Nelayan Danau Bekat, Edi (43), sudah 10 tahun menggeluti profesinya. Hasil tangkapan kini mulai sulit karena danau tercemar limbah pabrik. Mulai
pabrik pengolahan karet, sawit, pertambangan bauksit, hingga batubara.

Edi mengatakan limbah perusahaan yang mengalir ke sungai, mengakibatkan sumber daya ikan berkurang. “Dulu agak lumayan 10 kilogram dapat. Sekarang sudah menurun paling banter 5 kilogram. Kalau dulu masuknya mudah, sekarang agak sulit,” kata Edi kepada jurnalis termasuk Tribun Pontianak, Rabu (10/6) lalu.

download

Keadaan ini menurutnya berpengaruh kepada jumlah penghasilan kotor yang diterimanya. Ia hanya mendapat Rp 100 ribu per hari. Jumlah tersebut belum dikurangi biaya bahan bakar, dan makan. “Banyaknya tergantung musim. Tapi tak seperti dulu. Kalau musim kemarau bisa dapat Rp 200 ribu. Bersih duitnya yang dibawa balik sekitar Rp 150 ribu paling besar,” ujar Ketua Kelompok Nelayan Ketutung, Desa Pedalaman ini.

Edi sangat sedih dengan status Danau Bekat ini. Menurutnya, perlu penetapan status kawasan sehingga ada perlindungan yuridis dan pemerintah setempat dalam rangka perlindungan terhadap potensi Danau Bekat.

Sebab di Danau Bekat banyak kawasan yang status kepemilikannya hanya dari turun temurun. Menurutnya, hal tersebut harus dipercepat untuk menjaga kelestarian dan keberlangsungan lingkungan hidup. “Satu harapan kami yaitu sistem adat. Kami mau danau kami ini dilindungi secara hukum,” pintanya.

Nelayan lain, Alung juga merasakan hal yang sama. Dahulu, dirinya bisa mendapatkan 4 boks ikan dalam waktu 3-4 jam saja. Namun, sekarang sehari hanya berkisar 2-3 kilogram. Ia juga mengatakan ada beberapa jenis ikan yang tak bisa ditemui dan hampir punah. “ini ikan Lajong, ini ikan Gabus, ini Biawan dan ini ikan Bengalan yang hampir punah,” tukasnya sambil memegang ikan Bengalan.

Tribun dan media lainnya tak hanya berkunjung ke Danau Bekat dan Semenduk, namun juga melihat dari dekat kehidupan warga Dusun Subah, Desa Subah, Tayan Hilir, Sanggau. Tribun beserta rombongan, Tim Yayasan Persfektif Baru (YPB) dan Tim Swandiri Institute (SI) berkesempatan mengunjungi Dusun Subah, Selasa (9/6) sore.

Dusun Subah memiliki 3 Rukun Tetangga (RT) dengan jumlah penduduk 381 jiwa per April 2015. Mayoritas penduduk asli Dusun Subah adalah Suku Dayak Toba’ (Tobak), kendati terdapat warga pendatang.

Suku Dayak Toba’ dikenal juga sebagai Suku Dayak Tebang Benua, berdasar asal usul historis yakni masyarakat suku Dayak yang bermukim di Desa Tebang Benua, Kecamatan Tayan Hilir, Sanggau dan Kecamatan Toba’, Sanggau.

Suku Dayak Toba’ juga terdapat di Kabupaten Ketapang. Perjalanan menuju Dusun Subah ditempuh menggunakan akses darat melalui Jalan Raya Ambawang-Jl Tayan. Kemudian dilanjutkan dengan melintasi jalan tanah merah dengan kontur bergelombang, licin, dan basah.

Di sepanjang sisi kiri dan kanan jalan ini, terdapat tanaman-tanaman sawit milik perusahaan terhampar luas dengan beberapa pekerja tampak memikul Tandan Buah Segar (TBS) sawit yang baru dipanen.

Sembari melambaikan tangan menyambut sapaan klakson Nissan Terrano yang kami tumpangi.

Tepat di pertengahan menuju Desa Subah, terdapat satu Bukit dengan landscape yang begitu indah, yakni Bukit Satok.

Pemandangan danau dan hijau rimbun pepohonan tampak jelas. Namun, jika diamati lebih teliti pohon-pohon tersebut adalah pohon sawit milik perusahaan, bukan pepohonan hutan tropis. Di satu sisi berbeda, daerah Bukit Satok telah gundul akibat aktivitas penambangan bauksit.

Namun, masih terdapat secuil lahan tersisa dan asri di sekitar Bukit Satok yang masih dijaga kelestariannya yakni Pedagi. Menurut keterangan pedagi merupakan tempat keramat yang digunakan untuk ritual kepercayaan masyarakat setempat saat musim panen.

Terdapat makam-makam orang terdahulu dan berbagai batu pemujaan di Pedagi ini hingga masyarakat Desa berusaha mempertahankan dari konsensi perusahaan. Setelah memakan waktu perjalanan lebih kurang dua jam, kami tiba di Dusun Subah.

Saat datang Tribun mendapati sebuah bangunan tua memanjang yang ternyata adalah SDN 07 Subah. Bangunan dengan 6 ruang kelas plus 1 ruang guru ini digunakan untuk proses belajar mengajar dengan murid tak lebih dari 30 orang.

Menurut informasi dari warga, Budiono (54), sekolah ini hanya memiliki satu orang guru. Sebelumnya terdapat bantuan beberapa tenaga guru honor namun sekarang telah berhenti. Hingga saat ini sekolah seperti hidup segan mati tak mau. Kadang masuk, kadang tidak masuk sekolah.

Terutama pada musim penghujan. “Kalau hujan tak belajarlah. Sekarang sudah pulang, besok pagi Bapak lihat,” ujarnya.

Tak lama kemudian kami menuju Rumah Kepala Dusun Subah, Antonius Anam.. Tampak Seketaris Desa (Sekdes) dan beberapa masyarakat Dusun Subah telah lama menunggu. Tak perlu rehat lama, Antonius Anam menceritakan ikhwal Dusun Subah yang kini terancam akibat konsensi perusahaan.

Termasuk kawasan hut an adat yang tergerus. “ini kena izin konsensi. Rumah kita dan kuburan juga habis. Jadi seluruh permukiman Subah, tidak ada lahan kosong yang tidak bebas dari izin. Termasuk danau juga dikaplingkan oleh perusahaan,” ujar Anom.

Sumber: http://hutanindonesia.com/danau-semenduk-nasibmu-kini-5/

Ekspansi Investasi, Eksistensi Pedagi