MENDUGA MK: Pemerhati hukum lembaga Gemawan, Hermawansyah menduga MK ikut andil terhadap pelemahan KY di diskusi publik di Hotel Santika Pontianak, Senin (23/11/2015). FOTO: MAHMUDI/GEMAWAN.
Pontianak, GEMAWAN.
Pemerhati hukum dari lembaga Gemawan, Hermawansyah mengupas pelemahan lembaga tinggi negara Komisi Yudisial (KY) Republik Indonesia, patut diduga Mahkamah Konstitusi (MKR) RI yang kurang ingin diawasi hakimnya, serta oknum DPR-RI yang terus berusaha merevisi UU Komisi Yudisial.
“Publik mungkin tidak tahu kalau keberhasilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berhasil mengadakan operasi tangkap tangan terhadap oknum hakim terima suap itu, sebab dibantu informasinya dari rekan-rekan KY,” kata Wawan, sapaan akrab Hermawansyah di FGD Forum Pemerhati Hukum Pontianak di Hotel Santika Pontianak, Senin (23/11/2015).
Dasar hukum berdirinya KY, Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 24 A ayat 3, berbunyi calon hakim agung diusulkan KY kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden.
Pasal 24 B UUD 1945, KY bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Anggota KY harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman di bidang hukum serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela. Anggota KY diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan DPR.
Susunan, kedudukan, dan keanggotaan KY diatur Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 (UU 22/2004) tentang KY. Kemudian UU 3/2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU 14/1985 tentang Mahkamah Agung (MA).
UU 48/2009 tentang Kekuasaan Hakim. UU 49/2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU 2/1986 tentang Peradilan Umum. UU 50/2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU 7/1989 tentang Peradilan Agama.
UU 51/2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU 5/1985 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). UU 18/2011 tentang Perubahan Atas UU 22/2004 tentang Komisi Yudisial.
“Komisi Yudisial bertanggungjawab kepada publik melalui DPR, dengan cara menerbitkan laporan tahunan dan membuka akses informasi secara lengkap dan akurat. Disampaikan dalam sidang tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI,” kata Wawan.
Pembentukan lembaga pengawas peradilan sebenarnya sempat digagas sebelum terbentuknya Komisi Yudisial. Misalnya, ada wacana pembentukan Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim (MPPH) dan Dewan Kehormatan Hakim (DKH).
MPPH diwacanakan sejak tahun 1968. Namun ide itu gagal, tercermin tidak berhasil menjadi materi muatan UU 14/1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Sedangkan DKH tertuang di UU 35/1999 tentang Perubahan Atas UU 14/1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Berwenang mengawasi perilaku hakim, memberikan rekomendasi mengenai perekrutan, promosi, dan mutasi hakim, serta menyusun kode etik hakim.
Ide pembentukan KY mulai terealisasi pada tahun 1999, setelah Presiden BJ Habibie membentuk panel diskusi mengkaji pembaharuan UUD 1945. Istilah Komisi Yudisial sendiri dikemukakan oleh Hakim Agung Iskandar Kamil.
Nama Komisi Yudisial secara eksplisit mulai disebut saat ditetapkannya UU 25/2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun 2000-2004. Akhirnya, nama Komisi Yudisial tercantum di Pasal 24 B UUD 1945 hasil amandemen ketiga.
Kemudian pada 13 Agustus 2004, UU 22/2004 tentang Komisi Yudisial disahkan. Implementasi dari undang-undang tersebut, pemerintah membentuk panitia seleksi untuk mengisi organ Komisi Yudisial dengan memilih tujuh orang yang ditetapkan sebagai Anggota Komisi Yudisial.
Meski pengesahan UU 22/2004 pada 13 Agustus 2004, namun kiprah KY dimulai sejak terbentuknya organ organisasi pada 2 Agustus 2005. Ditandai dengan pengucapan sumpah ketujuh Anggota KY masa khidmat (pelayanan) 2005-2010 di hadapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Pada awal menjalankan tugas dan wewenangnya, KY berjalan dalam kesederhanannya. Dalam perjalanannya, lembaga yang diberi amanat untuk mengusulkan pengangkatan Hakim Agung danmempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Pengawasan hakim ini membuat sebagian orang yang berkepentingan terusik, akhirnya 31 Hakim Agung ajukan permohonan judicial review (JR) atau uji materiil UU 22/2004 tentang KY ke Mahkamah Konstitusi (MK).
MK melalui putusan nomor 005/PUU-IV/2006, memberangus beberapa kewenangan dalam pengawasan hakim dan hakim MK tidak berlaku. Terkait hakim konstitusi, putusan itu menjadi perdebatan panjang, sebab pemohon tidak pernah mengajukannya.
Sejak MK mempreteli wewenang KY melalui putusannya tahun 2006, KY dan sejumlah elemen bangsa yang mendukung peradilan bersih, transparan, dan akuntabel melakukan berbagai upaya untuk mengembalikan peran KY.
Salah satu upayanya adalah dengan merevisi 22/2004 tentang KY. Sayangnya, hingga akhir periode pertama kepemimpinan Anggota Komisi Yudisial tahun 2005-2010, upaya itu belum berhasil.
Anggota KY masa khidmat 2010-2015 yang terdiri dari Prof Dr H Eman Suparman S H MH, Dr H Imam Anshori Saleh SH MHum, Dr Taufiqurrohman Syahuri SH MH, Dr Suparman Marzuki SH MSi, Dr H Abbas Said SH MH, Dr Jaja Ahmad Jayus SH MH, dan Dr Ibrahim SH LLM.
Berdasarkan Pasal 6 ayat 2 Peraturan Komisi Yudisial 1/2010 tentang Tata Cara Pemilihan Pimpinan KY, masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua Komisi Yudisial dijalankan selama 2 tahun 6 bulan dan dapat dipilih kembali untuk 2 tahun dan 6 bulan berikutnya.
Usaha merevisi UU 22/2004 tentang KY yang dirintis sejak masa kepemimpinan Dr M Busyro Muqoddas SH MHum, mulai membuahkan hasil di bawah kepemimpinan Prof Dr H Eman Suparman SH MH.
KY memiliki amunisi baru dengan lahirnya UU 18/2011 tentang Perubahan Atas UU 22/2004 tentang KY yang disahkan pada 9 November 2011.
KY semakin kuat dengan lahirnya UU 49/2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU 2/1986 tentang Peradilan Umum, UU 50/2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU 7/1989 tentang Peradilan Agama, dan UU 51/2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU 5/1985 tentang PTUN.
UU 18/2011 tentang Perubahan Atas UU 22/2004 tentang KY, memberikan berbagai tugas dan wewenang baru bagi KY, antara lain melakukan seleksi pengangkatan hakim adhoc (khusus) di MA, melakukan upaya peningkatan kapasitas dan kesejahteraan hakim, melakukan langkah-langkah hukum dan langkah lain untuk menjaga kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, melakukan penyadapan bekerja sama dengan aparat penegak hukum, dan melakukan pemanggilan paksa terhadap saksi.
Penyadapan sendiri awalnya hanya boleh dilakukan polisi dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). “Dalam perkembangannya nanti, penyadapan KY terhadap perilaku hakim juga dihapuskan,” kupas Wawan.
Begitu kuatnya KY, akhirnya kembali terjadi permohonan uji materiil terhadap Surat Keputusan Bersama (SKB) Ketua Mahkamah Agung 047/KMA/SKB/IV/2009 dan Ketua KY, serta nomor 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH).
Pada 9 Februari 2012, majelis hakim di MA yang diketuai Paulus Effendie Lotulung, memutuskan perkara nomor 36 P/HUM/2011, bahwa mengabulkan permohonan dan poin-poin penerapan dalam pasal 8 dan 10, dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Artinya butir 8.1, 8.2, 8.3, 8.4 serta butir 10.1, 10.2, 10.3, dan 10.4 SKB bertentangan dengan undang-undang atau peraturan perudang-undangan tingkat lebih tinggi, yaitu Pasal 40 ayat 2 dan Pasal 41 ayat 3 UU 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman jo Pasal 32A ayat 4 UU 3/2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU 14/1985 tentang Mahkamah Agung.
Kemudian untuk lebih menjalin komunikasi yang lebih intens dengan MA, KY dengan MA mulai membentuk Tim Penghubung. Berfungsi sebagai jembatan mencapai titik temu dan mencairkan hubungan KY dengan MA yang patut diduga hakimnya enggan diawasi.
Gagasan adanya Tim Penghubung ini berawal dari pertemuan pimpinan KY dan MA di Gedung MA pada awal Desember 2011. Tim Penghubung dilandasi semangat kerja mendekatkan dan menyamakan pandangan dan penafsiran tugas kedua lembaga.
Setelah melewati proses dan koordinasi panjang, lahirlah empat Peraturan Bersama antara MA dan KY pada 27 September 2012. Isinya tentang seleksi pengangkatan hakim, panduan penegakkan kode etik dan pedoman perilaku hakim, tata cara pemeriksaan bersama dan tata cara pembentukan,serta tata kerja dan tata cara pengambilan keputusan majelis kehormatan hakim.
Di tengah upaya melakukan reformasi penegakan hukum di Indonesia, terjadi peristiwa kelam yang menjadi preseden buruk bagi lembaga peradilan, yaitu Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap mantan Ketua Mahkamah Konstitusi M Akil Mochtar oleh KPK terkait dugaan suap dua sengketa Pemilukada Gunung Mas dan Lebak pada Rabu, 2 Oktober 2013 silam.
Peristiwa ini seakan menguatkan agar hakim konstitusi di MK diawasi sebuah lembaga permanen yang berfungsi menjaga dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat, serta perilaku Hakim Konstitusi.
Sayangnya, sejak MK berdiri, belum ada satu lembaga atau komisi pun yang berwenang mengawasi hakim konstitusi.
Awalnya, KY memiliki kewenangan mengawasi hakim konstitusi. Namun, MK sendiri membatalkan kewenangan KY untuk mengawasi hakim konstitusi.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perpu) dalam rangka penyelamatan wibawa MK.
Perpu 1/2013 mengamanatkan dua kewenangan baru KY, yaitu membentuk panel ahli untuk melakukan rekrutmen hakim MK dan memfasilitasi pembentukan Majelis Kehormatan MK.
Kemudian DPR mengesahkan Perppu MK itu menjadi UU 4/2014 tentang Perpu 1/2013 tentang Perubahan Kedua Atas UU 24/2003 tentang MK menjadi UU tertanggal 19 Desember 2013.
Namun, UU 4/2014 diuji materi oleh gabungan advokat dan konsultan hukum yang menamakan Forum Pengacara Konstitusi serta sejumlah dosen Fakultas Hukum Universitas Jember dengan perkara nomor 1-2/PUU-XII/2014.
Dalam sidang pembacaan putusan yang dilakukan delapan hakim konstitusi di ruang sidang MK yang diketuai hakim Hamdan Zoelva pada 13 Februari 2014 sore terungkap, majelis memutuskan untuk mengabulkan seluruh permohonan pemohon yang dicantumkan dalam pengajuan uji materi UU tersebut.
Berdasarkan uji materi, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 beserta seluruh lampirannya bertentangan dengan UUD 1945 dan UU itu juga diputuskan tidak memiliki kekuatan hukum tetap.
Konsekuensinya, UU 24/2003 berlaku kembali sebagai landasan hukum. Sehingga, terhadap pembentukan MKHK dan Panel Ahli Uji Kelayakan dan Kepatutan Calon Hakim Konstitusi menjadi tidak berlaku.
“Inilah dasar saya patut diduga MK ikut bagian dalam pelemahan KY. Ingat kata patut diduga itu secara hukum boleh terhadap perkara yang didugakan, jadi tidak akan masuk pasal fitnah atau perbuatan tidak menyenangkan,” timpal Wawan. (Gemawan-Mud)