Tribun Pontianak | Sabtu, Juni 20, 2015 | Menurut Antonius, tidak ada lagi tanah yang tersisa. “ini kena izin konsensi,rumah kita dan kuburan juga habis. Jadi seluruh pemukiman Subah, tidak ada lahan kosong yang tidak bebas dari izin. Termasuk danau juga dikaplingkan oleh perusahaan,” kata Anom kepada awak media di rumahnya, Selasa (9/6).
Anom mengutarakan keprihatinannya terhadap keadaan dusunnya. Sebanyak 101 kepala keluarga (KK) termasuk dalam konsensi kawasan perizinan sebuah perusahaan sawit. Kondisi ini jelas sangat merugikan masyarakat Dusun dan Desa Subah.
Mengenai status kawasan, ia mengatakan izin HutanTanaman Industri (HTI) Sekitar 4 ribu hektare. “Konsen kita bukan masalah perusahaan tak bisa garap, tapi masalah sertifikat sulit sekali kita usahakan. Hingga saat kita ingin bangun Gedung SMP, sempat dipermasalahkan perusahaan karena termasuk Hutan Produksi,” ujarnya.
Anom menjelaskan pembangunan tersebut tak lain untuk meningkatkan mutu pendidikan dan agar lebih dekat, mengingat lokasi SMP dan Dusun Subah sangat jauh. “Nanti juga ada rencana bangun SMKN. Tapi terkendala hutan produksi. Kami berharap bisa dibangun. Kami konsen mendorong agar ada legalitas diakui menjadi kawasan hutan adat. Kesadaran kemarin sudah lama. Namun tak pernah direspon,” tegasnya.
Ia mengatakan, mengenai status hutan adat hingga sekarang jadi seperti ini masyarakat tak mengetahui. Dengan adanya hal seperti ini, lanjutnya akan diupayakan penyelesaian melalui lembaga adat setempat. “Hutan adat itu bukan hak milik. Tak boleh dimiliki oknum tertentu. Ada hukum adatnya. Ketentuannya 25 meter dari lahan pribadi, tidak boleh dimiliki. Dilindungi oleh adat,” ujarnya.
Ia menjelaskan kondisi hutan adat dulu tak seperti ini. Sebelumnya, hutan masyarakat dipenuhi dengan tembawang terdiri dari karet, padi, durian, tengkawang, mentawak, rambutan dan buah hutan lainnya.
Ada sekitar 38 jenis buah yang bisa dimakan di luar buah akar dan rotan.Termasuk 91 jenis ikan. “Dulu ikan masih lengkap karena habitat masih banyak. Sekarang, sudah ada yang punah. Dulu ada orangutan, sekarang tidak ada. Itu yang menjadi alasan kami mendorong menjadi hutan adat, semoga bisa dijaga,” imbuhnya.
Anom menegaskan pih aknya tidak tahu hutan adat dicapok sana-sini. “Izin perusahaan tak tahu siapa yang benri izin, dan buat surat keputusan (SK). Tiba-tiba semua sudah ada izin perusahaan. HTI, sawit, tambang. Termasuk rumah kita ini ada dua izin,” ujamya.
Masyarakat Desa Subah juga menginginkan status Hutan Produksi dikembalikan menjadi hutan adat lagi. Termasuk untuk menjaga sumber-sumber air dan hu an yang tersisa, mengingat sumber air bersih sungai telah tercemar limbah pabrik saat penghujan.
Ia menceritakan perusahaan sawit masuk pada 2005. Saat itu, saat sosialisasi perusahaan banyak memberikan janji di antaranya berjanji bahwa Plasma 82 bisa menyekolahkan anak hingga sarjana.
Begitu juga dengan lapangan pekerjaan terbuka bagi masyarakat sekitar, termasuk menyetujui proposal pengajuan dana corporate social responsibility (CSR). “Setelah itu pertemuan akhirnya bukalahan, ada MOU di Kabupaten Sanggau dan saya hadir. Satu-satu yang tidak tandatangan adalah saya,” ujamya.
Ia menambahkan dana CSR 5 persen perusahaan yang diperuntukkan untuk masyarakat,hingga saat ini juga tidak ada. Berjalannya waktu, terd apat penyerahan lahan dengan fee 10 persen. Terakhir, perusahaan membentuk koperasi hingga sekarang.
Namun, untuk bagaimana bentuk pembagiannya, masyarakat juga kebingungan karena tanpa transparansi. “Kami juga bingung, tak ngerti sawit. Kami tak tau jadi sawit. Sampai saat ini Berita Acaranya (BA) juga gak ada. Sampai hancur hutan kamipun, apa yang kami dapat. Kita orang Dayak ini kan polos dalam arti sifat-sifat jujur ini masih melekat, orang datang investasi dengan penuh kepercayaan ya begini. Tapi setelah dikelola tak ada hasil, kita terjebak dengan kondisi ini,” pungkasnya.
Seketaris Desa Subah, Toni, menambahkan mengenai hutan adat, pihaknya menc oba mendorong agar bupati membuat perda mengenai pengakuan hutan adat karena kekhawatiran akan kelestarian lingkungan. “Bupati Sanggau menanggapi positif, banyak hal yang harus ditata dengan baik mengenai hal yang berdampak kepada lingkungan,” katanya.
Toni berharap hal ini benar-benar terealisasi, mengingat hasil hutan adat sangat vital yakni sumber air, situs pedagi atau tempat keramat sebagai kearifan lokal, serta hasil tembawang untuk masyarakat.
Kepala Desa Subah, Kanisius Kimleng, mengakui masalah ini yang kerap dikeluhkan warganya. “Di rapat, kami mempertanyakan izin, mengapa izin sudah bertahun sejak 2000, mereka tidak lakukan kegiatan. Tapi izinnya masih ada sampai sekarang. Apakah memang izin itu sakti,” tanya Kanisius.
Sumber: http://hutanindonesia.com/danau-semenduk-nasibmu-kini-selesai/