JUKNIS KLHS: Pakar Hukum Untan Pontianak, Hamdani (kanan) di Lokakarya Pengarustamaan KLHS Susun RTRW Desa digelar lembaga Gemawan. Lokakarya merekomendasikan Juknis KLHS perlu peraturan lebih lanjut dari pemerintah pusat supaya lebih detail dan kuat sanksinya di Swandiri Institute, Selasa (01/03/2016). Foto: Mahmudi/GEMAWAN.
Pontianak, GEMAWAN.
Pelaksanaan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) masih perlu pengaturan detail. Sebab KLHS sebagai dasar penyusunan dan evaluasi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), dan KRP (Kebijakan, Rencana dan Program) yang berpotensi menimbulkan dampak maupun resiko lingkungan hidup.
Demikian saripati Lokakarya Pengarustamaan KLHS Susun RTRW Desa yang digelar lembaga Gemawan di Swandiri Institute, Selasa (01/03/2016).
KLHS merupakan undang-undang nomor 32 tahun 2009 (UU 32/2009) tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), tepatnya pasal 15, pemerintah dan pemerintah daerah wajib membuat KLHS untuk memastikan prinsip pembangunan berkelanjutan, telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program.
Pelaksanannya dirincikan dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup (Permen LH) nomor 09 tahun 2011, tentang Pedoman Umum KLHS. Permen LH 09/2011 ini, sekaligus menggantikan Permen LH 27/2009 dan Surat Edaran Bersama (SEB) Mendagri nomor 660/5113/SJ dan MenLH 04/MENLH/12/2010.
“Saat ini penegasan pelaksanaan KLHS baru UU 32/2009 dan Permen LH 09/2011, beberapa pihak masih memperlukan peraturan pemerintah untuk penegasan dan rincian detail pelaksanaan KLHS. Supaya rekomendasi KLHS makin kuat bagi pemerintah maupun pemerintah daerah,” kata Yeni SHut, Kasubid Bagian Dampak Lingkungan Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) Provinsi Kalbar di Lokakarta 02-Lokakarya Pengarustamaan KLHS Susun RTRW Desa dihelat Gemawan di Swandiri Institite, Selasa (01/03/2016).
Implementasi KLHS masih menghadapi banyak kendala, salah satunya belum diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP).
PP tentang KLHS diperlukan sebagai payung hukum bagi berbagai peraturan pelaksanaan KLHS yang lebih teknis dan spesifik, baik yang dikembangkan Kementerian LH, kementerian, dan lembaga terkait.
Diakui Yeni dengan dikeluarkannya Permen LH 9/2011, diperkuat Permendagri 67/2012, masih ditemukan kesulitan di lapangan karena belum ada petunjuk teknik (Juknis) yang biasanya ada di dalam sebuah PP.
Tahun 2012, pihak Kementerian LH dan Kementerian Dalam Negeri menemukan banyak pekerjaan KLHS sudah dilakukan di daerah , tetapi poduk non standar prosedural. Misalnya ada yang mengontrakkan ke pihak ketiga ihwal penyusunan dokumen KLHS.
Kemudian ada kecamatan kota yang diberi KLHS. Pada tahun itu pula, pekerja lapangan pembuatan dokumen meminta Juknis dari pemerintah, kalau PP penjelas tak kunjung terbit, guna yang bisa membedakan KLHS Kebijakan, KLHS RTRW, KLHS Sektoral, dan KLHS lainnya.
“Analisis dampak lingkungan (Amdal) itu di level proyek dan melekat sebagai tanggungjawab pelaku pembangunan seperti investor. Sedangkan KLHS itu tanggung jawab pemerintah menjamin perencanaan pembangunannya ramah lingkungan,” kata Yeni.
Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Penyelenggaraan KLHS, masuk dalam program legislasi (penyusunan peraturan) pemerintah tahun 2015. Pemrakarsa Kementerian Lingkungan Hidup. Pihak terkait, Kementerian Agraria dan Tata Ruang dan/atau Badan Pertanahan Nasional. Status, dalam proses.
Keterangan RPP, mengatur mengenai penyelenggaraan KLHS sebagai dasar penyusunan dan evaluasi RTRW, RPJP, RPJM, dan KRP yang berpotensi menimbulkan dampak dan/atau risiko lingkungan hidup.
Akan tetapi posisi RPP KLHS, dikembalikan ke pemrakarsa pada 23 Oktober 2015.
Pakar hukum dari Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura (Untan) Pontianak, Hamdani SH MHum menyesalkan beberapa pihak pemerintah daerah kurang mengindahkan KLHS dalam perencanaan pembangunan.
“KLHS itu menyangkut daya dukung dan daya tampung. Kalau menurut kajian daratan Kalbar daya dukung untuk sawit sudah maksimal, kenapa pula masih digulirkan program 4 juta hektar sawit misalnya. Ini membuat daya tampungnya bisa melampui. Sebab aktivitas warga semakin meningkat untuk ruang hidup dalam tanah bagus yang tersisa bukan untuk sawit saja. Saya bukan anti sawit, namun saya mengharapkan pemerintah daerah untuk memakai KLHS sebelum mengeluarkan perizinan perkebunan sawit lagi,” tegas Hamdani.
Hamdani mengakui kalau pelaksanaan KLHS di tingkat daerah maupun nasional, masih memerlukan peraturan teknis, supaya semakin jelas pelaksanaannya. Kemudian semakin tegas sanksi bagi pemerintah daerah yang melanggar.
“KLHS juga syarat dalam membuat Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) RTRW. KLHS menurut UU 32/2009, wajib dilaksanakan pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota ketika merencanakan pembangunan berjangka dan membuat RTRW. Sekarang di UU 6/2014 tentang Desa yang muncul belakangan, juga mengamanatkan membuat tata ruang desa. Apakah perlu KLHS sebagai prasyarat membuat tata ruang desa? Tentu bisa kalau berdasarkan asas kewenangan desa. Namun tidak wajib karena UU 32/2009 tentang lingkungan hidup sudah terbit sebelum UU Desa terbit,” kupas Hamdani.
Di sinilah, tegasnya, pemerintah pusat perlu membuat peraturan lebih lanjut ihwal pelaksanaan KLHS. Jadi ketika desa mampu membikin KLHS, pemerintah yang lebih tinggi tidak bisa seenaknya menerbitkan perizinan perkebunan sawit ataupun tambang di desa itu.
“Analisis dampak (Amdal) itu orientasinya menghadapi proyek. Sedangkan KLHS untuk memastikan perencanaan pembangunan berkelanjutan, jadi orientasinya masa depan,” ujar Hamdani. (Gemawan-Mud)
yang melanggar. (Gemawan-Mud)