Hermawansyah, dosen Fakultas Hukum Untan Pontianak. FOTO: ISTIMEWA.
Pontianak, GEMAWAN.
Pasca reformasi, pemerintah daerah banyak memproduksi aturan hukum (regulasi) terutama menyangkut retribusi. Ini terkait besarnya pengaruh konsep pendapatan asli daerah (PAD).
“Menariknya, peraturan daerah (Perda) itu berpotensi bermasalah. Satu di antara penyebabnya paradigma pembuatan hukum, kurang sosialisasi, dan lain-lain,” kata Dr Hermansyah SH MHum, tim peneliti kebijakan pemberantasan korupsi di kota Pontianak bersama lembaga Gemawan.
Dikatakannya lembaga Gemawan bersama Tim Peneliti yang berasal dari akademisi, praktisi, hingga birokrat, melakukannya penelitian korupsi dalam beberapa perspektif dan posisi Kota Pontianak, menyangkut individu, budaya, penegakan hukum, kesempatan, dan tata kelola pemerintahan.
“Kajian ini juga sebagai bagian dari partisipasi publik dalam memonitoring dan evaluasi pelaksanaan program pencegahan dan pemberantasan korupsi di kota Pontianak,” jelas Hermansyah, dosen Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura (Untan) Pontianak.
Kemudian, lanjutnya, memberikan kontribusi bagi pemerintah Kota Pontianak, dalam pembaharuan pelaksanaan kewenangannya untuk pencegahan korupsi di sektor pelayanan perizinan terpadu dan pengadaan barang serta jasa.
“Beberapa hasil kajian sedikitnya terdapat empat evolusi unit pelayanan. Pertama, Unit Pelayanan Perizinan Terpadu (UP2T), berdasar Keputusan Walikota Madya Kepala Daerah (Kdh) Tingkat (Tk) II Pontianak nomor 16 tahun 1999,” jelas Hermansyah.
Ia menerangkan penggabungan beberapa instansi di Kota Pontianak yang memberikan pelayanan perizinan, seperti Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindagkop), Dinas Tata Ruang dan Perumahan, dan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil).
Kedua, Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu (KP2T) Kota Pontianak. Berdiri berdasarkan Perda Kota Pontianak 7 Tahun 2002.
Alasannya, tuntutan terhadap pelayanan umum yang lebih maksimal, efektif, dan efisien semakin meningkat. Sementara kewenangan lembaga dalam bentuk unit pelayan, dipandang kurang memadai untuk memenuhi tuntutan masyarakat.
Struktur KP2T Kota Pontianak, dipimpin kepala kantor dan dibantu empat pejabat. Yaitu, Kepala Sub Bagian (Kabusb) Tata Usaha, Kepala Seksi (Kasi) Pelayanan, Kasi Oprasional, dan Kasi Pengawasan dan Pengendalian, serta kelompok jabatan fungsional.
Ketiga, Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu dan Penanaman Modal Daerah (KP2T-PMD) Kota Pontianak. Dasarnya Perda Kota Pontianak 17/2004 tentang Pembentukan Lembaga Teknis Daerah.
Pada prinsipnya perubahan KP2T menjadi KP2T-PMD hanya terkait dengan penambahan fungsi kantor, yaitu fungsi PMD. Fungsi PMD ini sebelumnya melekat pada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Pontianak.
Melalui perubahan nomenklatur kantor, secara struktur serta tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) tidak ada perbedaan yang signifikan pada kelembagaan KP2T. Perubahan struktur hanya terdapat pada penambahan satu Kasi, yaitu Kasi PMD.
Keempat, Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BP2T). Dasarnya, Perwako Pontianak 19/2014 tentang SOP Pada BP2T Kota Pontianak.
Kemunculan Perwa No 19/2014 tentang Standar Prosedur Operasional BP2T Kota Pontianak ini, didasari terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) 41/2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah.
Kemudian, Permendgri 20/2008 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelayanan Perizinan Terpadu di Daerah. Perda 13/2008 tentang pembentukan Organisasi Perangkat Daerah Kota Pontianak, sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir sebagaimana telah diubah beberapa kali. Kali terakhir dengan Perda 13/2011 tentang Perubahan kedua Atas Perda 11/2008 tentang Pembentukan Organisasi Perangkat Daerah Kota Pontianak.
“Kebijakan anti korupsi mengatur tata interaksi agar tidak terjadi penyimpangan yang dapat merugikan negara dan masyarakat,” kupas Hermansyah.
Hermansyah menganalis kebijakan anti korupsi tidak selalu identik dengan undang-undang (UU) anti-korupsi, namun bisa berupa UU kebebasan mengakses informasi, UU desentralisasi, UU anti-monopoli, maupun lainnya yang dapat memudahkan masyarakat mengetahui, sekaligus mengontrol terhadap kinerja dan penggunaan anggaran negara oleh para pejabat negara.
“Tiga model kontrol kebijakan, melalui partisipasi, oposisi, dan revolusi,” tuturnya.
Partisipasi, kata Hermansyah, melakukan kontrol terhadap kebijakan dengan ikut serta dalam penyusunan dan pelaksanaannya. Oposisi, mengontrol dengan menawarkan alternatif kebijakan baru yang dianggap lebih layak. Revolusi, mengontrol dengan mengganti kebijakan yang dianggap tidak sesuai. (Gemawan-Mud)