PETANI KARET: Dua fasilitator Gemawan, Muhammad Zuni Irawan (kanan) dan Ismael Karem (kiri) merancang rekomendasi ke pemerintah untuk memberikan proteksi petani karet di tengah harga karet dunia yang sedang turun. Terungkap di diskusi di kantor Gemawan di Pontianak, Selasa (14/06/2016). Foto: Mahmudi/GEMAWAN.
Pontianak, GEMAWAN.
Thailand saat ini jadi penghasil utama karet dunia usai menjungkalkan posisi Indonesia. Ketika harga karet dunia lesu, pemerinah Thailand memberikan proteksi harga karet petani dengan sistem subsidi. Guna membuat perlindungan dan penjagaan kesejahteraan petani karet Thailand.
Demikian analisis fasilitator Gemawan, Muhammad Zuni Irawan dalam diskusi terbatas di kantor Gemawan, Selasa (14/06/2016).
“Fluktuatifnya harga karet dunia beberapa tahun terakhir ini, pertama, diakibatkan mekanisme pasar global terkait dengan kebutuhan produksi karet dunia sudah melebihi target. Banyaknya industri di Tiongkok, Eropa, dan Amerika sedang surut memengaruhi produksi barang yang sengaja dikurangi. Termasuk juga ketika harga minyak dunia turun maka sering berbanding lurus dengan turunnya harga karet dunia,” kata Zuni.
Kelebihan pasokan karet di dunia sekarang ini juga diakibatkan beberapa negara-negara Indo-China mulai rajin mengembangkan perkebunan karet. Seperti negara Laos dan Vietnam yang berusaha mengimbangi perkembangan karet Thailand.
Tiongkok yang banyak membutuhkan karet alam untuk dunia industrinya, memiliki akses jalan darat ke Laos dan Vietnam maupun kawasan Indo-China pada umumnya, Keadaan ini lebih menguntungkan dalam efisiensi angkutan.
Melihat kondisi ini, pemerintah Indonesia juga mulai intens menggalang kerjasama penelitian karet dengan Jepang. Tujuannya, guna menciptakan tanaman karet yang produktivitasnya tinggi. Sebab, secara luasan kebun karet Indonesia masih yang terluas di dunia mencapai 3,4 juta hektare. Akan tetapi hasil perhektarnya kalah dengan Thailand yang luasnya hanya sekitar2 jutaan hektar.
Data pemerintah tahun 2015, produksi karet Indonesia hanya 1,1 ton perhektar, sedangkan Thailand 1,7 ton perhektar dan Malaysia 1,3 ton perhektar.
Kedua, hancurnya harga karet di kalangan petani untuk sementara saat ini belum ada proteksi yang dilakukan pemerintah untuk menjaga harga karet. Berbeda yang dilakukan pemerintah Thailand, saat harga karet turun, pemerintah Thailand melakukan proteksi harga.
“Caranya dengan membeli karet petani. Jadi ketika kesejahteraan petani karet lesu karena faktor harga dan tidak bergairah lagi untuk menoreh karet, pemerintah Thailand membeli karet petani dengan harga sangat menjanjikan. Pemerintah sendiri memberikan subsidi kepada perusahaan negara Thailand yang membeli karet petani di sana,” kata Zuni.
Ia menyesalkan sebelum Indonesia menerapkan pasar bebas, petani karet sudah menjadi korban pasar bebas.
“Sistem modal yang tidak berpihak ke petani karet di negara kita. Apalagi di Kalbar, petani karet mendapatkan harga yang cukup rendah juga dipengaruhi mata rantai tengkulak karet yang cukup panjang. Misalnya petani karet Kapuas Hulu jual ke pengepul komunitas Rp5 ribu, pengepul (pengumpul hasil bumi) jual ke tengkulak Rp7 ribu, tengkulak jual ke pedagang besar Rp9 ribu, selanjutnya pedagang besar jual ke depo perusahaan karet di Pontianak Rp10 ribu. Butuh dua hingga empat peranta, membuat petani menjadi penderita dalam penentuan harga,” tutur Zuni.
Fasilitator Gemawan lainnya, Ismail Karim yang biasa disapa Bang Meng, menerangkan sistem lelang karet yang menindas dimulai dari pengepul di tingkat komunitas petani karet. Maksud komunitas petani karet ini bisa di dalam dusun ada beberapa pengepul, namun lazimnya di kabupaten Kapuas Hulu pengepul komunitas petani karet itu lintas dusun.
“Misalnya, petani karet di dusun A dan B mengadakan lelang karet di sebuah tempat yang disepakati bersama pengepul ataupun tengkulak. Dalam lelang karet petani itu, biasanya pengepul mengacu pada lelang karet daerah, nasional, dan dunia atau istilahnya harga kadar karet kering (KKK),” telaah Bang Meng.
Hampir senada dengan Zuni, Bang Meng juga mengupas terkait turunnya harga karet, petani karet sudah melewati beberapa penampung. Misalnya dari kebun ke pabrik karet di Pontianak, mereka bisa melewati dua sampai empat penampung sehingga mengurangi nilai jual karet petani.
“Petani karet sudah terikat dengan tengkulak desa. Sebenarnya petani tidak untung tapi terikat hutang dengan tengkulak. Mereka ambil pupuk, peralatan bertani, kebutuhan pokok sehari-hari ke tengkulak. Ketika petani karet panen, harganya ditentukan tengkulak. Kemudian dikurangi pinjaman sebelumnya, hutang petani karet ke tengkulak lunas. Namun untuk biaya hidup sebulan ke depannya dan modal bertani karet, ambil barang lagi ke tengkulak. Walaupun tidak semua mengalami kejadian seperti ini, namun praktik tengkulak ke petani karet miskin di pelosok-pelosok masih terjadi,” kupas Bang Meng.
Keberadaan pasar lelang karet sendiri, guna mengurangi penentuan harga karet yang menindas dari pengepul berwatak jahat. Namun lelang juga dapat dimainkan pengepul atau tengkulak yang lihai dalam mensiasati lelang.
Sistem pasar lelang karet kering dan petani menjual karetnya dengan berkelompok, sebenarnya sudah dijalankan pemerintah kolonial Belanda sebelum Perang Dunia I (1914-1918) di Hindia Belanda (nama lama Indonesia). Tujuannya untuk memberi semangat ke petani karet supaya memberikan barang bersih ke perusahaan dan mengefektifkan waktu lelang.
Sebelum ada pasar lelang, harga karet kering ditentukan pakai berat dengan timbangan kilogram usai dipastikan kering benar. Namun pakai sistem timbang perusahaan kurang mendapatkan karet kering yang bersih. Akhirnya menggunakan sistem lelang, supaya petani memberikan hasil yang bagus dan dihargai tinggi.
Memasuki zaman Indonesia, pasar lelang karet tidak sepenuhnya dijalankan di beberapa daerah, sebab pengawasan dari instansi pemerintah terkait terjadi. Berdalih, luasya areal perkebunan karet dan membutuhkan perjuangan berat mengangkut karet ke pelelangan.
Pasar lelang karet sendiri pada awalnya juga guna menghindari penentuan harga sepihak dari pengepul maupun tengkulak. Namun pasar lelang karet menjadi tidak efektif dalam mengerem turunnya harga karet, patut diduga kurang transparansinya harga indikasi KKK yang diterbitkan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) masing-masing daerah.
Ditambah lagi, parameter karetnya bersih, konsisten tidak pernah ada yang kotoran atau benda asing, homogen, dan semua lembaran karetnya sama bersihnya, kadang dicurangi oknum pelelang. Waktu dibukanya pasar lelang karet, kadang kala petani karet kurang mendapatkan informasi.
Pemerintah Indonesia sendiri menganjurkan pasar lelang karet, karena harga jual jauh lebih tinggi dibanding harga di luar pasar lelang, mutu karet tentukan harga, timbangan jujur karena terawasi, dan semua pungutan resmi berdasarkan peraturan instansi terkait.
“Akan tetapi di Kalbar mekanismenya masih belum jelas. Seharusnya Pemprov Kalbar sudah menginisiasi proteksi harga karet, mengorganisir proses pasar lelang yang dapat dipertanggungjawabkan ke publik, serta bantuan alih teknologi. Jangan hanya memperbagus sistem pasar lelang terhadap harga sawit, di mana di Disperindagkop Kalbar selalu intens memantau harga sawit dunia demi pasar lelang sawit di daerah,” pinta Zuni.
“Sedangkan ke pemerintah pusat maupun daerah, diharapkan dapat menghidupkan dan menggairahkan industri di dalam negeri yang berhubungan dengan hasil hilir dari pengolahan karet. Seperti industri otomotif maupun perusahaan teknologi dunia yang perlu bahan baku karet dapat mendirikan pabrik di dalam negeri, supaya harga karet semakin kompetitif,” pintanya lagi. (Gemawan-Mud)