KY DIKEBIRI: Anggota Dewan Pendiri Lembaga Gemawan, Hermawansyah (kanan) menjadi narasumber di diskusi publik bertajuk pelemahan lembaga negara produk Reformasi 1998, didampingi Direktur PonTV Mursalin (kedua dari kanan), dosen FH Untan Rommy Patra (kiri), Kabip Umum KY RI Andi Djalal Latief (kedua dari kiri), dan dimoderatori Faisal Riza (tengah), diadakan KY Penghubung Kalbar di Hotel Santika Pontianak, Senin (23/11/2015). FOTO: MAHMUDI/GEMAWAN.
Pontianak, GEMAWAN.
Komisi Yudisial (KY) Republik Indonesia (RI) Penghubung Kalimantan Barat helat focus group discussion (FGD), bertajuk “Mewaspadai Pelemahan Lembaga Negara Produk Reformasi” di Hotel Santika Pontianak, Senin (23/11/2015).
Bertindak sebagai narasumber utama dari Lembaga Gemawan, Hermawansyah. Kemudian Kepala Biro Umum KY RI Ir Andi Djalal Latief MS, dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Tanjungpura (Untan) DR Rommy Patra SH, Direktur PonTV Pontianak Post Group Mursalin SP, dimoderatori Faisal Riza ST yang juga Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Kalbar.
Acara dihadiri praktisi hukum, politisi, akademisi, mahasiswa, non-governmental organization (NGO), tokoh masyarakat, media cetak maupun elektronik, dan tamu undangan lainnya.
“Komisi Yudisial (KY) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan produk dan amanat reformasi Indonesia tahun 1998,” ungkap Hermawansyah, komponen 1998 di hadapan hadirin.
Wawan, sapaan akrabnya, menerangkan gerakan mahasiswa dan berbagai lapisan masyarakat tahun 1998, memandang ada yang salah di tata pelaksana pemerintahan negara kala itu. Supremasi hukum yang kurang terlaksana kita berhadapan dengan politisi dan penguasa.
“Kemudian menghasilkan konsensus (kesepakatan dasar, Red) nasional, berantas korupsi. Akhirnya lahir Tap MPR nomor XI tahun 1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, berlaku 13 November 1998. Itulah target perdana sebelum berkembang dengan target-target lainnya ,” tegas Wawan yang juga Direktur Swandiri Institute (SI).
Kemudian, lanjutnya, menerangkan kehadirian KY sebagai jawaban karena pengawasan dunia kehakiman dalam negeri yang kurang maksimal. Pengawasan internal melalui Departemen Kehakiman dan Mahkamah Agung (MA) kurang efektif.
Misalnya ada kasus rakyat kecil karena lapar dan pengangguran sehingga membuatnya maling ayam, dipidana kurungan enam bulan. Sedangkan ada oknum pejabat korupsi uang negara Rp50 miliar hanya dipidana 2,9 tahun. Pengandaian mudahnya 2,9 tahun itu disamakan dengan mencuri ayam enam ekor saja, jika perbandingannya maling seekor ayam dipidana enam bulan.
Kemudian ketika ada perkara menimpa pejabat, kalah di tingkat Pengadilan Negeri (PN), begitu mudahnya naik banding ke tingkat Pengadilan Tinggi (PT), tak puas maka naik banding lagi ke tingkat kasasi di MA, masih belum puas juga adakan peninjauan kembali (PK). Masih belum juga, ajukan PK lagi dan lagi dan lagi.
“Ada apa ini? Bagaimana pengawasan internal hakim? Di sinilah perlu pengawasan hakim dan lembaga peradilan dari eksternal, yaitu KY. Berdirinya KY juga termaktub dalam konstitusi atau Undang-undang Dasar (UUD) kita, kenapa dilemahkan dan dikebiri perannya?” tanya Wawan.
Bahkan, papar Wawan, tiap ada sidang tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI menyampaikan laporan kerja dan pertanggungjawabannya.
Sidang tahunan MPR sendiri menjadi ajang penyampaian laporan pertanggungjawaban lembaga tinggi negara seperti, setelah amandemen UUD 1945, MPR-RI, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, Presiden dan Wakil Presiden RI, MA RI, Mahkamah Konstitusi (MK) RI, dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK-RI).
Sedangkan utusan KY pusat, Andi Jalalatif menyesalkan adanya kesan rivalitas KY dengan MA dalam pengawasan kehakiman. Mirip KPK dengan kepolisian dalam kasus pemberantasan korupsi. Terkesan antarlembaga negara ada overlapping (tumpang tindih) kerja.
“Upaya pelemahan lembaga negara produk reformasi terus dilakukan kekuatan-kekuatan politik yang tidak menghendaki hukum sebagai panglima di negeri ini. Tak kurang dua lembaga negara seperti KY dan KPK terus dijadikan obyek pelemahan,” kata Andi.
Dalam putusan aquo, papar Andi, MK menghapus kata “bersama” dan frasa “Komisi Yudisial” dalam pasar 14 a ayat 2 dan 3 undang-undang nomor 49 tahun 2009 (UU 49/2009) tentang Peradilan Umum, pasal 13 a ayat 2 dan 3 UU 50/2009 tentang Peradilan Agama, dan pasal 14 a ayat 2 dan ayat 3 UU 51/2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).
“Dengan putusan ini, KY tidak berwenang lagi dalam proses seleksi calon hakim di tiga lingkungan peradilan,” sesal Andi.
Putusan itu, tegas Andi, menjadi rantai yang tidak terputus dari beberapa indikasi pelemahan KY sebelumnya. Setidaknya hingga saat ini ada upaya empat besar yang dapat dikategorikan sebagai upaya pelemahan terhadap KY.
“Pertama, tahun 2006 MK membatalkan kewenangan KY dalam melakukan pengawasan terhadap hakim MK. Tahun 2012, MA membatalkan delapan poin dalam surat keputusan bersama MA dan KY tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim,” kupas Andi.
Paling mutakhir, tahun 2015 Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi) mengadukan judicial review (JR) atau peninjauan kembali UU KY ke MK, terkait keterlibatan KY dalam seleksi pengangkatan hakim.
“Padahal keterlibatan KY dalam seleksi pengangkatan hakim merupakan upaya menjaga integritas dan profesionalitas calon hakim demi peradilan bersih dan bermartabat,” ulas Andi.
Kedua, sambung Andi, pelemahan KY melalui kriminalisasi komisioner. Beberapa waktu lalu, dua komisioner KY, Suparman Marzuki dan Taufiqurahman Syahuri ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan pencemaran nama baik hakim Sarpin Rizaldi.
“Penetapan ini terkesan ganjil, mengingat kedua komisioner itu mengeluarkan pernyataan dalam rangka melaksanakan tugas KY,” kritik Andi.
Ketiga, imbuhnya, sejumlah rekomendasi KY tidak ditindaklanjuti. Tak jarang rekomendasi KY atas pemeriksaan dugaan pelanggaran kode etik tak ditindaklanjuti oleh MA. Rekomendasi atas dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh hakim Sarpin Rizaldi hingga kini tak kunjung direspon.
“Keempat, hakim menolak diperiksa KY. Hakim praperadilan Budi Gunawan, hakim pemeriksa perkara Antasari Azhar, hakim kasus eksekusi gedung Arthaloka hingga mantan Ketua MA Bagir Manan,” keluh Andi.
Tak hanya KY, tambahnya, pelemahan terhadap lembaga negara produk reformasi juga dialami KPK. Mulai dari kriminalisasi komisionernya sampai yang terbaru adalah diajukannya Rancangan Undang-undang (RUU) KPK yang akan ‘mematikan’ KPK secara sistematik.
“Seperti pasal 5 RUU KPK, menghendaki keberadaan KPK secara adhoc hanya 12 tahun. Kemudian pasal 13 yang memberi wewenang KPK untuk menangani masalah korupsi di atas Rp50 miliar saja,” ucap Andi.
Dikatakannya pasal pelemahan KPK juga ditunjukkan pada pasal 22 RUU KPK yang mengatur pembentukan ‘Dewan Eksekutif’ yang diangkat Presiden RI, berpotensi mengintervensi kerja-kerja KPK.
Pasal 39, selain ada ‘Dewan Eksekutif’ juga ada ‘Dewan Kehormatan’ yang berlebihan, sehingga berpotensi mengganggu komisioner KPK dalam menjalankan tugasnya.
Kemudian surat perintah penghentian penyidikan (SP3) yang dulu tidak dikenal dalam UU KPK, kini melalui pasal 42 RUU KPK, KPK berwenang mengeluarkan SP3 dalam tindak pidana korupsi, setelah diketahui tidak memenuhi syarat untuk dilanjutkan ke tahap penuntutan sebagaimana diatur pada pasal 109 ayat 2 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
“Pelemahan dua lembaga produk reformasi itu, menjadi setting besar di balik agenda untuk melanggengkan kepentingan pihak-pihak yang tak ingin kejujuran dan keadilan menjadi warna dari peradaban Indonesia,” sindir Andi. (Gemawan-Mud)