Warga Takut Jembatan Roboh
Tribun Pontianak | Kamis, Juni 18, 2015
Ketua Nelayan Perempuan Dusun Sungai Putat , Desa Pedalaman, Anita (27), berharap jembatan segera diperbaiki. Sebab saat ini kondisinya sangat memprihatinkan. Tiang penyangga jembatan bukanlah tiang-tiang besi. Hanya 8 pancang tiang kayu cerucuk.
Bisa dibayangkan, sebuah rangka besi ditopang dengan kayu rentan lapuk. “Pembangunan Jembatan ini tahun 2013, belum sempat jadi tapi sudah roboh. Makanya sampai disanggah pakai kayu,” kata Anita kepada wartawan, Rabu (10/6).
Mewakili seluruh masyarakat Desa Pedalaman, Ibu dua anak ini meminta agar perbaikan jembatan dapat segera dilakukan agar tak menimbulkan sesuatu yang tak dìharapkan. Tampak beberapa penduduk yang berkumpul di atas gundukan tanah berumput di sekitar jembatan. Mereka menyuarakan agar jembatan ini segera dirampungkan. Begitu juga dengan upaya pelestarian terhadap kawasan sungai dan danau. “Kami dukung, Pak. Kami dukung upaya Bapak. Kita sama-sama berjuang,” ujar satu di antara warga di atas gundukan tanah tersebut.
la menceritakan awalnya masyarakat tidak pernah menyetujui dengan masuknya perusahaan bauksit pada 2010. Saat perusahaan tersebut memasukkan alat-alat perusahaan, sempat terjadi perang urat syaraf antara masyarakat dan pihak perusahaan.
Masyarakat menyandera ponton perusahaan di depan rumah secara beramai-rarnai.
Semua Iangkah upaya telahdilakukan dalam rangka menolak masuknya perusahaan pertambangan bauksit ini.
“Kami sudah kasi surat ke DPRD, dan awal kami semua tidak pernah menyetujui. Hanya tanpa disadari perizinan perusahaan sudah turun, cuma kita ndak tau di belakang perusahaan, tau-tau sudah ada perizinan dan ada yang mewakili. Kami hanya nelayan tidak bisa melawan pihak perusahaan yang banyak uang,” terangnya.
Hingga perusahaan tersebut tak beroperasional pasca Peraturan Menteri Lingkungan Hidup, tindakan dan perusahaan pun tak kunjung ada hasilnya. Kejadian ini memantik perasaan putus asa dari masyarakat Desa Pedalarnan.
“Lapor ke desa, desanya ngomong perusahaan tutup dan sudah diserahkan ke Pemda. Kemudian diurus ke Pemda bukan saya, yang bangun pihak perusahaan. Jadi kita mau lari kemana. Kami tidak muluk-muluk hanya ingrn diperbaiki Jembatan, agar akses kita ke danau ini enak,” pintanya.
Lima belas menit kemudian speedboat kembali mengikuti arah sungai yang berkelok-kelok menulu danau. Panaroma hutan tropis yang ditumbuhi tanaman hijau sangat jetas terlihat di sisi kiri dan kanan sungai.
Suara kicauan burung hutan di antaranya Burung Punai menandakan bahwa daerah ini masih asri. Namun keindahan ini tak dibarengi dengan air sungai yang keruh dan berwarna cokelat. Tampak beberapa nelayan baik pria atau wanita, tua atau muda silih berganti kami dapatkan sedang mengayuh sampan dengan kedua tangannya, kemudian sejenak berhenti melihat tajuran, jermal atau bubu yang dipasang untuk menjaring ikan.
Ada juga menggunakan Kantai yakni jaring yang dipasang buluh bambu dan didiamkan di dasar sungai. Dipinggir sungai juga terdapat pondok-pondok sederhana sebagai tempat peristirahatan para nelayan.
Sepanjang perjalanan anita bercerita mengenai desanya. Dijelaskan Anita, Desa Pedalaman adalah satu di antara desa di Kecamatan Tayan Hilir yang mayoritas penduduknya menggantungkan hidup dari mencari ikan. “Kami setiap hari turun kerja dan pagi jam 11 atau 12 malam, setiap harinya.
Pakai sampan kedi, sampai jam 9 atau 10 pagi baru pulang. Kadang keesokan harinya,” ujarnya. Dikatakannya, sebelum mencari ikan di danau. Setiap nelayan perempuan akan berkumpul dan melakukan perjalanan bersama-sama, sebelum kemudian mereka berpisah untuk menyebar di danau. Terkadang menggunakan satu sampan berisi dua orang atau sendiri. “Pas sini kita ngumpul, kemudian mencar-mencar cari ikannya,” imbuhnya.
Sebelum masuk perusahaan pada 2010, Anita menjelaskan saat itu hasil tangkapan nelayan setiap harinya sangat banyak. Sehingga membuat para nelayan tak perlu jauh-jauh untuk mencari ikan sampai ke Sungai Kapuas. “Dulu, tak pernah cari ke Kapuas, hanya di danau. Kita pergi jam 12 malam, pagi jam 7-8 pulang bawa penghasilan banyak sampai 3-4 keranjang sekitar 10 kilo gram,” tegasnya.
Berbeda dengan saat ini, ia harus turun lebih awal yakni pukul 11 malam dan pulang lebih siang pada pukul 9-10 pagi dengan membawa 1-2 kilogram. Bahkan di satu kondisi dirinya mendapatkan ikan tak lebih dari setengah kilogram.
Jelas penurunan drastis dan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari hari. Lanjutnya di danau terdapat banyak jenis ikan diantaranya ikan Duayang, Seluang, Lais, Toman, Dolat, Biawan, Kerandang termasuk Tapah dengan ukuran puluhan kilogram.
Namun sekarang sudah banyak yang sulit ditemui. Selang 20 menit kemudian, kami sampai di Danau Bekat. Hamparan air luas yang juga diselingi berbagai tanaman hutan tropis, mangrove (bakau) dan tumbuhan lainnya masih terlihat asri di sekitar danau yang dipengaruhi oleh gaya pasang surut sungai ini.
Jelas terlihat, bukit-bukit yang ada memiliki daerah hutan dan semak belukar dengan pemandangan yang indah yakni Pemandangan Gunung Tiong Kandang di Kecamatan Batang Tarang dan Gunung Semaung di Kecamatan Tayan Hulu.
Tampak juga bangunan perusahaan yang menurut informasi adalah perkebunan sawit di sekitar danau. “Itu perusahaannya nampak kan. Itu turunnya limbah ke danau kita. Sungai yang ditutupi yakni Sungai Serampang, satunya Sungai Beruku,” kata Anita sembari menunjuk perusahaan dengan jari telunjuknya.
Anita menerangkan beberapa tahun lalu pernah terjadi kebocoran bak penampungan limbah hingga menyebabkan limbah keluar sampai ke depan pemukiman penduduk. Walaupun pencemaran tersebut tidak berlangsung lama tetapi di lokasi dekat dengan areal pabrik masih terdapat bekas kebocoran limbah.
Ini berpengaruh terhadap ekosistem di danau seperti ikan-ikan tercemar limbah. Hasil tangkap nelayan pun menurun. Lanjutnya, danau juga sudah ditanami sawit. “Kami minta perusahaan memperbaiki bendungan. Kami minta sebelum danau kami habis dan semakin hancur. Kami minta tolong dengan bapak-bapak di atas (pejabat daerah) dan media. Sebelum danau kami jadi lahan, jadikan danau kami danau lindung yang dilindungi oieh hukum,” pungkasnya.
Di Danau Bekat, kami bertemu dengan para sesepuh nelayan yang sedang mencari ikan. Para nelayan menghampiri speedboat dan kemudian menyampaikan keluh-kesahnya. Satu di antaranya, Edi (43) yang menjadi nelayan sekitar 10 tahun Lalu. Sebelunya, ia bekerja di sebuah perusahaan. “Mulai sulit cari ikan, karena banyak faktor. Hutan sudah gundul, perusahaan banyak buka. Limbahnya sangat mempengaruhi ikan,” ujarnya kepada kami.
Sumber : http://hutanindonesia.com/warga-takut-jembatan-roboh/