
Upaya penanggulangan karhutla Kalbar memerlukan komitmen bersama antara pemerintah, masyarakat, dan berbagai pemangku kepentingan. Ancaman krisis iklim yang memperparah risiko kebakaran, ditambah dengan praktik pembukaan lahan yang tidak ramah lingkungan, mengharuskan adanya pendekatan yang lebih integratif dan berbasis komunitas.
Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) merupakan bencana ekologis yang terus mengancam Provinsi Kalimantan Barat, terutama di wilayah dengan ekosistem gambut. Ancaman ini semakin diperparah oleh krisis iklim yang mendorong peningkatan frekuensi serta intensitas musim kemarau panjang, sehingga memperbesar risiko terjadinya karhutla. Permukaan bumi diperkirakan mengalami kenaikan suhu sebesar 0,3 hingga 0,6 derajat Celsius (Novia, 2024). Peningkatan suhu permukaan bumi dapat menyebabkan bertambah banyaknya sebaran hotspot di Kalimantan Barat, khususnya di kawasan dengan tingkat kerentanan tinggi. Kondisi ini perlu diantisipasi agar bencana serupa yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya tidak terulang kembali.
Sejak tahun 2020 hingga 2024, jumlah titik panas (hotspot) di Kalimantan Barat menunjukkan pola yang fluktuatif. Berdasarkan analisis Gemawan Spatial Center, tahun 2023 mencatat jumlah titik api terbanyak dibandingkan tahun-tahun lainnya. Kondisi ini sejalan dengan peningkatan signifikan luas karhutla dalam periode yang sama. Indikasi luas karhutla di Kalimantan Barat pada tahun 2023 mencapai 111.848 hektar (KLHK, 2025). Angka ini melonjak drastis dibandingkan tahun 2022 yang hanya seluas 21.836 hektar. Data ini menjadi alarm penting yang menunjukkan bahwa risiko karhutla di Kalimantan Barat terus meningkat seiring dengan krisis iklim dan degradasi ekosistem gambut.
Sebaran Tingkat Kerawanan Karhutla Kalbar
Beberapa kabupaten seperti Sanggau, Landak, Sekadau, Kubu Raya, Sambas, dan Ketapang menunjukkan sebaran kerawanan mulai dari kategori sedang hingga sangat tinggi. Wilayah-wilayah ini didominasi oleh lahan gambut yang mudah terbakar, serta maraknya aktivitas perkebunan kelapa sawit dan pertanian berbasis pembukaan lahan dengan api, sehingga meningkatkan kerentanan terhadap karhutla, terutama saat musim kemarau tiba.

Wilayah dengan tingkat kerawanan sangat tinggi, yang ditandai dengan warna merah pada peta, terkonsentrasi di sejumlah daerah seperti Sanggau, Landak, Ketapang, dan sebagian Kubu Raya. Daerah-daerah ini menjadi prioritas utama untuk pengawasan intensif dan langkah-langkah mitigasi, karena memiliki frekuensi kebakaran berulang setiap tahun serta menghasilkan dampak kabut asap yang meluas hingga ke wilayah perkotaan, mengganggu aktivitas masyarakat dan membahayakan kesehatan publik.
Berdasarkan data sebaran titik panas tahun 2020 hingga 2024, Kabupaten Ketapang menempati posisi teratas sebagai wilayah paling rawan karhutla. Pada tahun 2023, 689 titik panas tersebar di Kabupaten Ketapang. Ketapang juga menjadi wilayah dengan titik panas terbanyak di kawasan gambut, khususnya di kedalaman 100–200 cm dan 200–300 cm. Selain Ketapang, wilayah lain yang juga menunjukkan kerawanan tinggi meliputi Kabupaten Sanggau dengan 325 titik panas, Sintang dengan 211 titik panas, Landak dengan 158 titik panas, serta Melawi dengan 119 titik panas. Kabupaten Sambas mencatat 11 titik panas di kedalaman gambut 100–200 cm, sedangkan Mempawah memiliki 21 titik panas pada kedalaman gambut yang sama. Data ini menunjukkan bahwa wilayah-wilayah tersebut membutuhkan perhatian khusus dalam upaya pencegahan dan pengendalian karhutla, terutama di kawasan gambut yang memiliki karakteristik sulit dipadamkan saat terbakar.
Faktor Penyebab Karhutla Kalbar
Terdapat banyak faktor yang menyebabkan tingginya kerawanan karhutla di Kalimantan Barat, baik itu faktor alam maupun antropogenik. Faktor utama yang menyebabkan tingginya kerawanan karhutla meliputi:
- Pembukaan Lahan dengan Cara Pembakaran
Praktik pembukaan lahan dengan membakar masih menjadi metode yang banyak digunakan masyarakat, terutama untuk aktivitas pertanian dan perkebunan, karena dianggap lebih murah dan efisien. Pembukaan lahan dengan cara ini umum dilakukan oleh petani kecil maupun perusahaan perkebunan kelapa sawit. Namun, tindakan ini sangat berisiko di wilayah gambut, karena api mudah merambat dan sulit dikendalikan. - Kondisi Lahan Gambut yang Mudah Terbakar
Sebagian besar wilayah rawan karhutla di Kalimantan Barat merupakan lahan gambut. Gambut yang mengering saat musim kemarau sangat rentan terbakar. Kebakaran di lahan gambut tidak hanya terjadi di permukaan, tetapi juga menjalar hingga ke lapisan bawah tanah (ground fire). Api yang membakar gambut sulit dipadamkan karena bara api dapat bertahan di bawah permukaan dalam waktu lama dan muncul kembali ke permukaan. - Minimnya Pengawasan dan Lemahnya Penegakan Hukum
Pengawasan terhadap aktivitas pembukaan lahan dengan cara pembakaran masih lemah, terutama di daerah-daerah pelosok. Penegakan hukum terhadap pelaku pembakaran lahan, baik individu maupun korporasi, sering kali tidak tegas dan inkonsisten. Hal ini membuat praktik pembakaran lahan terus berlangsung tanpa efek jera. - Keterbatasan Sarana Prasarana dan Kapasitas Masyarakat
Peralatan pemadaman yang tersedia di tingkat desa, khususnya yang dikelola oleh Masyarakat Peduli Api (MPA), masih sangat terbatas dan kurang memadai untuk menangani karhutla skala besar. Selain itu, kemampuan anggota MPA dalam mendeteksi dini, mengelola api, hingga memadamkan kebakaran juga belum merata. Kurangnya pelatihan rutin serta minimnya dukungan anggaran semakin memperburuk kondisi ini.
Dampak kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Kalimantan Barat meluas ke berbagai aspek kehidupan masyarakat. Setiap kali api melahap kawasan hutan dan gambut, dampaknya tidak hanya berhenti pada hilangnya tutupan hutan, tetapi juga menimbulkan efek berantai yang memengaruhi ekosistem, kesehatan, hingga perekonomian lokal.
Karhutla menyebabkan kerusakan ekosistem dan hilangnya keanekaragaman hayati. Kebakaran menghanguskan habitat satwa liar dan mengancam keberadaan spesies tertentu, terutama yang endemik. Selain itu, fungsi ekologis hutan sebagai penyerap karbon dan pengatur siklus hidrologi juga terganggu, mempercepat laju perubahan iklim dan memperburuk risiko bencana ekologis di masa depan.
Kabut asap yang ditimbulkan oleh kebakaran, terutama di lahan gambut, berdampak buruk pada kesehatan masyarakat. Asap pekat yang mengandung partikel berbahaya menyebabkan gangguan pernapasan seperti ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut), iritasi mata, hingga komplikasi kesehatan kronis. Anak-anak, lansia, dan kelompok rentan menjadi pihak yang paling terimbas oleh kondisi ini.
Dari sisi ekonomi, karhutla juga mengganggu aktivitas masyarakat. Kabut asap yang pekat kerap menghambat arus transportasi darat, laut, dan udara. Akibatnya, distribusi barang menjadi terhambat, aktivitas perdagangan melambat, serta kegiatan pertanian dan perkebunan terganggu. Kerusakan lahan pertanian berdampak pada penurunan hasil panen, sehingga memengaruhi pendapatan petani dan pelaku usaha lokal.
Lebih jauh, kerugian materi akibat karhutla sangat besar. Biaya yang harus dikeluarkan untuk pemadaman kebakaran sangat tinggi, belum lagi ditambah dengan rusaknya lahan produktif serta lonjakan biaya kesehatan akibat peningkatan kasus penyakit yang disebabkan kabut asap. Kombinasi dari seluruh dampak ini memperlihatkan bahwa karhutla bukan sekadar bencana lingkungan, tetapi juga krisis multidimensional yang mengancam kesejahteraan masyarakat Kalimantan Barat.
Upaya Mitigasi
Dalam menghadapi ancaman kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang terus berulang di Kalimantan Barat, upaya mitigasi yang menyeluruh dan berkelanjutan menjadi kebutuhan mendesak. Salah satu langkah penting adalah peningkatan kapasitas Masyarakat Peduli Api (MPA) di desa-desa yang tergolong rawan kebakaran. MPA berperan sebagai garda terdepan dalam pencegahan dan penanganan dini karhutla, sehingga penguatan keterampilan, pengetahuan, serta penyediaan sarana pemadaman menjadi kunci agar mereka mampu bertindak cepat saat kebakaran terjadi.
Selain itu, penguatan sistem deteksi dini berbasis teknologi spasial juga perlu dioptimalkan. Pemanfaatan citra satelit dan perangkat pemantauan jarak jauh dapat membantu mengidentifikasi titik api secara cepat, sehingga langkah pemadaman dapat segera dilakukan sebelum api meluas. Teknologi ini juga memungkinkan pemetaan daerah rawan karhutla secara berkala, yang menjadi dasar bagi perencanaan pencegahan yang lebih tepat sasaran.
Sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat juga memegang peranan vital. Peningkatan pemahaman masyarakat mengenai bahaya karhutla, khususnya terkait dampak terhadap kesehatan, ekonomi, dan ekosistem, akan mendorong lahirnya kesadaran kolektif untuk menjaga lingkungan. Kearifan lokal seperti pengelolaan lahan tanpa pembakaran juga perlu dihidupkan kembali sebagai bagian dari pendidikan lingkungan kepada masyarakat.
Langkah lainnya yang tidak kalah penting adalah penegakan hukum yang tegas bagi pelaku pembakaran lahan. Penerapan sanksi yang konsisten diharapkan dapat memberikan efek jera, sehingga praktik pembakaran lahan secara sengaja dapat diminimalisir.
Sebagai solusi jangka panjang, pengembangan alternatif pembukaan lahan tanpa bakar (PLTB) menjadi langkah strategis untuk mengurangi risiko kebakaran. Petani dan pelaku usaha perkebunan perlu didorong dan didampingi dalam menerapkan teknik pembukaan lahan ramah lingkungan. Selain mengurangi potensi karhutla, metode ini juga dapat menjaga kesuburan tanah dan meningkatkan produktivitas pertanian secara berkelanjutan.
Upaya penanggulangan karhutla Kalbar memerlukan komitmen bersama antara pemerintah, masyarakat, dan berbagai pemangku kepentingan. Ancaman krisis iklim yang memperparah risiko kebakaran, ditambah dengan praktik pembukaan lahan yang tidak ramah lingkungan, mengharuskan adanya pendekatan yang lebih integratif dan berbasis komunitas. Penguatan kapasitas masyarakat lokal, pemanfaatan teknologi pemantauan, serta penegakan hukum yang tegas harus berjalan beriringan dengan pengembangan solusi pertanian berkelanjutan. Dengan langkah pencegahan yang tepat dan kolaborasi lintas sektor, diharapkan kejadian karhutla yang terus berulang dapat ditekan, demi menjaga keberlanjutan ekosistem gambut serta melindungi kesehatan dan kesejahteraan masyarakat Kalimantan Barat.
Referensi
KLHK. (2025, February). Indikasi Luas Kebakaran. SiPongi. Retrieved February 18, 2025, from https://sipongi.menlhk.go.id/indikasi-luas-kebakaran
Novia, A. (2024, November 5). BMKG Umumkan Prediksi Iklim 2025, Tahun Depan Lebih Panas. Detik. Retrieved 2 17, 2025, from https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-7623037/bmkg-umumkan-prediksi-iklim-2025-tahun-depan-lebih-pan
Penulis: Mohammad R & Roni Antoni, pegiat Gemawan.