maupun karet lokal. Akan tetapi lebih fokus dalam penguatan manajemen petani karet. Demi penguatan dan peningkatan derajat kaum petani karet.
“Dalam program pemberdayaan petani karet, penggiat Gemawan di lapangan membantu petani, kelompok tani (Poktan), maupun gabungan kelompok tani (Gapoktan) karet dalam memperkuat manajemen. Dikarenakan saat ini harga karet sedang turun, kita juga membantu penguatan manajemen petani karet untuk menanam sayur-mayur maupun tanaman obat keluarga (Toga),” ungkap A’la.
Ia mengupas, bibit karet unggul ini dapat dipanen getahnya atau lateks sekitar empat hingga lima tahun. Sedangkan tanaman karet lokal, seperti yang terdapat di hutan karet, bisa dipanen usai berusia tujuh hingga sepuluh tahun.
Dewasa ini, satu tanaman karet bibit unggul dapat menghasilkan 1,5-2 ons perhari. Sedangkan satu pohon karet lokal hanya menghasilkan 0,5-0,6 ons perhari. Percepatan produksi getah karet lebih bagus di bibit unggul.
“Karet lokal kalau perawatan bagus dapat produktif mencapai 30 tahun, sedangkan usia pohon bisa lebih. Sedangkan karet unggul, usia maksimal produktif sekitar 25 tahun namun usia pohonnya bisa lebih,” tutur A’la.
Karet lokal, lanjutnya, lebih mudah perawatan, produksi lebih lama, batang pohon lebih tahan goresan pisau toreh, bisa diambil getah dan kayunya, kebutuhan bibit mudah didapatkan. Akan tetapi air getahnya lebih sedikit.
“Jadi penggiat Gemawan dalam program penguatan kapasitas masyarakat lokal, fokus dalam memanajemen perkebunan mereka dengan baik dan benar,” kata A’la.
Fasilitator Gemawan, Muhammad Zuni Irawan menambahkan program penguatan kapasitas masyarakat lokal, melihat masih banyak lahan-lahan kosong masyarakat. Ditambah lagi, budaya masyarakat tempatan lebih lekat ke karet lokal.
Demikian juga di areal penggunaan lain (APL) yang berada di bawah pengampuan pemerintah kabupaten, masih belum terberdayakan dengan baik. Bahkan masih banyak lahan kosong terbiarkan begitu saja.
“Karet lokal itu identik dengan hutan karet, perawatannya ala kadarnya. Padahal di beberapa ruang yang kosong bisa ditanami sayur-mayur maupun Toga, demi mendukung ekonomi petani di tengah harga karet yang lesu,” ulas Zuni.
Hasil penelitian Zuni di lapangan, ada seratus pohon karet hutan milik petani berhasil ditemukan rata-rata ada sepuluh pohon karet yang unggul.
“Harusnya ketika dilakukan peremajaan tanaman karet, pohon karet yang unggul itulah yang dikembangkan dan dibudidayakan secara seksama. Sebab karet unggul itu didapat menggunakan teknik okulasi,” kupas Zuni.
Maksud teknik okulasi, meningkatkan mutu tumbuhan dengan cara menempelkan potongan kulit pohon bermata tunas dari batang atas pada suatu irisan dari kulit pohon lainnya dari batang bawah, sehingga tumbuh bersatu menjadi tanaman yang baru.
Okulasi merupakan teknik pembiakan tanaman secara vegetatif dengan cara menempelkan mata tunas dari tanaman satu ke tanaman lain. Okulasi memiliki tujuan, menggabungkan sifat baik dari masing-masing tanaman yang diokulasi sehingga mendapatkan varietas tumbuhan yang baik.
“Melalui teknik okulasi, batang bagian atas diharapkan menghasilkan produk getah karet yang bagus. Sedangkan kebaikan yang diharapk dari batang bawah, supaya punya sistem akar pohon karet yang baik dan kuat. Sedangkan kalau menggunakan bibit itu namanya sistem semai. Sampai saat ini mendapatkan pohon karet unggul lebih dikenal dengan teknik okulasi,” jelas Zuni. (Gemawan-Mud)