Vonis Bebas Pembakar Lahan
AKTIVIS lingkungan di Kalimantan Barat menyatakan kekecewaannya atas putusan bebas Pengadilan Negeri Singkawang terhadap dua terdakwa kasus pembakaran lahan di Kabupaten Sambas.
“Putusan itu bisa menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum lingkungan di Kalbar,” kata Direktur Eksekutif Lembaga Gemawan (salah satu LSM peduli lingkungan di Kalbar-red), Laely Khainur di Singkawang, Jumat.
Apalagi, menurut ia, saat ini masih ada tujuh kasus pembakaran lahan yang belum disidangkang. Kasus PT WSP dan PT BCP, merupakan kasus pembakaran lahan pertama yang sampai ke pengadilan,” katanya.
Sebelumnya, sidang kasus pembakaran lahan dengan dua tersangka perusahaan perkebunan sawit di Kabupaten Sambas, PT Wilmar Sambas Plantation (PT WSP) dan PT Buluh Cawang Plantation (PT BCP), Kamis kemarin, telah divonis bebas oleh majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Singkawang.
Menurut Laely, pihaknya akan segera membuat kajian terhadap putusan mejelis hakim itu. Bahkan Lembaganya akan melaporkannya persoalan itu ke Komisi Yudisial (KY) dan meminta eksaminasi, apakah keputusan ini telah sesuai dengan ilmu hukum lingkungan dan undang-undang lingkungan yang berlaku.
Kasus pembakaran lahan di Kabupaten Sambas menyeret dua anak perusahaan PT Wilmar Group. Perkaranya dipecah dalam dua berkas perkara, namun dengan majelis hakim yang sama, dan diketuai oleh Antony Syarif.
Penanggung jawab operasional kebun PT WSP, berlokasi di Desa Sijang, Kecamatan Galing, Muhibbi Bin H Nasir BS, diajukan sebagai terdakwa dengan register perkara Nomor: 52/Pid.B/2007/PN SKW.
Dalam dakwaan dan tuntutan Jaksa Penuntut Umum dari Kejaksaan Negeri Sambas, Taliwondo dan Tri Lestari disebutkan, perbuatan terdakwa dianggap mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup seluas 800 Ha dari 14.100 Ha luas lahan perkebunan kelapa sawit yang dimiliki oleh PT WSP.
Perbuatan yang sama, juga didakwakan terhadap Ir Basuki Rahmat Joyo Jali sebagai pimpinan operasional PT BCP yang berada di di Desa Mentibar Kecamatan Paloh.
Areal yang dipermasalahkan seluas 1000 hektar dari 14000 hektar yang dimiliki oleh PT BCP.
Terhadap keduanya, dalam dakwaan primair-nya, JPU menilai, telah melanggar Pasal 41 ayat (1) jo Pasal 46 ayat (1) jo Pasal 47 UU RI Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Sebagai dasar dari pengajuan dakwaan dan tuntutan JPU, selain mengacu pada keterangan saksi, terdakwa dan bukti-bukti yang ada, juga mengacu pada hasil pengambilan sampel yang terdiri dari tanah gambut terbakar, arang bekas terbakar, gambut terganggu terbakar dan tumbuhan bawah tumbuh setelah terbakar.
Sampel lainnya, berupa tanaman pakis dan tumbuhan bawah yang terbakar, tumbuhan bawah tebasan terbakar, kelapa sawit, gambut tidak terbakar, gambut tidak terganggu tidak terbakar dan kantong semar.
Seluruh sampel yang diambil tersebut telah dianalisis pada Laboratorium Kebakaran Hutan dan Lahan Fakultas Kehutanan IPB. Hasilnya kemudian dituangkan dalam surat keterangan ahli kebakaran hutan dan lahan yang dibuat oleh Dr Bambang Hero Saharjo M. Agr, dan Dr Basuki Wasis.Namun majelis hakim berpendapat dakwaan primer tidak terbukti.
Alasan yang disampaikan majelis hakim, lebih condong pada isi pembelaan dan replik kedua terdakwa. Bahwa terhadap alat bukti berupa dua surat yaitu, Surat Penghitungan emisi gas-gas rumah kaca dan partikel dari pembakaran dari perkebunan kelapa sawit PT. WSP dan PT. BCP oleh Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo, M.Agr.
Dan surat Keterangan Saksi Ahli Tanah Perusakan Hutan dan Lahan yang dibuat dan ditandatangani pada 27 Oktober 2006, bukan bernilai sebagai dua alat bukti, melainkan harus dianggap sebagai satu alat bukti saja. Sehingga, bila mengacu pada Pasal 183 KUHAP, tidak memenuhi batas minimal alat bukti.
Dalam dakwaan dan tuntutan JPU yang bersifat subsideritas, kedua terdakwa sempat dituntut pidana dengan dakwaan subsidair yaitu Pasal 42 ayat (1) jo Pasal 46 ayat (1) jo Pasal 47 UU RI No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Majelis hakim berpendapat, unsur kelalaian yang dituduhkan terhadap terdakwa tak ada hubungan secara krusial. Apalagi dari fakta-fakta di persidangan sumber api berasal dari lahan milik warga yang menjalar ke lahan perusahaan.
Begitu pula dengan upaya yang dilakukan terdakwa dinilai telah maksimal dalam memadamkan api, tapi karena tiupan angin dan kondisi musim kemarau membuat upaya pemadaman menjadi sulit dilakukan.
Karenanya, kebakaran yang terjadi pada areal perusahaan perkebunan kelapa sawit PT WSP dan PT BCP, bukan disebabkan faktor kesengajaan maupun faktor kelalaian dari terdakwa, tetapi dari luar. Artinya kebakaran yang terjadi bukan mutlak disebabkan oleh terdakwa. JPU Tri Lestari, menyatakan akan pikir-pikir dengan putusan tersebut. (PK-YK*N005/
Sumber: antara.co.id, 17-08-2008