Village Funds Affirmative Action

DENGAN dikeluarkannya Undang-Undang Pemilu tentang 30 persen keterwakilan perempuan, sudah mulai diberlakukannya affirmative action untuk memenuhi kuota perempuan di lembaga legislatif dan eksekutif.

Akan tetapi, memang dalam fakta-fakta ketertinggalan, perilaku afirmasi yang dilakukan merupakan suatu bentuk keadilan.

“Namanya adil itukan bukan berarti memberi rata, akan tetapi yang namanya adil itu adalah memberi kepada seseorang sesuai dengan haknya, itulah yang namanya keadilan,” kata Direktur Eksekutif Gemawan, Laili Khairnur di kediamannya, Sabtu (28/6) siang kemarin.

Menurutnya, 30 persen kuota perempuan ini merupakan suatu proses yang tidak bisa langsung dicapai. Ia menjelaskan, selesainya undang-undang pemilu yang baru ini dalam hal pencalonan diterapkan sistem zigzag. Jadi, di antara urutan nomor satu sampai dengan nomor tiga calon diutamakan harus ada calon perempuan di tengahnya.

“Perempuan tidak lagi berada di nomor buntut, kemudian untuk tiga sampai enam ada lagi satu,” jelas Laily.

Menurut Laily, peluang yang akan diraih dari tokoh perempuan tersebut akan cukup besar terutama untuk partai-partai besar. Soalnya, partai besar kadang-kadang bisa mencapai satu sampai tiga.

“Nah, bisa jadi tiga inilah yang akan mendapatkan peluang lebih banyak,” jelasnya.

Kemudian, kuota perempuan ini peningkatannya pasti akan ada, karena perempuan-perempuan yang saat ini duduk di lembaga legislatif akan maju lagi. Jika mereka yang berada di kabupaten akan tetap maju, kemudian ada juga yang sudah dua periode di kabupaten, kemudian berusaha untuk naik ke provinsi, maka akan mewakili wilayah pemilihan daerahnya.

“Ke depannya juga sudah ada muncul kader-kader baru untuk tingkat lokal. Saya juga yakin para parpol tentu sudah mempersiapkan hal tersebut. Dalam hal ini mereka sudah mempersiapkan perempuan-perempuan mana yang akan mereka berikan peluang untuk itu,” jelasnya.

Dikatakannya, sebenarnya pada persiapan Pemilu 2004 lalu, Lembaga Gemawan telah melakukan kerja sama dengan sekretaris provinsi untuk membuat database perempuan potensial Kalbar. Buku tersebut kemudian dibagikan kepada partai politik yang dapat digunakan untuk mendekati perempuan-perempuan tersebut.

“Mengingat bagi perempuan proses untuk kenal di lapangan itukan menjadi penting selain posisi nomor urut,” jelas Laily.

Laily menyatakan, hal tersebut berkaitan dengan peluang. Untuk teman-teman yang memilih bekerja di basis dan tidak ingin menempuh jalur politik, tetap dikampanyekan dan mengajak masyarakat atau perempuan-perempuan di basis yang memang punya potensi untuk maju pada Pemilu 2009 mendatang.

“Bahkan, Gemawan sendiri dalam hal ini telah menyiapkan kader khususnya di Kabupaten Sambas, memang ada beberapa yang kami persiapkan kita minta untuk mempersiapkan diri maju pada pemilu di 2009,” terangnya.

Akan tetapi hal ini tentunya tidak akan berhenti sampai di sini, dijelaskan Laily, proses advokasi menjadi sangat penting dalam hal ini. Gemawan saat ini sedang mengkampanyekan, khususnya di Kabupaten Sambas yakni mem-perda-kan keterwakilan perempuan dalam badan Pemerintahan Desa.

Affirmative Action, Kejar Ketertinggalan

“Kuotanya 30 persen juga. Untuk mencari perempuan potensial itu juga harus dilakukan dari sana. Jadi, bagaimana mereka berkiprah itu harus dilegalkan, karena yang namanya UU itukan sifatnya memaksa, pemerintah desa dalam hal ini harus memasukkan minimal 30 persen perempuan dalam struktur kepemerintahannya, begitu pula dengan badan perwakilan desanya,” paparnya.

Bentuk ketokohan ini memang harus dibangun dari bawah. Sebab tokoh itu tidak datang dengan tiba-tiba. Yang namanya tokoh ideal itu adalah seorang tokoh yang benar-benar mendapat legitimasi dari masyarakat karena pengabdiannya kepada masyarakat bukan tiba-tiba muncul.

“Untuk ketertinggalan hingga saat ini masih terjadi. Banyak hak dasar perempuan yang belum terpenuhi. Seperti di kampung-kampung untuk pelayanan kesehatan itu masih minim, termasuk juga akses terhadap ekonomi, pendidikan dan lainnya. Bayangkan, jika letak sekolah jauh dari desa membuat anak-anak malas untuk pergi sekolah. Kalau bukan memang yang memiliki keinginan yang kuat bersekolah akan sangat berat. Saya pikir di Kalbar angka kematian ibu juga masih layak untuk diperhatikan kemudian gizi, serta permasalahan anak dalam konteks sekarang ini kecuali laki-laki juga memiliki keinginan untuk memerhatikan hal tersebut sehingga tidak menjadi beban perempuan lagi,” ungkapnya.

Saat ini, sudah banyak aturan termasuklah di dalamnya undang-undang politik yang baru. Kemudian, terbit pula UU KDRT, kemudian UU Trafficking atau perdagangan orang, lalu ada juga Instruksi Presiden tentang Mainstreaming gender dalam pembangunan. Ada pula UU Nomor 11 tahun 2005 tentang hak sipil dalam politik, lalu hak ekonomi sosial budaya-nya dalam UU Nomor 12 tahun 2005.

“Jadi komitmen serta political will dari pelaksana kebijakan untuk merealisasikan undang-undang, aturan baik yang berupa inpres maupun kepmen yang memang harus dilaksanakan di tingkat daerah,” tambahnya. *

Sumber: Dian Rakhmawati (bidankampung.multiply.com), dimuat di Harian Equator, 2008

Kejar Ketertinggalan Dengan Affirmative Action, Menyoal Kuota 30%